Quraisy, selain nama sebuah kabilah Makkah, juga merupakan nama salah satu surah dalam al-Quran, tepatnya surah ke-106. Terdiri atas empat ayat sebagai berikut.
لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ۩ اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ۩ فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ ۩الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ ࣖ۩
“Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy. (Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga mendapatkan banyak keuntungan). Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka‘bah), yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut,” (Terjemah Kemenag 2019).
Kali ini fokus pembahasan pada ayat satu saja. Setidaknya ada dua hal yang bisa digarisbawahi dalam penafsiran surah Quraisy ayat 1, yaitu maksud dari kata Liilafi dan kata Quraisy.
Abu Ishaq mengatakan, dalam ayat pertama pada lafal Li-iilaafi terdapat tiga perbedaan bacaan, yaitu iilaaf, ilaaf, dan ilf. Lalu, menurut sebagian referensi tafsir dan kamus, bacaan pertama (iilaaf) dan ketiga (ilf) memiliki makna yang sama, yaitu kebiasaan, sebagaimana dikutip Victor Sahhab dalam Ilaf Quraisy Rihlah al-Syita’ wa al-Shaif.
Baca Juga: Surah Quraisy Ayat 1-4: Meneladani Etos Kerja Suku Quraisy
Perbedaan mufasir tentang arti kata Li-iilaafi
Dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta`wil Ay al-Quran (1994) al-Tabari menerangkan bahwa lam pada kata Li-iilaafi memiliki makna ta’ajjub. Dengan demikian, maka makna ayat tersebut yaitu; takjublah dengan kebiasaan kaum Quraisy bepergian di musim dingin dan panas.
Berbeda dengan al-Tabari, al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib (1981) mengatakan, lam pada kalimat Li-iilaafi memiliki tiga wajah; adakalanya sebagai penyambung dengan surah atau ayat sebelumnya, atau setelahnya, atau sama sekali bukan keduanya. Apa yang dikatakan al-Razi ini juga disebut al-Naisaburi dalam Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan (1996) dan Victor Sahhab dalam Ilaf Quraisy Rihlah al-Syita’ wa al-Shaif (1992)
Pendapat pertama, yaitu lam pada Li-iilaafi berkaitan (muta’alliq) dengan surah sebelumnya. Jika begitu, maka ada beberapa kemungkinan. Yang pertama, yaitu perkataan al-Zajjaj dan Abi Ubaidah yang mengira-ngirakan, kalimat tersebut merupakan lanjutan ayat terakhir surah sebelumnya, yaitu Alfil. Dengan demikian, ayat tersebut dapat dipahami seperti ini; Allah telah menghancurkan pasukan gajah supaya kaum Quraisy tetap dapat mengerjakan kebiasaan mereka, yaitu bepergian di musim dingin dan panas (al-Razi, hal. 103).
Kemungkinan yang kedua, yaitu diperkirakan demikian; menyambungkan ayat pertama surah Alfil dan surah Quraisy.
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِ لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍ
Dengan disambungkan begitu, seakan-akan Allah berfirman, semua yang Kami lakukan terhadap mereka (dengan mengirim burung Ababil untuk menghancurkan mereka) semata karena kebiasaan Quraisy itu.
Yang ketiga, lam pada Li-iilaafi memiliki makna ilaa. Dengan demikian, seolah Allah berfirman; semuanya Kami lakukan (dalam surah Alfil) semata untuk (menuju pada) nikmat yang lain, yaitu kebiasaan Quraisy rihlah di musim dingin dan panas. Kemungkinan ini diamini oleh al-Farra’ (al-Razi, hal. 104).
Baca Juga: Tafsir Surah Al Quraisy Ayat 1-4
Selanjutnya pendapat kedua, yaitu ‘lam’ pada Li-iilaafi berkaitan dengan kalimat Liya’budu. Pendapat ini diamini oleh al-Khalil dan Sibawaih. Dengan demikian, seolah Allah berfirman; sembahlah Tuhan pemilik rumah (Kakbah) ini karena (anugerah) kebiasaan Quraisy. Dan agar mereka (Quraisy) menjadikan ibadahnya sebagai wujud syukur karena anugerah nikmat tersebut.
Namun, kenapa ada huruf fa’ dalam falya’budu? Itu karena, ada makna syarat di dalam kalimat sebelumnya, dengan dikira-kirakan seperti ini; jika kalian tidak menyembah-Nya karena nikmat-nikmat lainnya, maka sembahlah Dia karena satu nikmat yang jelas ini.
Pendapat ketiga, huruf lam pada Li-iilaafi sama sekali tidak ada kaitannya dengan surah atau ayat sebelumnya, dan tidak juga dengan setelahnya. Al-Zajjaj mengatakan, lam tersebut merupakan lam ta’ajjub, begitulah pandangan sebagian ulama. Dengan demikian, ayat tersebut seolah memberi pesan; takjublah dengan kesukaan Quraisy, yang semakin hari semakin bodoh menyembah patung-patung. Sementara Allah telah menyatukan keluarga mereka, menolak balak dari mereka, dan mengatur sedemikian rupa sendi-sendi kehidupan mereka. Pendapat inilah yang diamini al-Kisai, al-Akhfasyi dan juga al-Farra’ (al-Razi, 105).
Baca Juga: Kisah Pasukan Bergajah dan Burung Ababil dalam Surah Al-Fîl
Tentang Quraisy
Quraisy adalah sebutan untuk semua anak al-Nadhr bin Kinanah, dengan nisbat Qurasyiy. Al-Nadhr, dalam Madarij al-Shu’ud Syarh al-Barzanji karya Syaikh Nawawi Banten, memiliki nama asli Qais. Karena memiliki wajah yang bercahaya, maka ia dipanggil al-Nadhr. Ia memiliki putra bernama Quraisy, yang juga dipanggil Fihr. Semua keturunan Fihr inilah, termasuk Nabi Muhammad Saw, disebut Qurasyiyyah.
Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda;
إن الله اصطفى كنانة من ولد إسماعيل و اصطفى من كنانة قريشا و اصطفى من قريش بني هاشم و اصطفاني من بني هاشم.
Sesungguhnya Allah memilih Bani Kinanah di antara putra Ismail, lalu memilih Quraisy di antara putra Kinanah, lalu memilih Bani Hasyim di antara putra Quraisy, dan lalu memilihku di antara putra Bani Hasyim (HR. Muslim).
Secara morfologis, kata Quraisy berasal dari al-Qarsy yang bermakna mengumpulkan, atau al-Taqarrusy yang bermakna al-takassub, bekerja. Dan memang, kita tahu, mereka, orang-orang Quraisy adalah pedagang yang memiliki etos kerja tinggi.
Abu ‘Ashim al-Barakati dalam Tafsir Surah Quraisy menambahkan, selain bermakna takassub, kata Quraisy juga bermakna al-tajammu’ yang berarti mengumpulkan. Oleh sebab itu, Qushai, datuk ke-empat Nabi Muhammad, dinamai dengan Mujammi’ yang artinya “yang mengumpulkan.” Karena ia lah yang mengumpulkan semua keturunan Quraisy yang sebelumnya hidup berpisah dan berpencar menjadi hidup bersama di sekeliling Kakbah, sebagaimana disitir dalam syair berikut
أبوكم قصي كان يدعى مجمعا * به جمع الله القبائل من فهر
Leluhur kalian, Qushai, itu dipanggil Mujammi’. Karena, melalui dia lah Allah mengumpulkan semua kabilah keturunan Fihr (Quraisy).
Selain itu, al-Barakati juga menukil sebuah riwayat dari Akhbar Makkah karya al-Azraqiy dan al-Mu’jam al-Kabir karya al-Tabrani. Sekali waktu, Muawiyah bertanya kepada Ibn Abbas; kenapa mereka disebut Quraisy? Lalu Ibn Abbas menjawab; (karena mereka serupa) hewan laut (ikan) yang memangsa dan tidak dimangsa, unggul dan tidak ada yang melampauinya. Yaitu al-Qirsy yang oleh kamus al-Maany, dan al-Quraisy dalam kamus Munawwir, diartikan sebagai ikan hiu.
Demikian sekilas perkenalan dengan kabilah Quraisy melalui tafsir surah Quraisy ayat 1. Di sini terlihat jelas sekali bahwa Al-Quran melibatkan konteks terdekatnya, yaitu suku Quraisy. Wallah a’lam