Tafsir Surah An-Nahl Ayat 126 berbicara mengenai dakwah. Dakwah yang dimaksud adalah dengan memegangi dua prinsip. Pertama berdakwah dengan suasana damai, yakni dengan lisan serta saling menyampaikan hujjah. Kedua berdakwah dengan tegas apabila kehormatan terganggu. Namun tegas di sini tetap berdasarkan konsep keadilan dalam Islam.
Baca juga: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 125
Ayat 126
Berdasarkan riwayat Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Nabi saw berdiri di hadapan Hamzah ketika terbunuh sebagai syahid dalam Perang Uhud. Tidak ada pemandangan yang paling menyakitkan hati Nabi daripada melihat jenazah Hamzah yang dicincang (mutilasi).
Lalu Nabi bersabda, “Semoga Allah mencurahkan rahmat kepadamu. Sesungguhnya engkau—sepengetahuanku—adalah orang yang senang silaturrahim dan banyak berbuat kebaikan. Kalau bukan karena kesedihan berpisah denganmu, sungguh aku lebih senang bersamamu sampai di Padang Mahsyar bersama para arwah. Demi Allah, aku akan membalas dengan balasan yang setimpal tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu.”
Maka Jibril turun dengan membawa ayat-ayat di akhir Surah an-Nahl, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” Pada saat itu Rasulullah berdiri di hadapan jenazah Hamzah.
Dalam ayat ini Allah swt menegaskan kepada kaum Muslimin, yang akan mewarisi perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan agama Islam, untuk menjadikan sikap Rasul di atas sebagai pegangan mereka dalam menghadapi lawan.
Pedoman dakwah yang diberikan Allah pada ayat yang lalu, adalah pedoman dalam medan dakwah dengan lisan, hujjah lawan hujjah. Dakwah berjalan dalam suasana damai. Akan tetapi, jika dakwah mendapat perlawanan yang kasar, misalnya para dai disiksa atau dibunuh, Islam menetapkan sikap tegas untuk menghadapi keadaan demikian dengan tetap menjunjung tinggi kebenaran.
Baca juga: Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya
Dua macam jalan yang diterangkan Allah dalam ayat ini, pertama: membalas dengan balasan yang seimbang. Kedua: menerima tindakan permusuhan itu dengan hati yang sabar dan memaafkan kesalahan itu jika bisa memberi pengaruh yang lebih baik bagi jalannya dakwah.
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini mempunyai makna dan tujuan yang sama dengan beberapa ayat dalam Al-Qur’an yaitu mengandung keharusan adil dan dorongan berbuat keutamaan, seperti firman Allah:
وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim. (asy-Syµra/42: 40)
Firman Allah swt:
وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ ۗ
…Dan luka-luka (pun) ada kisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. (al-Ma’idah/5: 45)
Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 127-128
(Tafsir Kemenag)