Pernikahan merupakan salah satu sunah Nabi Muhammad saw. Dalam fikih, hukum asli pernikahan adalah mubah. Demi keabsahan sebuah pernikahan, seseorang harus memenuhi segala syarat dan ketentuannya.
Tujuan pernikahan adalah mengikuti sunah Nabi, memenuhi kebutuhan biologis, meneruskan keturunan, menjaga kesucian diri, dan untuk meraih keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Jadi, selain harus memenuhi syarat dan ketentuannya secara fikih, hendaknya pernikahan juga dilandasi oleh tujuan-tujuan tersebut agar dogma bahwa pernikahan adalah penyempurna separuh agama bisa diraih.
Urgensi dari tujuan pernikahan dapat dilihat dari berubahnya status hukum sebuah pernikahan. Pernikahan bisa menjadi haram jika diyakini bisa membahayakan calon pasangan. Pernikahan juga bisa menjadi makruh jika dikhawatirkan bisa menjurumuskan seseorang pada dosa dan marabahaya. Pernikahan juga bisa menjadi fardu apabila jika tidak segera menikah, seseorang akan jatuh ke dalam lubang perzinaan.
Baca juga: Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 21
Ulama fikih, dalam hal ini mazhab empat, merumuskan syarat dan ketentuan pernikahan yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama untuk merumuskan hukum pernikahan. Hal krusial yang sering menjadi pembahasan adalah batas minimal usia calon pasangan pengantin.
Secara sederhana, kata yang dipakai dalam batas minimal usia adalah baligh. Namun, dalan hal baligh ini, para ulama banyak berbeda pendapat. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa baligh di sini adalah keluarnya darah haid bagi perempuan dan mimpi basah (ihtilam) bagi laki-laki. Namun, yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah dengan hanya telah mengalami menstruasi atau bermimpi basah tersebut seseorang sudah layak untuk melakukan pernikahan?
Dari sisi biologis, menstruasi merupakan sebuah tanda bahwa seorang perempuan siap untuk dibuahi. Sedangkan mimpi basah merupakan sebuah tanda bahwa seorang laki-laki bisa mengeluarkan sperma dan membuahi. Dengan terpenuhinya kedua hal ini, tujuan pernikahan yang mana untuk memenuhi kebutuhan biologis dan memperoleh keturunan bisa tercapai. Namun, jika dilihat dari sisi psilokologis, apakah dengan adanya menstruasi dan bermimpi basah tersebut seseorang memang sudah siap secara mental untuk menikah? Hal ini menjadi perdebatan karena range usia seorang yang menstruasi dan bermimpi basah itu beragam. Bisa jadi, ada seorang anak SD kelas 6 sudah mengalami menstruasi dan ada juga yang baru mengalami menstruasi di usia kelas 3 SMP. Begitu juga dengan masalah mimpi basah karena kedua hal ini sangat erat kaitannya dengan horman setiap orang.
Karena memang tujuan pernikahan tidak melulu tentang memenuhi kebutuhan biologis dan meneruskan keturunan. Jika melihat dari sisi psikologis, dengan hanya telah mengalami menstruasi dan mimpi basah sepertinya belum bisa dikatakan bahwa seseorang sudah layak untuk menikah. Karena pada dasarnya, pernikahan memiliki dinamika yang sangat kompleks. Seseorang yang sudah menikah memiliki tanggung jawab sosial, moral, bahkan finansial. Bagaimana bisa seorang anak yang baru saja mengalami menstruasi atau mimpi basah bisa mengemban tanggung jawab yang sebesar itu, yang bahkan orang yang sudah dewasa secara usia pun masih harus terus belajar? Dari sini akan ditelaah dalil yang digunakan oleh ulama fikih dalam mendefinisikan dan menentukan batas minimal usia seseorang yang akan menikah.
Baca juga: Pemikiran Musdah Mulia tentang Pernikahan Anak
Telaah Q.S. Annisa (4): 6
Ayat Alquran yang digunakan oleh ulama fikih dalam hal ketentuan batas usia minimal pernikahan adalah Q.S. Annisa (4): 6. Teks ayat ini menjelaskan tentang pengelolaan harta anak yatim oleh seorang wali. Dalam hal ini, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan bahwa jika seorang anak yatim sudah mencapai tingkat kedewasaan tertentu, yang dengan itu dia bisa mengelola hartanya dengan baik, maka seorang wali harus memberikah hak kelola harta tersebut kepada si anak yatim.
Teks ayat pada Q.S. Annisa (4): 6 memang menunjukkan bahwa objek atau khitab dari ayat ini adalah anak yatim. Namun, ayat sebelumnya menjelaskan tentang hak wali kepada anak yatim adalah untuk menikahkannya ketika sudah mencapai usia yang cukup. Dalam hal ini, Alquran menggunakan kata ruysd. Quraish Shihab memaknai ayat ini dengan ketepatan dan kelurusan jalan. Dia menjelaskan bahwa kata rusyd bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa, yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin.
Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menjelaskan kata yang seakar dengan rusyd, yaitu mursyid yang artinya adalah pemberi petunjuk/bimbingan yang tepat. Orang yang telah menyandang sifat itu secara sempurna dinamai rasyid yang oleh Imam Ghazali diartikan sebagai dia yang mengalir penanganan dan usahanya ke tujuan yang tepat, tanpa petunjuk pembenaran atau bimbingan dari siapa pun. Dengan menggunakan metode tahlili, Quraish Shihab menjelaskan ayat Alquran per ayat dan mengungkap makna setiap kata yang terdapat pada ayat yang mencerminkan corak lughawi (kebahasaan) pada tafsirnya.
Dari penafsiran Quraish Shihab tentang makna rusyd dapat dipahami bahwa kelayakan seseorang untuk menikah bukan semata ditentukan oleh faktor biologis. Kedewasaan akal dan jiwa juga harus dipenuhi mengingat pernikahan merupakan ibadah terlama. Sepanjang hidup orang yang telah menikah akan selalu diliputi dinamika kehidupan yang penuh dengan manis dan pahit. Oleh karena itu kesiapan mental, fisik, dan finansial harus benar-benar diperhatikan agar tujuan luhur penikahan bisa tercapai.
Baca juga: Adakah Masa Iddah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?