BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTerminologi Riya’ dalam Alquran

Terminologi Riya’ dalam Alquran

Jika saya mengatakan bahwa setiap orang, muslim sekalipun, telah berlaku riya’, bagaimana tanggapan pembaca sekalian?

al-Ghazali dalam ikhtisarnya atas Ihya’ ‘Ulum al-Din menjelaskan bahwa secara etimologi, kata riya’ memiliki arti thalab al-jah atau dalam terjemah bebas, mencari tempat di hati manusia. Hal ini berarti bahwa segala aktivitas yang dilakukan dalam rangka mendapatkan posisi di hati manusia dapat disebut dengan riya’.

Pemaknaan ini menurut al-Ghazali didasarkan pada sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada ‘Aisyah r.a,

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا أَرَادَ الْخُرُوْجَ إِلَى أَصْحَابِهِ، كَانَ يَنْظُرُ فِي جُبِّ الْمَاءِ وَيُسَوِّى عِمَامَتَهُ وَشَعْرَهُ، قَالَتْ: أَوَ تَفْعَلُ ذلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِنَّ اللهَ تَعَالى يُحِبُّ الْعَبْدَ أَنْ يَتَزَيَّنَ لِإِخْوَانِهِ إِذَا خَرَجَ إِلَيْهِمْ.

“Sesungguhnya Rasulullah saw. ketika hendak keluar menemui sahabatnya terlebih dahulu melihat (berkaca) pada sumur berisi air dan merapikan ‘imamah serta rambutnya. ‘Aisyah lantas bertanya, “Apakah engkau melakukan hal tersebut wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya. Sesungguhnya Allah Swt. mencintai hambanya yang berhias ketika hendak menemui saudara-saudaranya.”

Riwayat ini menurut al-Ghazali, setidaknya mengandung dua faedah. Pertama, menunjukkan bahwa Rasulullah saw. pun telah berlaku riya’, dalam pengertian etimologi sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Kedua, oleh karena perilaku tersebut dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw., maka riya’ secara etimologi ini tidak memiliki implikasi hukum apa pun. Artinya, riya semacam ini diperbolehkan, dalam kadar tertentu.

Baca juga: Penegasan Alquran Terkait Perbedaan antara Pamer dan Tahadduts bin Ni’mah

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa penjelasan yang lazim kita terima selama ini menyebutkan bahwa riya merupakan perilaku yang dilarang?

‘Ilmiy Zadah Faidlullah dalam Fath al-Rahman li Thalib Ayat al-Qur’an menyebutkan bahwa leksikon kata riya dalam Alquran setidaknya disebut sebanyak empat kali. Dua di antaranya menggunakan redaksi yura’un (يراؤن), yakni pada Surah Annisa’ [4] ayat 142 dan Alma‘un [107] ayat 6.

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya’ di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.”

الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ

“yang berbuat riya’,”

Sementara dua sisanya menggunakan redaksi ri’a’an (رئاء), yakni pada Surah Albaqarah [2] ayat 264 dan Surah Annisa’ [4] ayat 38.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ

“Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya”

وَالَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِينًا فَسَاءَ قَرِينًا

“(Allah juga tidak menyukai) orang-orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada orang (lain) dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Akhir. Siapa yang menjadikan setan sebagai temannya, (ketahuilah bahwa) dia adalah seburuk-buruk teman.”

Riya’ sebagai perilaku yang dilarang, sebagaimana selama ini kita pahami, merupakan riya yang diartikan secara terminologi. Riya terminologi ini lebih kepada pemberian limitasi terhadap definisi secara etimologi, dengan menambahkan aspek ‘ubudiyyah sebagai media menggapai tempat di hati manusia.

Limitasi ‘ibadah’ ini seperti dipahami dari konteks pembicaraan kata riya dalam beberapa ayat Alquran di atas yang selalu dikaitkan dengan ritual ibadah. Dalam dua ayat pertama, kata riya dikaitkan dengan ibadah salat. Sedangkan dalam dua ayat terakhir, kata riya dikaitkan dengan ibadah infak atau sedekah.

Baca juga: Khasiat Surah Alikhlas: Amalan Kaya dari Nabi Muhammad

Menggunakan ibadah sebagai media menggapai hati manusia ini yang kemudian menjadi alasan utama ketidakbolehan riya. Penulis menyebutnya sebagai paradoks ibadah. Ibadah, yang berasal dari akar kata ‘abd-‘ubudiyyah dan memiliki esensi penghambaan, sudah semestinya dimurnikan (ikhlash) dari unsur-unsur yang kontradiktif. Dan dengan berperilaku riya, seseorang telah merusak esensi ibadah tersebut.

Kemurnian penghambaan ini pula yang kemudian memunculkan predikat al-syirk al-khafiy pada riya. Selain itu, indikasi dualisme dalam mempersembahkan ibadah juga memunculkan predikat lain berupa nifaq (kemunafikan). Isyarat ini sebagaimana dapat dipahami dari Surah Annisa’ ayat 142 di atas, dan Surah Alkahfi [18] ayat 110 berikut ini,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya hendaklah melakukan amal saleh dan tidak menjadikan apa dan siapa pun sebagai sekutu dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Baca juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 215: Skala Prioritas dalam Sedekah

Maka, jika disebutkan bahwa setiap orang, bahkan muslim sekalipun, telah berlaku riya, itu artinya hanya sebatas pada arti etimologi. Namun demikian, bukan berarti masing-masing dari mereka telah selamat dari riya secara terminologi. Hanya diri dan hati sendiri yang dapat menjawabnya. Sudahkah kita terhindar dan selamat dari riya?

Wallahu a‘lam bi al-shawab[]

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU