BerandaTafsir TematikTafsir Surah Yunus Ayat 99-100: Dai Hanya Menyampaikan, Allah yang Mengislamkan

Tafsir Surah Yunus Ayat 99-100: Dai Hanya Menyampaikan, Allah yang Mengislamkan

Nabi dan rasul merupakan manusia pilihan Allah yang ditugaskan untuk menyampaikan risalah. Namun demikian, tak jarang dari para nabi dan rasul tersebut menerima respon yang buruk dari umatnya, yakni didustakan. Tak terkecuali Nabi Muhammad. Beliau juga mengalami pendustaan dari orang-orang yang didakwahinya. Padahal ia sangat menginginkan semua manusia beriman kepada Allah. Keinginan yang amat kuat tersebut menjadikan Nabi Muhammad sangat sedih ketika ada orang yang tidak kunjung beriman. Oleh karena itu, untuk menghibur Nabi Muhammad, Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 99-100

وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَأٓمَنَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ كُلُّهُمۡ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ (99) وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تُؤۡمِنَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَيَجۡعَلُ ٱلرِّجۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يَعۡقِلُونَ(100)

Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi beriman seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?

Tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak berpikir. (QS. Yunus ayat 99-100).

Tafsir Surah Yunus Ayat 99-100

Menurut al-Khazin, QS. Yunus ayat 99-100 menjadi penghibur bagi Nabi Muhammad yang memang sangat menginginkan semua umat manusia beriman kepada Allah dan membenarkan dakwahnya. Akan tetapi, pada ayat ini, Allah secara tersirat tidak menghendaki demikian. Hanya orang-orang yang telah ditetapkan menerima keberuntungan di zaman azali sajalah yang akan beriman padanya. (Al-Khazin, Lubāb Al-Ta’wīl fi Ma’āni Al-Tanzīl, juz 2, hal 466).

Ayat ini juga berkaitan dengan Abu Thalib. Nabi Muhammad sangat menginginkan keislaman paman tercintanya ini yang selama hidupnya senantiasa berusaha melindungi Nabi Muhammad dari orang-orang yang ingin mencelakainya. Hanya saja Allah tidak menghendaki demikian. Alhasil, sampai akhir hayatnya, Abu Thalib tidak pernah mengucapkan dua kalimat syahadat  dan ini membuat Nabi Muhammad sangat sedih (Al-Wahidi, Al-Tafsīr Al-Basīth, juz  11, hal 324).

Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?Artinya Nabi Muhammad tidak berhak memaksa seseorang untuk beriman. Hak itu milik Allah semata. Hal ini karena keimanan bagian dari perbuatan seorang hamba dan perbuatan hamba berada dalam kekuasaan Allah. Meski demikian, perbuatan hamba tidak bisa terealisasi sebelum hamba itu memilih.

Menurut Al-Nasafi, Allah dengan sifat kelembutan-Nya bisa saja memberikan keimanan kepada seluruh manusia. Akan tetapi, Allah mengetahui sebagian dari mereka tidak akan beriman sehingga Allah tidak memberikan mereka pertolongan untuk beriman. Redaksi pertanyaan dalam ayat tersebut juga berarti bahwa Nabi Muhammad tidak memiliki hak untuk memaksa manusia untuk beriman karena keimanan itu membutuhkan pembenaran, sedangkan dalam pemaksaan tidak mungkin ada pembenaran (Al-Nasafi, Madārik Al-Tanzīl wa Ḥaqā’iq Al-Ta’wīl, juz 2 halaman 43).

Baca juga: Tafsir Surah al-Kahfi Ayat 6: Petunjuk Allah Saat Dakwah Ditolak

Adapun ayat selanjutnya, Tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak berpikir, merupakan penegasan dari keterangan yang pertama. Yakni manusia tidak akan beriman kecuali karena kehendak Allah dan pertolongan-Nya. Mereka tidak sepenuhnya punya otoritas mandiri untuk memilih, tetapi terikat dengan sunnatullah. Allah akan memberi petunjuk kepada yang dikehendaki-Nya dengan dasar kebijaksaaan, pengetahuan, dan keadilan-Nya (Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr Al-Munīr, juz 11, hal 272).

Muhammad Mutawali Al-Sya’rawi menambahkan keterangan bahwa fitrah keimanan manusia merupakan hasil dari tafakkur misalnya terhadap langit yang indah, bumi yang terbentang luas, laut pasang surut, dan angin yang bertiup. Semua fenomena alam tersebut menunjukkan keberadaan Allah Sang Pencipta. Namun apakah Allah meninggalkan manusia cukup dengan itu? Tidak. Allah bahkan mengutus banyak utusan untuk mengingatkan manusia mengenai tanda-tanda kekuasaan-Nya dan agar tidak lalai (al-Sya’rawi, Tafsīr Al-Sya’rāwī. Juz 10, hal 6224-6225).

Maksud “dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak mengertiadalah Allah telah mengajak manusia untuk beriman. Telah jelas bahwa buah dari keimanan adalah kebaikan. Allah juga telah memperingatkan akibat buruk dari mendustakan Allah dan rasul-Nya. Siapa yang beriman, ia akan selamat dan berbahagia. Sedangkan dia yang tidak beriman, Allah akan menimpakan azab kepadanya sebagai balasan. Ketika manusia mau berpikir tentang tanda-tanda kekuasaan Allah, balasan di akhirat, dan  mengambil pelajaran dari umat-umat terdahulu, tentu dia tidak akan mengingkari Allah, mendurhakai-Nya, dan menentang-Nya (Abu Bakar al-Jazā’iri, Aisar Al-Tafāsīr, juz 2, hal 511).

Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar Pula

Penutup

Sekarang Nabi Muhammad telah wafat, maka tugas umatnya kemudian ialah meneruskan perjuangan. Tugas tersebut adalah beriman kepada Allah, memerintahkan yang ma’ruf, dan mencegah yang mungkar. Namun demikian, manusia dalam menerima dakwah sebagian merespon dengan baik, sebagian diam, dan sebagian bahkan ada yang menentang sebagaimana dialami oleh Nabi Muhammad dan utusan-utusan sebelumnya.

Untuk itu, Abu Bakar al-Jazā’iri dalam kitabnya Aisar al-Tafāsīr menjelaskan bahwa tidak ada keimanan kecuali atas izin Allah. Jadi, tidak seharusnya bagi para pendakwah untuk bersedih hati atas tidak berimannya orang-orang yang didakwahinya. Mereka tidak beriman karena memang Allah telah menetapkannya demikian di zaman azali (Abu Bakar al-Jazā’iri, Aisar Al-Tafāsīr, juz 2, hal 511).

Tugas dari pendakwah sebagaimana para nabi dan rasul dahulu yaitu menyampaikan. Dia mendapat hidayah atau tidak, itu merupakan kehendak Allah. Manakala kesadaran ini terbangun dalam diri pendakwah setelah berusaha semaksimal mungkin namun tidak sesuai dengan yang diharapkan, pendakwah tidak akan merasa sedih karena tahu ini adalah kehendak-Nya. Pendakwah juga perlu menanamkan sikap optimisme. Semisal keyakinan bahwa dia yang didakwahi namun belum mendapatkan hidayah, bisa jadi anak cucu orang tersebut di kemudian hari yang akan mendapat hidayah. Wallahu a’lam bi al-sawab.

Baca juga: Inilah Metode Dakwah Ideal Menurut Al-Quran, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125

Adib Falahuddin
Adib Falahuddin
Mahasiswa S2 Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

0
Tema tentang Isrāīliyyāt ini sangat penting untuk dibahas, karena banyaknya riwayat-riwayat Isrāīliyyāt dalam beberapa kitab tafsir. Hal ini perlu dikaji secara kritis karena riwayat ...