Dewasa ini, fenomena disrupsi telah merambah berbagai sendi kehidupan, tak terkecuali pendidikan Islam. Jika dahulu pendidik dapat leluasa mengajar dengan pola-pola pembelajaran konvensional, maka dewasa ini yang harus dimiliki oleh pendidik adalah harus meng-upgrade kompetensi guna memenuhi kebutuhan dan tantangan zaman. Peserta didik yang notabene masuk generasi milenial dan zilenial, tentu sangat memerlukan bentuk kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, menarik dan tidak membosankan.
Dalam konteks ini, kompetensi-kompetensi baru seperti literasi digital, pengajaran digital, strategi dan metode pembelajaran yang terus mengikuti zaman, mutlak diperlukan dan harus dimiliki oleh pendidik. Tulisan ini hendak menguraikan beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dengan mengkaji pada Q.S. al-Nahl [16]: 43-44.
Baca juga: Pemaknaan Jilbab Menurut Riffat Hassan, Seorang Mufassir Kontemporer
Tafsir Surat An-Nahl Ayat 43-44
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (Q.S. an-Nahl [16]: 43-44)
Dalam penafsiran ini akan difokuskan pada redaksi fas-alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamuna, bil bayyinati wa zubur dan ayat ke-44. Al-Qurtubi dalam Jami’ li Ahkam al-Quran menjelaskan asbabun nuzul ayat ini ialah dilatarbelakangi oleh pengingkaran kaum musyrikin Makkah terhadap kerasulan Nabi saw dengan mengatakan, “Apakah betul engkau (Muhammad) utusan Allah?, Allah yang sedemikian besar justru malah mengutus seorang manusia, mengapa tidak malaikat?, kemudian turunlah ayat ini.
Selanjutnya, redaksi fas-alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamuna oleh Ibn Abbas dan Mujahid sebagaimana dinukil al-Qurtubi ditafsiri dengan orang yang ahlul ilmu dan berpengetahuan luas. Sementara itu, al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil menafsiri ahl al-dzikri dengan ahlul kitab dan ulama-ulama yang paham betul tentang suatu informasi yang mana mereka dapat mengajari dan memberi informasi dengan jelas (ahl al-kitab au ‘ulama al-akhbar li yua’llimukum).
Baca juga: Kenali Tiga Macam Tingkatan Nafs Menurut Al-Quran
Lebih jauh, Mujahid, seperti yang dinukil al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsiri kata ahlu dzikri dengan ahl al-taurat, ahl al-kitab. Sedangkan Ibn Zaid menafsirkannya dengan ahlul quran. Selain itu, Al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf memaknainya dengan ahlul kitab.
Kemudian, Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, menafsiri redaksi fas-alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamuna dengan,
فاسألوا أهل الكتب الذين يعرفون معاني كتب الله تعالى، فإنهم يعرفون أن الأنبياء كلهم بشر، والثالث: أهل الذكر أهل العلم بأخبار الماضين، إذ العالم بالشيء يكون ذاكراً له
“Maka bertanyalah kepada ahl al-kitab yang mengetahui makna kitab-kitab Allah SWT, karena mereka mengetahui bahwa semua nabi adalah manusia, dan yang ketiga: ahli dzikir adalah orang yang mengetahui berita-berita masa lalu”.
Sedangkan makna bil bayyinati wa al-zubur, menurut al-Razi adalah lafdzatan jami’atan likulli ma takamulu bihi al-risalah (sebuah pernyataan yang mencakup segala sesuatu yang melengkapi risalah tersebut). Selain itu, al-Razi juga menjelaskan bahwa makna zubur di sini adalah hujjah-hujjah yang disampaikan oleh Rasul Allah swt kepada hamba-Nya itulah makna zubur (wa hiya al-bayyinat wa ‘ala al-takalifi allati yuballighuha al-rasul minallahi ta’ala ilal ‘ibad wahiya al-zubur).
Senada dengan al-Razi, al-Qurtubi juga memaknai al-bayyinat dengan al-hujjaj dan al-barahin (hujjah-hujjah dan bukti empirik), serta al-zubur adalah al-kitab. Kemudian, Al-Qurtubi juga memaknai wa anzalna ilaika al-dzikri dengan Al-Quran. Maka, berdasarkan tafsir al-Qurtubi, makna litubayyina linnasi ma nuzzila ilaihim adalah di dalam kitab ini berisi hukum-hukum (ahkam), janji (al-wa’du) dan ancaman (al-wa’id) dalam ucapan dan perbuatan manusia. Artinya, Rasulullah saw dalam hal ini berkewajiban menerangkan atau “menerjemahkan” risalah Allah swt sesuai dengan kehidupan manusia seperti bab shalat, zakat dan hal-hal lain yang Allah tidak detailkan atau operasionalkan dalam kitab-Nya.
Baca juga: Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an
Tidak jauh berbeda dengan al-Qurtubi, al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil menafsiri ayat ke-44 ini ialah sesungguhnya Allah swt hendak menurunkan wahyu (al-dzikr) yang kemudian memberikan keberkahan dan kedamaian bagi manusia. Untuk dapat bernilai berkah dan mendatangkan kedamaian, maka wahyu ini, demikian kata al-Baghawi, memerlukan bayan (penjelas) dari al-sunnah. Dalam hal ini, Nabi saw adalah sunnah daripada al-dzikr itu sendiri.
Hampir senafas dengan al-Baghawi, Mujahid sebagaimana yang dinukil Ibn Atiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz, menafsirkan ayat ke-44 ini ialah diutusnya Rasul saw adalah untuk memberi penjelasan (litubayyina) terhadap nash Al-Quran dengan sunnah-sunnah-nya. Kita tahu bahwa sunnah nabi secara umum terbagi menjadi tiga, yakni sunnah qauliyah, fi’liyah dan taqririyah. Di samping itu, Nabi saw “diminta” untuk mensyarahi apa-apa yang masih belum jelas (samar) di dalam Al-Quran sehingga kemudian syarah Nabi saw itu menjadi bagian integral syariat Islam itu sendiri.
Empat Kompetensi Yang Harus Dimiliki Pendidik
Merujuk pada penafsiran di atas, setidaknya ada empat kompetensi, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Pertama, kompetensi pedagogik ialah kemampuan seorang pendidik untuk dapat mendesain dan melaksankan pembelajaran dengan baik yang meliputi proses pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik guna mengaktualisasi dan mengekspresikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Dalam ayat di atas, kompetensi ini terkandung pada redaksi ayat ke-44, litubayyina linnasi ma nuzzila ilaihim. Rasul saw telah meneladankan kepada kita bahwa beliau berhasil menerjemahkan risalah Allah swt dengan bahasa hamba-Nya sehingga umatnya tidak merasa kesulitan dalam memahami risalah Allah swt (baca: Al-Quran). Untuk itu, pendidik harus piawai menerjemahkan materi pembelajaran dengan mudah dan gampang dicerna oleh peserta didik tanpa harus mensimplifikasikan (baca: mereduksi) substansi atau esensi pembelajaran itu sendiri.
Kedua, kompetensi kepribadian adalah kompetensi personalitas yang mencerminkan kepribadian yang baik, bijaksana, dewasa, berwibawa, kharismatik, berakhlak karimah dan menjadi teladan bagi peserta didik. Di dalam ayat di atas, Nabi saw tidak cukup hanya bermodal cerdas dan piawai dalam menggunakan metode pembelajaran ketika menyampaikan risalah-Nya kepada umatnya. Lebih dari itu, Nabi Muhammad saw memberikan teladan yang baik dan pribadi yang mantap semisal lemah lembut, penyabar, tidak mudah emosi, dan selalu mencari titik temu ketika dihadapkan persoalan yang pelik. Oleh karena itu, mafhum kita dengar, “lisanul hal afshahu min lisanil maqal” (keteladanan itu lebih shahih, lebih utama dan lebih memberi arti (makna) ketimbang sekadar ucapan).
Ketiga, kompetensi profesional adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Hal ini ditunjukkan pada redaksi fas-alu ahla al-dzikri in kuntum la ta’lamun. Jika engkau tidak tahu, maka bertanyalah kepada mereka yang berpengetahuan luas atau ahlul ‘ilmi. Nabi saw dalam hal ini, adalah seorang pendidik yang amat luas dan mendalam cakrawala berpikirnya, sehingga Nabi saw tidak mudah mengafirkan umatnya dan berusaha mengajak dengan berbasis ilmu dan ilmu. Umatnya, oleh Rasul saw, diajak untuk berpikir, menganalisis sehingga tak heran Islam tersebar tanpa ekspansi militer melainkan berbasis peradaban ilmu pengetahuan. Penting kiranya, bagi seorang pendidik untuk memiliki kompetensi profesional ini.
Baca juga: Telaah Makna Kata Nafs dalam Al-Quran Menurut Para Ulama
Keempat, kompetensi sosial ialah kemampuan pendidik untuk dapat berkomunkasi dan bergaul secara efektif dan luwes terhadap elemen pendidikan (peserta didik, rekan sejawat, orang tua/ wali, dan stakeholders yang ada). Semua kandungan ayat di atas (ayat 43 dan 44) memerlukan kompetensi sosial yang cakap. Selain bermodal intelektual, manajerial, dan profesional, Rasul saw juga memiliki modal sosial yang baik.
Begitu luwesnya Nabi saw ketika berinteraksi dan berdialektika dengan masyarakat sekitar yang notabene di awal dakwahnya masih didominasi oleh orang-orang kafir, sehingga masyarakat mudah menerima dakwahnya. Misalnya, sebelum kerasulan Nabi saw, Nabi saw telah digelari al-Amin (orang yang dapat dipercaya), menjalin hubungan bisnis dengan non-muslim, dan seringkali diminta menjadi penengah persoalan atau konflik. Ini membuktikan bahwa Nabi saw pandai bergaul dan berinteraksi sehingga masyarakat merasa nyaman dengannya. Begitupun bagi pendidik haruslah pandai berinteraksi sosial sehingga peserta didik merasa nyaman, jika sudah nyaman, maka mereka mudah untuk menerima materi yang hendak kita sampaikan. Wallahu A’lam.