Tindakan preventif merupakan upaya terbaik dalam menentukan sikap apapun. Tentu setelah mempertimbangkan banyak hal, agar tidak berdampak suatu madharat yang lebih besar. Bukan hanya dalam urusan agama, berbangsa dan bernegara pun perlu menerapkan upaya ini sebagai prinsip. Demikian dianggap penting karena dapat mencegah konflik yang memicu terjadinya perpecahan di masyarakat.
Di berbagai negara telah terjadi konflik kekerasan antarwarga yang memiliki latar belakang yang berbeda. Sebagai negara yang mayarakatnya sangat majemuk, yakni dengan keragaman agama, suku, dan ras, juga memunculkan keanekaragaman kultur yang berbeda-beda. Dan ini merupakan tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk bisa tetap menjaga NKRI.
Tindakan preventif ini dalam Mashadir al-Ahkam as-Syar’iyyah oleh sebagian madzhab empat disebut Saddu Dzara’I (mencegah terbukanya jalan kerusakan), dan di sebagian madzhab lainnya masuk dalam kaidah fiqih yang disebut Dar’u al-Mafasid Muqaddam ala Jalb al-Mashalih (menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kebaikan). Kaidah seperti ini ditetapkan dalam agama karena begitu pentingnya untuk menata tanatan sosial masyarakat.
Kaidah tersebut disarikan dari firman Allah swt dalam Q.S. al-An’am Ayat 108 :
وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِما كانُوا يَعْمَلُونَ
“dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 44: Sebuah Pengingat Bagi Para Dai dan Mubalig
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, Imam Abdurrazaq meriwayatkan dari Ma’mar, ia dari Qatadah: “Di zaman Nabi dulu, ada seorang muslim yang mencela sesembahan orang-orang kafir, lalu celaan tadi dibalas oleh orang kafir dengan berlebihan. Mereka mengolok-olok Allah SWT dengan celaan yang amat dan tanpa didasari ilmu”.
Dari larangan mencaci sesembahan orang-orang kafir ayat tersebut, al-Qurthubi (al-Jami’ li Ahkami al-Quran,07/61) menilai bahwa QS. (al-An’am [06]: 108) merupakan bentuk bagian dari perdamaian. Ayat ini sebagai dalil wajibnya menerapkan kaidah Saddu ad-Dzara’I dalam menyikapi suatu permasalahan. Dan terkadang seseorang juga perlu mengalah atas kebenaran atau hak yang dia miliki apabila tindakannya dalam mempertahankan haknya akan berdampak keburukan yang lebih besar.
Sejalan dengan kaidah di atas adalah pesan suci Rasululla saw.
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مِنْ اَلْكَبَائِرِ شَتْمُ اَلرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قِيلَ: وَهَلْ يَسُبُّ اَلرَّجُلُ وَالِدَيْهِ? قَالَ: نَعَمْ. يَسُبُّ أَبَا اَلرَّجُلِ, فَيَسُبُّ أَبَاهُ, وَيَسُبُّ أُمَّهُ, فَيَسُبُّ أُمَّهُ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk dosa besar ialah seseorang memaki orang tuanya.” Ada seseorang bertanya, “Mungkinkah ada seseorang yang memaki orang tuanya sendiri?” Beliau bersabda, “Ya, ia memaki ayah orang lain, lalu orang lain memaki ayahnya dan ia memaki ibu orang lain, lalu orang itu memaki ibunya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Baca juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11: Larangan Saling Menghina Dan Merendahkan dalam Al-Quran
Menyikapi Masalah-Masalah Kebangsaan
Di tengah masyarakat, sering kita menjumpai aksi-aksi frontal sebagian kelompok yang mungkin secara lahiriah (sekilas) akan dianggap benar oleh seseorang, atau bagi orang yang mengedepankan emosional. Di antara isu yang biasa diangkat adalah isu keagamaan. Padahal dalam menyikapi suatu permaslahan harus benar-benar jeli dan memahami konsekuensi dari penetapan suatu hukum, dengan tidak mengesampingkan tindakan preventif.
Dalam konteks kebangsaan, prinsip ini ditujukan kepada semua pihak yang mempunyai peran dalam suatu negara, pemerintah ketika menetapkan kebijakan, rakyat ketika menyuarakan pendapat, dan ulama dalam menyampaikan dakwahnya. Karena bertindak tanpa mempertimbangkan dampak dan akibat, bisa jadi akan timbul permasalahan baru dan madharatnya lebih besar.
Sebagai contoh, isu penolakan terhadap pancasila sebagai ideologi negara dan tekad kelompok tertentu untuk menegakkan khilafah sebagai bentuk kepemerintahan. Bagi para pengusung khilafah, seandainya mencermati nilai-nilai pancasila, sebetulnya tidak ada satupun yang bertentangan dengan Islam (Munas NU, 1983). Dan jika khilafah diterapkan sebagai sistem pemerintahan, maka ini adalah perbuatan makar, tidak melindungi kemajemukan bangsa dan akan mengancam keutuhan NKRI (Arif, 2016).
Baca juga: Ngaji Gus Baha’: Cara Agar Tidak Mudah Kecewa dengan Orang
Dan dalam permasalahan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, seorang pendakwah tidak boleh serampangan di tengah masyarakat. Paling tidak ada tiga syarat yang harus terpenuhi untuk melegitimasi tindakannya. Pertama, dia harus betul-betul mengetahui permasalahan yang diperintahkan atau dicegah. Kedua, tindakannya tidak menambah keburukan yang lebih besar. Ketiga, terdapat prasangka bahwa tindakannya ada manfaatnya. (Ad-Dasuqi, 2/275)
Syarat-syarat tersebut merupakan bukti pentingnya tindakan preventif, demikian agar permasalahan tidak bertambah kacau, sehingga akan bertentangan dengan Maqashid as-Syariah. Wallahu A’lam Bisshawab.