Pada surah at-Taubah ayat 28, Allah Swt dengan sarih (jelas) melarang kaum musyrik mendekati Tanah Haram. Melalui pesan wahyu ini kemudian muncul pelbagai opini yang perlu diklarifikasi kebenarannya.
Kerapkali umat muslim melarang seorang penganut agama sebelah memasuki masjid. Dengan dalih, masjid itu suci sekaligus rumah Tuhan, membiarkan non muslim memasukinya hanya akan menodai kesakralannya. Mereka menganalogikan asumsinya dengan kandungan surah At-Taubah khususnya pada ayat ke 28. Pertanyaannya, benarkah logika qiyas tersebut? Seperti apa tanggapan para mufassir terhadap larangan itu?
Pada surah at-Taubah ayat 28 Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا ۚوَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖٓ اِنْ شَاۤءَۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Pada tulisan sebelumnya penulis telah menguraikan arti dari kata musyrik pada ayat tersebut. Ulama berbeda pendapat, ada yang mengkhususkan kepada penyembah berhala saja; ada yang mengeneralisir terhadap seluruh bentuk kekufuran.
Baca juga: Tafsir Surah at-Taubah Ayat 28: Benarkah Orang Musyrik Itu Najis?
Maksud tidak boleh mendekati Masjidil Haram
Pada ayat di atas Allah Swt nampak sekali melarang kaum musyrik untuk mendekati Masjidil Haram. Menurut Syaikh Muhamammad Sayyid Thantawi, maksud larangan tersebut ialah memasuki Masjidil Haram, bukan mendekatinya. Hanya saja, Allah Swt meredaksikan firmannya dengan kata “mendekati” agar memberikan pemahaman yang mendalam tentang larangan keras tersebut. Logikanya, kalau saja mendekati dilarang apalagi memasukinya (Al-Tafsir al-Wasid li al-Qur’an al-Karim, 6/244).
Selain itu, mantan Grand Master al-Azhar tersebut memberikan alasan yang cukup rasional mengapa umat musyrik dilarang memasuki Masjidil Haram. Menurut beliau, musyrik yang notabenenya menafikan dan mengingkari Sang Pencipta tidak berhak menginjakkan kaki di rumah Allah terlebih memeriahkannya. Syakh Tantawi melanjutkan, bagaimana bisa dia yang memusuhi Allah hendak memasuki halaman-Nya? (Al-Tafsir al-Wasid li al-Qur’an al-Karim, 5/717).
Berbeda halnya dengan penafsiran yang disampaikan oleh Abu Hanifah. Menurutnya, arti dari “laa taqrabuu al-masjida al-haram”, kaum musyrik tidak diperkenankan melaksanakan ibadah haji dan umrah. Jadi yang dimaksud dari larangan tersebut bukan makna hakikatnya, melainkan hanya sebatas majas, yakni menyebutkan kata Masjidil Haram namun yang dikehendaki adalah bagian tertentu; haji dan umrah. Pendapat kedua ini disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya yang berjudul al-Tafsir al-Munir (al-Tafsir al-Munir, 10/165).
Baca juga: Mengapa Empat Bulan Ini Disebut Bulan Haram? Simak Penjelasannya
Apa yang dimaksud dengan Masjidil Haram di sini?
Mengenai makna dari Masjidil Haram pada surah at-Taubah ayat ke 28 ulama berbeda pendapat. Pertama, disampaikan oleh mazhab Syafi’I. Menurut mereka yang dimaksud dari Masjidil Haram adalah makna aslinya. Artinya larangan ini hanya terbatas kepada Masjidil Haram tidak tempat-tempat sakral lainnya seperti masjid selain Masjidil Haram.
Kedua, menurut mazhab Hanbali dan imam Atha’, yang dikehendaki dari lafaz Masjidil Haram meliputi Makkah dan daerah-daerah sekitarnya. Menurut pendapat ini kaum musyrik tidak boleh memasuki Makkah dan kota Madinah karena keduanya termasuk daerah Tanah Haram.
Terakhir, pendapat yang dikemukakan mazhab Maliki. Menurut mereka pantangan memasuki Masjidil Haram bagi kaum musyrik berlaku pula pada tempat peribadatan lainnya, yaitu Masjid-masjid yang lain. Para pengikut mazhab maliki menganalogikan Masjidil Haram terhadap setiap masjid yang ada, alasannya karena pada ayat tersebut Allah Swt memberi keterangan bahwa kaum musyrik itu Najis. Tentu kata najis sangat relevan dengan larangan memasuki tempat-tempat suci guna melestarikan kesakralannya (Rawa’I’ al-Bayan, 1/484-485).
Kesimpulan
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik benang merah bahwa beberapa ulama ada yang meng-qiyas-kan Masjidil Haram kepada tempat sakral lainnya. Opini bahkan aksi masyarakat muslim yang melarang masuk kamu non muslim ke tempat peribadatan dapatlah dibenarkan.
Meski demikian, untuk mengamalkan pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Maliki, perlu membaca konteks dan situasi setempat. Mengingat pendapat tidak hanya satu wajah, banyak opsi lain yang disampaikan para cendekiawan, jadi selama niat mereka (baca: non muslim) baik dan tidak mengganggu pelaksanaan ibadah di tempat itu tidak ada salahnya bila kita tetap bersikap toleran dengan mengambil pendapat yang lebih longgar.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Berwudhu dengan Air Milik Non Muslim