Tafsir Surah An-Nahl Ayat 101-104 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai sebagian ayat yang diganti dengan ayat lain yang lebih relevan bagi manusia. kedua mengenai tuduhan orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa wayhu Nabi Muhammad SAW adalah rekayasa. Ketiga mengenai tidak adanya kebenaran tanpa iman kepada al-Qur’an.
Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 97-100
Ayat 101
Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah telah mengganti ayat dalam Al-Qur’an dengan ayat lain. Penggantian itu dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia, karena hanya Allah yang mengetahui hukum yang mana yang lebih sesuai untuk suatu masa bagi suatu umat.
Kaum musyrikin mencela Nabi Muhammad saw karena menurut mereka, Nabi pada satu waktu memerintahkan suatu perkara, dan pada waktu yang lain melarangnya. Mereka mengatakan bahwa rasul suka mengada-ada. Sikap demikian timbul karena mereka tidak mengetahui hikmah yang ter-kandung dalam penggantian ayat.
Penggantian ayat atau hukum Al-Qur’an hanya pada beberapa ayat saja, misalnya dalam masalah mengubah adat kebiasaan suatu kaum. Kalau perubahan itu dilakukan sekaligus, akan menimbulkan kegoncangan di kalangan mereka.
Adalah sangat bijaksana dalam membina perubahan suatu masyarakat selalu diperhatikan segi-segi kejiwaan masyarakat itu. Tetapi bagi orang yang hatinya tertutup oleh kesombongan dan permusuhan terhadap Rasul, pergantian ayat yang mendukung dan mengandung hikmah itu dijadikan sumber fitnah bagi beliau. (Lih. Penafsiran al-Baqarah/2: 106).
Ayat 102
Allah swt dalam ayat ini memerintahkan Rasul saw untuk menjelaskan kepada kaum musyrikin bahwa ayat-ayat itu bukanlah rekayasa beliau, tetapi diturunkan oleh malaikat Jibril a.s. dari Allah Rabbul ‘Alamin, kelompok demi kelompok dengan hikmah kebijaksanaan yang sempurna, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhannya.
Allah juga mengemukakan sifat rububiyah-Nya serta menghubungkannya kepada Nabi Muhammad saw (Rabbika = Tuhanmu), untuk memberikan pengertian bahwa bimbingan Allah kepada Rasul adalah dengan cara berangsur-angsur untuk menuju kesempurnaan. Allah akan melimpahkan pancaran sifat rububiyah itu kepada Nabi-Nya.
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap kepada Rasul untuk meneguhkan keimanan orang yang beriman, memberi pedoman bagi mereka dalam mengesakan Allah swt, dan menjadi petunjuk dalam mencari kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat.
Al-Qur’an menjelaskan pula kepada orang-orang yang beriman bahwa mereka akan memperoleh surga di akhirat sebagai balasan bagi amal kebajikan mereka di dunia.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Hasyr ayat 7: Perintah Untuk Mendistribusikan Harta Kekayaan
Ayat 103
Allah swt menjelaskan bahwa orang-orang musyrik Mekah menuduh Nabi Muhammad saw menerima pelajaran Al-Qur’an dari seseorang. Menurut mereka, orang itu seorang laki-laki asing, bukan bangsa Arab, yang selalu mengajarkan kitab-kitab lama di tengah-tengah mereka.
Tetapi tuduhan itu tidak benar karena Al-Qur’an tersusun dalam bahasa Arab yang indah dan padat isinya, bagaimana orang asing menciptakannya? Sampai sejauh mana orang yang bukan bangsa Arab Quraisy merasakan keindahan bahasa Arab dan kemudian menyusunnya dalam bahasa yang indah dan padat seperti Al-Qur’an? Apalagi kalau dikatakan bahwa orang itu menjadi pengajar Nabi.
Mengenai siapa orang asing itu, bermacam-macam riwayat menjelaskannya. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa orang asing itu adalah seorang budak Romawi yang beragama Nasrani, yang dipelihara oleh Bani Hadrami. Namun demikian, dari riwayat yang bermacam-macam itu, tidak ada satu pun yang dapat menjadi pegangan.
Besar kemungkinan tuduhan itu hanya tipu muslihat orang-orang musyrik yang sengaja dilontarkan kepada Nabi saw dan kaum Muslimin.
Pemimpin-pemimpin Quraisy yang berdagang ke Syam (Syria) sedikit banyaknya sudah pernah mendengar isi Kitab Taurat dan Injil karena hubungan mereka dengan orang-orang Ahli Kitab. Karena Al-Qur’an itu memuat isi Taurat, lalu mereka mengira tentulah ada orang asing (‘ajam) yang beragama Nasrani mengajarkan isi Al-Qur’an itu kepada Nabi.;
Ayat 104
Dalam ayat ini, Allah swt menegaskan bahwa tanpa iman kepada Allah swt dan Al-Qur’an sebagai wahyu-Nya, seseorang tidak akan mendapat petunjuk kepada kebenaran hakiki yang melepaskan dia dari azab.
Orang-orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu buatan manusia atau dongeng-dongeng zaman kuno, tentu jauh dari hidayah Allah, dan tidak akan dapat menemukan jalan kebenaran.
Al-Qur’an yang seharusnya menjadi penuntun ditinggalkannya, sehingga mereka menjadi sesat. Oleh karena itu, mereka mudah terjerumus ke dalam kejahatan sehingga jiwanya menjadi kotor dan tertutup oleh noda-noda dosa. Mereka itu pasti sengsara dan tersiksa di dunia dan di akhirat.
Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 105-109
(Tafsir Kemenag)