Pada Tafsir Surah An-Naml ayat 78-81 diterangkan bahwa semua persoalan yang diselisihkan oleh Bani Israil telah diselesaikan oleh Allah. Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 78-81 ini bahwa tugas Nabi Muhammad hanyalah menyampaikan risalah, bukan menjadikan orang-orang musyrik beriman.
Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 64-77
Ayat 78
Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dia akan menyelesaikan semua persoalan yang diperselisihkan Bani Israil dengan keputusan-Nya yang adil lagi bijaksana. Dengan demikian, yang batil akan mendapat azab, dan yang benar akan diberi pahala sesuai dengan amalnya, karena Allah adalah Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.
Ayat 79
Setelah menerangkan sifat-sifat-Nya Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui, Allah memerintahkan Rasul supaya bertawakal sepenuhnya dan menyerahkan semua urusan kepada-Nya. Dialah yang memberi kecukupan dan memberi pertolongan untuk mengalahkan musuh-musuh agama, karena Muhammad benar-benar berada di atas kebenaran yang nyata.
Perintah Allah kepada Nabi Muhammad supaya bertawakal kepada-Nya mengandung arti yang dalam. Isinya melarang Nabi untuk terpengaruh apalagi putus asa karena melihat orang-orang kafir selalu keras kepala, tidak menghiraukan malahan mencemoohkan seruannya. Walaupun Nabi keras kemauannya untuk mengislamkan mereka, namun bila hati mereka belum dibukakan oleh Allah, tetap saja mereka tidak akan beriman, sesuai dengan firman-Nya:
وَمَآ اَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْنَ
Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12: 103)
Ayat 80
Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak ditugaskan supaya menjadikan orang-orang musyrik itu beriman. Beliau hanya ditugaskan untuk menyampaikan seruan atau risalah dari Allah. Tidak termasuk wewenang beliau untuk memaksa orang kafir menjadi seorang mukmin.
Hal tersebut berada dalam kekuasaan Allah. Nabi tidak mampu memasukkan petunjuk ke dalam hati orang yang sudah terkunci mati. Ayat ini juga menjelaskan bahwa Muhammad tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati itu mendengar dan tidak pula menjadikan orang-orang tuli mendengar panggilan, terlebih lagi bila hati mereka telah berpaling ke belakang.
Kalimat “orang-orang yang mati” dan “orang-orang yang tuli” dalam ayat ini adalah ungkapan metafora. Maksudnya adalah orang-orang musyrik itu dianggap sebagai orang yang sudah mati pikirannya, sudah tuli dan tidak dapat mendengar panggilan dan ajakan kebaikan.
Mereka telah berpaling ke belakang. Mereka diserupakan dengan orang yang mati dan orang yang tuli karena semua ayat yang dibacakan kepada mereka tidak berpengaruh sama sekali
Walaupun secara umum ayat ini menjelaskan bahwa orang yang telah mati tidak dapat mendengar seruan orang yang masih hidup, tetapi ada beberapa hadis yang sahih, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim, yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad pernah berbicara pada mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh waktu perang Badar dan dikubur bersama-sama dalam sebuah sumur.
Melihat hal itu, sebagian sahabat, di antaranya Umar bin Khattab, menyatakan keheranannya dengan bertanya mengapa Rasulullah berbicara dengan orang yang sudah meninggal. Menanggapi hal itu, Rasulullah bersabda:
مَا اَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُوْلُ مِنْهُمْ غَيْرَ أَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ أَنْ يَرُدُّوْا عَلَيَّ شَيْئًا (رواه مسلم عن أنس بن مالك)
Kamu tidak lebih mendengar daripada mereka terhadap apa yang aku katakan, hanya saja mereka tidak dapat menjawab. (Riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik)
Pengertian yang terkandung dalam hadis di atas adalah bahwa orang-orang yang masih hidup dan mayat-mayat itu sama dapat mendengar ucapan Nabi. Akan tetapi, orang yang masih hidup dapat menjawab, sedangkan mereka tidak. Dalam beberapa hadis yang sahih diterangkan pula oleh Nabi bahwa bila seorang mayat telah selesai dimasukkan ke kuburnya, ia dapat mendengar suara sepatu atau terompah orang-orang yang mengantarnya.
Sebagai seorang penyampai risalah Allah, Nabi tidak dapat memberi hidayah kepada orang-orang musyrik untuk menjadi mukmin sebagaimana yang terjadi dengan paman Nabi yaitu Abu Thalib yang hingga akhir hidupnya tidak beriman. Firman Allah:
اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (al-Qashash/28: 56)
Tugas Nabi hanya memberi petunjuk dalam arti memberi bimbingan (irsyad), memberi keterangan (bayan), dan melaksanakannya, sebagaimana firman Allah:
وَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ
Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.(asy-Syura/42: 52)
Pengertian hidayah pada Surah al-Qashash/28: 56 di atas adalah “taufik”. Hal ini mengandung pengertian bahwa Nabi tidak mempunyai kewenangan untuk memberi taufik kepada manusia, walaupun terhadap orang yang dicintainya, misalnya Abu Thalib. hanya Allah yang dapat memberi hidayah dalam arti taufik kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.
Adapun hidayah pada Surah as-Syura/42: 52 bermakna “tabyin dan irsyad”. Hal ini berarti bahwa Nabi mempunyai kewenangan untuk memberi penjelasan dengan petunjuk yang luas.
Ayat 81
Pada ayat ini, Allah memperkuat pengertian ayat sebelumnya bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak dapat memalingkan orang-orang buta yang telah terkunci hatinya dari kesesatan. Mata hatinya tidak dapat diberi petunjuk kepada jalan yang lurus karena ada hijab atau dinding yang menutupi pandangannya, sehingga tidak dapat melihat kebenaran sama sekali.
Nabi Muhammad tidak dapat menjadikan seseorang dapat mendengar seruannya dengan pendengaran yang positif, kecuali orang-orang yang beriman kepada Allah, lalu berserah diri secara tulus ikhlas kepada-Nya.
(Tafsir Kemenag)
Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 82-87