BerandaTafsir TematikTafsir Surah Attahrim Ayat 8: Perintah Tobat tidak Hanya untuk Ahli Maksiat

Tafsir Surah Attahrim Ayat 8: Perintah Tobat tidak Hanya untuk Ahli Maksiat

Tobat diidentikkan dengan para pendosa yang berada dalam dunia gelap penuh maksiat. Perintah tobat biasanya disandarkan kepada mereka agar kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan perbuatan dosa. Memang ada benarnya pernyataan tersebut, sebab taubat sendiri secara bahasa berarti kembali. Akan tetapi, salah kaprah jika perintah tobat hanya diarahkan kepada para pendosa yang dosanya diatas rata-rata atau dapat disebut dengan ahli maksiat. Hal tersebut dapat menimbulkan anggapan bahwa yang tidak tergolong ahli maksiat terbebas dari perintah tobat.

Menjadi manusia yang terbebas dari dosa dan maksiat adalah hal muhal. Sebab, jika melihat kajian tasawuf, sesorang yang tidak mengingat Allah barang sedetikpun sudah dapat dikategorikan maksiat.

Baca juga: Tuntunan Al-Quran dalam Melaksanakan Tahapan Taubat dari Dosa-Dosa

Dari pendapat di atas, maka potensi dosa kita ada di tiap detik kehidupan. Artinya, selama kita masih hidup di dunia ini potensi untuk melakukan dosa tetap ada. Sebab, kita manusia biasa dan tidak memiliki sifat ma’shum (sifat para nabi: terbebas dari maksiat).

Benar, sebuah kalam hikmah “Manusia adalah tempatnya salah dan dosa.” Dengan demikian, manusia tidak bisa memiliki alasan untuk sombong dan merasa paling suci sendiri, sebab antara dirinya dan orang lain sama-sama pernah melakukan dosa. Jalan terbaik yang harus diambil adalah dengan melakukan tobat.

Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. bersabda:

كُلُّ بَنِي اَدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Tiap-tiap anak Adam melakukan kesalahan, dan sebaik-baik kesalahan adalah orang yang bertobat.” (H.R. al-Tirmidzi)

Tidak hanya itu, Allah Swt. mewanti-wanti hamba-Nya yang beriman untuk selalu melakukan tobat. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Attahrim [66]: 8 yang artinya: “Wahai orang-orang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat semurni-murninya. Mudah-mudahan tuhanmu akan menutupi kesalahan-keslahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: wahai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sungguh, engkau maha kuasa atas segala sesuatu.”

Tafsir Surah Attahrim ayat 8

Quraish Shihab dalam al-Misbah, mengatakan bahwa Perintah tobat dalam ayat ini ditujukan kepada orang-orang mukmin, hal tersebut mengindikasikan bahwa sekalipun berstatus mukmin, seseorang tetap potensi melakukan kemaksiatan, dan menunjukkan bahwa perintah tobat tidak hanya ditujukan kepada para pendosa.

Sedangkan menurut al-Qurtubi, maksud taubat nasuha pada ayat ini adalah pernyataan berhenti dari dosa yang diucapkan dengan niat sungguh-sungguh, penuh penyesalan dan tekad untuk tidak mengulangi lagi, serta kesediaan meninggalkan komunitas yang buruk. (Tafsir al-Qurtubi, juz 18 hal. 197)

Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsirnya mengatakan, kembalilah kepada Allah (tobat) dengan taat kepada-Nya dan lakukanlah segala sesuatu yang menjadi rida-Nya! Tobatlah dengan taubat nasuha berarti tidak akan mengulangi kesalahan lagi selama-lamanya. (Tafsir al-Thabari, juz 23 hal. 105)

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 160: Dosa dan Cara Taubatnya Orang Alim

Lebih lanjut, dalam hadis yang diceritakan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, “Demi Allah sungguh saya memohon ampun dan bertobat kepada Allah lebih dari 70 kali setiap hari.” (H.R. Bukhari)

Jika Nabi saja yang tidak memiliki dosa bertobat 70-100 kali setiap hari, maka setiap mukmin baiknya melakukan hal yang sama, bahkan lebih banyak, sebab sekecil apapun dosa adalah sebuah kedurhakaan kepada Allah Swt. Bilal bin Sa’ad berkata, “jangan memandang kecilnya dosa tapi lihatlah kepada siapa kamu durhaka.”

Pada akhir ayat tersebut, Allah Swt. memberi apresiasi kepada orang yang tobat dengan balasan luar biasa, jaminan penghapusan dosa, dan pemberian surga. Allah juga tidak akan mempermalukan hamba tersebut dihadapan makhluk serta memberi cahaya untuknya di akhirat kelak.

Teruslah bertobat meskipun maksiat terulang kembali

Belum bisa total meninggalkan kemaksiatan bukan alasan benar untuk menunda tobat. Alasan tersebut tidak diterima sebab potensi maksiat ada selagi hidup di dunia. Maka, menyegerakan tobat merupakan tanda orang berakal sehat.

Orang menunda tobat ibarat orang yang ingin mencabut pohon yang mengganggunya. Karena merasa sulit mencabut pohon tersebut, dia menunda hingga esok atau lusa, tanpa disadari bahwa semakin hari akar pohon itu makin menghunjam di tanah, sedangkan dia semakin tua dan lemah.

Ali bin Abi Thalib suatu ketika menasehati pelaku dosa. Beliau berkata, “Bertobatlah kepada Allah dan jangan kamu ulangi.”

Pelaku dosa tersebut menjawab, “saya telah bertobat, tapi setelah itu saya ulangi lagi.”

Ali berkata, “Bertobatlah kepada Allah dan jangan kamu ulangi!”

“Sampai kapan saya harus bertobat sedangkan saya masih mengulanginya lagi?” tanya pelaku dosa tersebut.

“Sampai setan berputus asa dan merasa kecewa.” jawab Ali.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Lima Sebab yang Menjadikan Kita Kesulitan dalam Belajar

al-Habib Umar bin Hafiz dalam salah satu tausiah berkata, banyak pemuda mengeluhkan bahwa dia sulit meninggalkan dosa atau maksiat, sehingga selalu mengulanginya lagi setelah bertobat. Lalu, Habib Umar berkata, “janganlah berhenti bartobat, meskipun dalam sehari mengulanginya 100 kali. Sungguh kita memiliki tuhan yang amat menyangi kita, selagi kita bersungguh-sungguh dalam bertobat, meskipun terus mengulanginya lagi, maka Allah akan melihat kesungguhan kita, kemudian membebaskan kita darinya!”

Moh. Ali Aziz dalam 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, menulis perkataan Abu Bakar al-Wasithi, “Tergesah-gesa itu tidak baik, tapi tergesa-gesa untuk istighfar dan tobat justru salah satu ciri muslim bertakwa.”

Imam al-Nawawi dalam Riyad al-Shalihin, juz 1 halaman 16 mengutip hadis qudsi riwayat al-Tirmidzi dari Anas r.a yang artinya: “Wahai keturunan Adam, selama engkau berdoa dan penuh harap kepada ku, aku pasti mengampuni dosa yang telah engkau lakukan, tidak peduli berapapun banyaknya. Wahai anak Adam seandainya dosa mu bagaikan awan langit, lalu engkau meminta ampun kepadaku, niscaya aku ampuni tidak peduli berapapun banyaknya. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepadaku dengan membawa dosa seisi bumi, lalu engaku bertemu denganku tanpa menyekutukan sesuatu apapun denganku niscaya aku ampuni dosa sisi bumi itu.” (H.R. Al-Tirmidzi)

Dengan demikian, kita harus tetap optimis bahwa dosa kita diampuni oleh Allah. Kita harus percaya kasih Allah jauh lebih besar dari murka-Nya. Tidak ada kata terlambat bagi pelaku dosa untuk bertobat, sekalipun dosanya tidak muat ditumpuk sampai ke langit dan tidak cukup digelar di Bumi. Semoga kita termasuk hamba Allah yang gemar bertobat. Amin Ya Rabbal ‘alamin.

Abdullah Rafi
Abdullah Rafi
Mahasiswa Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...