BerandaTafsir TematikTahapan Turun Ayat-Ayat Puasa dalam Alquran

Tahapan Turun Ayat-Ayat Puasa dalam Alquran

Salah satu bentuk rahmat dan kebijaksanaan Allah terhadap umat muslim adalah menurunkan syariat Islam secara bertahap (tadriji). Dengan begitu, umat muslim tidak terlalu merasa terbebani dalam menjalankannya. Salah satu contoh syariat yang diturunkan secara bertahap adalah puasa.

Dalam kitab Al-Dur Al-Mantsur Imam Suyuthi menceritakan bahwa setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau selalu berpuasa selama tiga hari setiap bulan. Tidak hanya itu, beliau juga menjalani puasa hari Asyura secara rutin.

Lalu, pada tahun kedua hijriah Allah mewajibkan puasa bulan Ramadan melalui surah Albaqarah ayat  183 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajobkan atas kalian berpuasa”

Dilanjut dengan ayat berikut (184) yang berbunyi:

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ

“Diwajibkan bagi mereka yang merasa keberatan menjalankannya untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin”

Dengan turunnya ayat ini, Allah hendak mewajibkan puasa Ramadan bagi umat muslim. Namun, dengan kemurahan-Nya, kewajiban puasa tidak langsung memukul rata semua muslim. Bagi orang yang sakit dan orang yang sedang melakukan perjalanan diperbolehkan untuk tidak puasa dan menggantinya di lain hari.

Tidak hanya itu, Allah juga menoleransi orang yang merasa keberatan dengan kewajiban puasa. Dia boleh tidak menjalani puasa, tapi sebagai gantinya, dia harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin. Dengan demikian, pada masa itu orang muslim yang tidak merasa keberatan langsung ikut menjalani puasa. Sedangkan mereka yang masih merasa keberatan dengan kewajiban tersebut memilih untuk membayar fidyah.

Setelah dirasa umat muslim terbiasa dengan kewajiban puasa, barulah Allah mewajibkan puasa bagi seluruh umat muslim. Sejak saat itu hingga kini umat Muslim hanya ada kewajiban puasa, tidak ada lagi fidyah pengganti puasa. Syariat fidyah telah dinasakh dengan turunnya surah Albaqarah ayat 185:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kalian berada di bulan ini (Ramadan), maka berpuasalah…”

Dengan turunnya ayat ini Allah menetapkan kewajiban puasa bagi setiap muslim yang mukim (tidak sedang melakukan perjalanan) dan dalam keadaan sehat.  Namun, Allah tetap memberi rukhsah (keringanan) kepada mereka yang sedang sakit atau melakukan perjalanan agar mengganti puasa di lain hari; dan juga menetapkan kewajiban membayar fidyah hanya diberlakukan untuk orang tua yang sudah tidak mampu lagi berpuasa. Di sinilah baru terjadi perubahan total dalam syariat puasa.

Baca juga: Sejarah Awal Kewajiban Puasa dan Turunnya Surah al-Baqarah Ayat 187

Turunnya ayat yang membahas soal puasa ternyata tidak berhenti di situ. Dalam Tafsir Al-Qurthubi ada sebuah kutipan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Al-Bara’. Hadis ini menceritakan tentang kronologi turun ayat 187 surah Albaqarah.

Disebutkan dalam riwayat tersebut bahwa para sahabat Nabi yang laki-laki jika berpuasa kemudian tertidur sebelum berbuka, mereka tidak makan pada malam harinya (waktu sahur) hingga akhirnya menemui waktu berbuka lagi. Hal ini berlaku di kalangan sahabat karena memang  kebolehan jima’ (senggama) pada malam Ramadan belum ditetapkan saat itu.

Salah satu sahabat yang berlaku demikian adalah Qais Ibn Sharamah dari golongan Anshar. Beliau termasuk sahabat yang menjalani puasa dengan tetap melakukan aktivitas pekejaannya di kebun kurma pada siang hari.

Suatu hari setelah melakukan pekerjaannya, sahabat Qais mendatangi istrinya untuk meminta makanan buka puasa. Dia berkata pada istrinya, “Apakah engkau memiliki makanan?” Istrinya menjawab, “Tidak! tapi aku akan keluar mencarinya untukmu.”

Saat istrinya pergi, sahabat Qais tertidur karena kelelahan. Beberapa waktu kemudian istrinya datang dan begitu mendapati suaminya tertidur, dia pun berujar “khaibatan laka (suatu ungkapan kekecawaan)”. Di siang hari saat menjalani puasa, karena pada malamnya tidak makan, sahabat Qais pingsan.

Cerita tentang Qais Ibn Sharamah ini lalu diadukan ke baginda Nabi saw. Kemudian turunlah Q.S. Albaqarah ayat 187 yang menjelaskan tentang kebolehan senggama pada malam bulan puasa.

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ

“Telah dihalalkan bagimu di malam berpuasa berkumpul (senggama) dengan istrimu…”

Dengan turunnya ayat ini barulah lengkap syariat tentang puasa. Tabik

Baca juga: Tafsir Ahkam: Tiba Ramadhan, Ini Hukum yang Belum Bayar Utang Puasa

Ahmad Miftahul Janah
Ahmad Miftahul Janah
Mahasiswa Fakultas Syariah Al-Azhar, Mesir; alumni pondok pesantren Annur 2 Al-Murtadlo dan Al-Munawwir Krapyak. Penulis kini memiliki minat pada kajian Fiqih dan Ushul Fiqih.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...