Pengelolaan harta anak yatim menjadi hal yang penting dipelajari. Karena, dalam kapasitasnya sebagai anak kecil yang belum memiliki kemampuan untuk mengelola finansial, ia butuh seseorang yang bisa mengatur keuangannya, demi kesejahteraan hidup. Bagaimana cara mengelola harta anak yatim? Tentang ini, Allah berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 2.
وَاٰ تُوا الۡيَتٰمٰٓى اَمۡوَالَهُمۡ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الۡخَبِيۡثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَاۡكُلُوۡۤا اَمۡوَالَهُمۡ اِلٰٓى اَمۡوَالِكُمۡؕ اِنَّهٗ كَانَ حُوۡبًا كَبِيۡرًا
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.”
Mengutip Sababun Nuzul karya Al-Wahidi, ayat ini turun untuk merespons seorang laki-laki dari Bani Ghathafan. Ia memegang harta ponakannya yang yatim.
Suatu ketika, saat keponakannya beranjak dewasa –baligh-, ia meminta harta itu dari pamannya. Tetapi, pamannya menolak. Sampai keponakannya ini lapor ke Nabi, dan turunlah ayat ini.
Baca juga: Tafsir Surat Maryam Ayat 33 Mengenai Hukum Ucapan Selamat Natal
Setelah mendengar kabar tersebut, sang paman kemudian menyerahkan harta itu kepada keponakannya, lantas berdoa agar dihindarkan dari dosa besar.
Sebelum Baligh
Perintah wa aatul yataama pada permulaan ayat menurut As-Zamakhsyari dan Ibnu ‘Asyur merupakan perintah untuk menjaga harta anak yatim dari penyalahgunaan yang bisa saja dilakukan oleh pihak pengelola hartanya. Sehingga, aatu di situ tidak dimaknai dengan menyerahkan (idfa’), tetapi menentukan hak hartanya (ta’yinul mal). Pemaknaan demikian ini berangkat dari konteks sosial masyarakat Jahiliyyah yang mengabaikan anak kecil dalam hal warisan. Mereka tidak memberi bagain bagi anak-anak.
Dan karena itulah ayat ini turun sebagai perintah untuk menentukan bagian warisan anak-anak. Ini lebih sesuai karena yatim secara umum dimaknai dengan anak yang ditinggal mati orangtuanya (belum memasuki fase baligh), yang itu artinya belum bisa diberi tanggungjawab mengelola harta (dalam terminologi fikih disebut mahjur ‘alaih). Sebagaimana hadis riwayat ‘Ali ra yang ditakhrij Abu Daud:
لا يتم بعد احتلام
“Tidak ada kata yatim bagi yang sudah mimpi basah (baligh/pubertas)”
Harta warisan anak yatim itu kemudian dikelola oleh orang yang bisa mengelolanya. Tentu saja dengan cara menyalurkannya untuk kebutuhan anak yatim itu. Lalu, siapa yang bertanggungjawab mengelolanya? Mengutip dari Fathul Qarib, kakek, paman, atau kerabat dekat. Ibnu ‘Asyur setuju dengan hal ini, karena melihat tradisi masyarakat, yang mengelola harta anak yatim adalah kerabatnya. Ketentuan ini diperkuat oleh ayat sebelumnya, yang juga menyinggung implementasi takwa dengan pemenuhan hak-hak kerabat.
Baca juga: Mufasir Indonesia: KH. Mustofa Bisri, Ulama Tafsir Nusantara
Pasca Baligh
Saat anak yatim telah berada di fase baligh, harta yang ia miliki harus diserahkan kepadanya. Tidak boleh kemudian, pengelola hartanya dikala masih yatim menyembunyikan harta tersebut barang sepeser pun. Fase baligh ini juga harus dibarengi dengan kemampuan untuk mengelola harta sendiri, sehingga tidak cukup sekedar baligh saja. Demikianlah Al-Jashash dan Az-Zuhaili.
Perintah wa la tatabaddalul khabitsa bittayyib menunjukkan larangan untuk menggunakan harta yang haram serta menyia-nyiakan harta yang halal. Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quranul ‘Adzim memaknai larangan ini sebagai larangan untuk mengabaikan rezeki yang halal dan mengambil rezeki yang haram. Dua pemaknaan ini pada intinya melarang untuk bekerja atau melakukan upaya apa pun untuk mendapatkan rezeki yang haram, serta mengabaikan yang sejatinya halal. Seperti halnya menyalahgunakan harta anak yatim yang telah dewasa dengan tidak segera menyerahkannya. Justru menggunakannya untuk keperluan pribadi.
Baca juga: Inilah 16 Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab (Part 2)
Larangan Mencampur Harta Anak Yatim dengan Harta Pribadi
Larangan ini ditunjukkan dalam frasa wa la ta’kulu amwalahum ila amwalikum. Menurut Ibnu ‘Asyur, melalui potongan ayat ini, Allah melarang pengelola harta anak yatim untuk mencampur harta milik pribadi dengan milik anak yatim. Hal ini demi menjaga agar pengelola tidak mengkonsumsi harta anak yatim tersebut.
Dari Surat An-Nisa ayat 2, setidaknya terdapat tiga poin tentang tata kelola harta anak yatim. Pertama perintah untuk menentukan bagian waris anak yatim. Kedua, larangan berupaya untuk mendapatkan harta yang haram. Ketiga, memonopoli harta anak yatim.
Persoalan tata kelola harta anak yatim ini termasuk yang sangat penting, karena jika tidak dikelola dengan benar, akan berakibat dosa besar. Sebagaimana yang ditunjukkan di akhir ayat, innahu kana huuban kabiiran (sesungguhnya, menyelewengkan harta anak yatim itu sungguh dosa besar). Wallahu a’lam[]