Tafsir Surah At-Taubah Ayat 127-129

tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 127-129 adalah seri terakhir dalam surah ini, tafsir ini menjelaskan bagaimana cemooh orang munafik tidak hanya melalui lisan tapi juga dengan perbuatan, karena itu Allah memalingkan mereka dari kebenaran, karena sesungguhnya mereka tidak mau memahami kebenaran walaupun yang membawa kebenaran tersebut adalah Nabi Muhammad yang sangat penyantun


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 124-126


Selain itu, Tafsir Surah At Taubah Ayat 127-129 juga mengingatkan nabi bahwa orang munafik akan terus berpaling dari kebenaran, dan menolak untuk mengikuti ajakannya. Maka, hendaklah Nabi berserah diri kepada Allah atas urusan mereka.

Ayat 127

Ayat ini menerangkan sikap dan tindakan orang-orang munafik di majlis Rasulullah waktu diturunkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Bila diturunkan satu ayat atau satu surah kepada Rasulullah saw, mereka saling berpandangan satu sama lain dan mengedipkan mata sebagai isyarat memandang enteng apa yang telah diturunkan itu. Sikap mereka ini menunjukkan bahwa pengaruh kekafiran telah berurat berakar dalam jiwa mereka.

Mereka sebenarnya tidak ingin mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dari Rasulullah, dan tidak ingin orang lain mendapat petunjuk dari Al-Qur’an.

Sikap orang-orang munafik lainnya ialah: mereka secara diam-diam meninggalkan majlis Rasulullah saw seraya saling bertanya kepada sesama temannya yang lain, “Apakah ada orang yang melihat kepergian kita meninggalkan majlis itu?  Sedangkan orang-orang mukmin mendengar dan memperhatikan ayat-ayat itu dengan tunduk dan penuh perhatian.

Sikap orang-orang munafik inilah yang membuat Allah memalingkan hati mereka dari iman dan dari petunjuk-petunjuk yang ada dalam ayat-ayat     Al-Qur’an. Allah melakukan yang demikian karena mereka lebih dulu mengingkari seruan Nabi dan tidak menghiraukan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an.


Baca Juga : Hinaan terhadap Nabi Muhammad SAW yang Diabadikan dalam Al-Quran


Ayat 128

Ayat ini sekalipun khusus ditujukan kepada bangsa Arab di masa Nabi, tetapi juga ditujukan kepada seluruh umat manusia. Semula ditujukan kepada orang Arab di masa Nabi, karena kepada merekalah Al-Qur′an pertama kali disampaikan, karena Al-Qur′an itu dalam bahasa Arab, tentulah orang Arab yang paling dapat memahami dan merasakan ketinggian sastra Al-Qur′an.

Dengan demikian mereka mudah pula menyampaikan kepada orang-orang selain bangsa Arab. Jika orang-orang Arab sendiri tidak mempercayai Muhammad dan Al-Qur′an, tentu orang-orang selain Arab lebih sukar mempercayainya.

Ayat ini seakan-akan mengingatkan orang-orang Arab, sebagaimana isinya yang berbunyi,  Hai orang-orang Arab, telah diutus seorang Rasul dari bangsamu sendiri yang kamu ketahui sepenuhnya asal-usul dan kepribadian-nya, serta kamu lebih mengetahuinya dari orang-orang lain.

Sebagian mufassir menafsirkan perkataan  رَسُوْلٌ ِمنْ اَنْفُسِكُمْ   “Rasµlun min anfusikum” dengan hadis:

اِنَّ الله َاصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ وَ اصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى بَنِيْ هَاشِمٍ مِنْ قُرَيْشٍ وَ اصْطَفَانِيْ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ (رواه مسلم والترمذي عن وصيلة بن أسقى)

Bersabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, dan memilih suku Quraisy dari Bani Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari suku Quraisy, dan Allah telah memilihku dari Bani Hasyim.” (Riwayat Muslim dan at-Tirmizi dari Wasilah bin Asqa’)

Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami tentang kesucian keturunan Nabi Muhammad saw, yang berasal dari suku-suku pilihan dari bangsa Arab. Dan orang-orang Arab mengetahui benar tentang hal ini.

Nabi Muhammad saw yang berasal dari keturunan yang baik dan terhormat mempunyai sifat-sifat yang mulia dan agung, yaitu:

  1. Nabi merasa tidak senang jika umatnya ditimpa sesuatu yang tidak diinginkan, seperti dihinakan karena dijajah dan diperhamba oleh musuh-musuh kaum Muslimin, sebagaimana ia tidak senang pula melihat umatnya ditimpa azab yang pedih di akhirat nanti.
  2. Nabi sangat menginginkan agar umatnya mendapat taufik dari Allah, bertambah kuat imannya, dan bertambah baik keadaannya. Keinginan beliau ini dilukiskan oleh Allah dalam firman-Nya:

اِنْ تَحْرِصْ عَلٰى هُدٰىهُمْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ يُّضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِّنْ نّٰصِرِيْنَ

Jika engkau (Muhammad) sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan mereka tidak mempunyai penolong. (an-Nahl/16: 37).

Dan Allah berfirman:

وَمَآ اَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْنَ

Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12: 103)

  1. Nabi selalu belas kasihan dan amat penyayang kepada kaum Muslimin. Keinginannya ini tampak pada tujuan risalah yang disampaikannya, yaitu agar manusia hidup berbahagia di dunia dan akhirat nanti.

 Dalam ayat ini Allah memberikan dua macam sifat kepada Nabi Muhammad, kedua sifat itu juga merupakan sifat Allah sendiri, yang termasuk di antara “asmaul husna”, yaitu sifat “ra’uf” (amat belas kasihan) dan sifat “rahim” (penyayang) sebagai tersebut dalam firman-Nya:

اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

…Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. (al-Baqarah/2: 143)

Pemberian kedua sifat itu kepada Muhammad menunjukkan bahwa Allah menjadikan Muhammad sebagai Rasul yang dimuliakan-Nya.

Ayat 129

Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya bahwa jika orang-orang kafir dan munafik itu tidak juga mau beriman setelah didatangkan kepada mereka petunjuk, katakanlah kepada mereka, “Cukuplah Allah bagiku, dan Dia akan menolongku, tidak ada Tuhan yang lain yang disembah, selain Dia, hanya kepada-Nya-lah aku bertawakal dan menyerahkan diri, dan hanya Dialah yang mengatur dan mengurus alam semesta, Dia memiliki ‘Arsy yang Agung.

 Diriwayatkan dari Zaid bin ¤abit yang ditugaskan oleh Umar ra untuk mengumpulkan Al-Qur′an yang masih belum terkumpul di masa Abu Bakar, bahwa Zaid berkata,

“…Hingga aku memperoleh dua ayat terakhir dari Surah at-Taubah pada catatan Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari, aku tidak memperolehnya sebelumnya dari seorang pun, sedang kedua ayat itu dihafal dan dikenal oleh orang banyak.” (Riwayat al-Bukhari, at-Tirmizi, an-Nasa’i dan perawi-perawi yang lain).

(Tafsir Kemenag)