Alquran adalah mukjizat yang kekal yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw. secara berangsur-angsur untuk menetapkan hati dan memudahkan untuk dihafal. Tentunya berbagai proses dan upaya telah dilewati sehingga otentisistas Alquran terjaga. Salah satu upaya tersebut ialah jam’u al-Qur’an (pengumpulan Alquran).
Istilah jam’u al-Qur’an (Pengumpulan Alquran) menjadi salah satu cabang Ulumul Quran yang mempunyai bahasan penting untuk diketahui seseorang yang ingin mendalami Alquran, Fahd bin Abdurrahman al-Rumi dalam Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Alquran, mengklasifikasikan pengertian pengumpulan Alquran menjadi 3 pengertian, yaitu pengumpulan dengan bentuk hafalan, pengumpulan dengan bentuk tulisan, dan pengumpulan dengan bentuk merekam suara bacaan Alquran. Ketiga pengertian ini adalah bentuk upaya pengumpulan Alquran.
Pengumpulan dengan hafalan
Allah Swt. berfirman dalam surah Alqiyamah ayat 17-18:
اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗ ۚ
فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗ ۚ
“Sesungguhnya tugas Kamilah untuk mengumpulkan (dalam hatimu) dan membacakannya.”
“Maka, apabila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaannya itu.”
Baca juga: Mengenal Tiga Kitab Nazam Ulumul Quran dan Ushul Tafsir
Dalam kitab Shahih al-Bukhari (4929) karya Imam Bukhari (w.256h) dijelaskan antusias Rasulullah dalam menghafal Alquran:
أَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسً قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ يُحَرِّكُ بِهِ لِسَانَهُ يُرِيْدُ أَنْ يَحْفَظَهُ فَاَنْزَلَ اللَّهُ لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَنَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ
Ketika turun wahyu, Rasulullah menggerakkan lisan, berusaha untuk menghafal Alquran. Lalu, Allah menurunkan ayat, “janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca Alquran) karena hendak cepat-cepat.” (H.R Bukhari)
Dua dalil ini menjelaskan upaya Rasulullah ingin mengumpulkan Alquran dengan hafalan. Semasa hidup, Rasulullah saw. pun tidak pernah lalai menganjurkan para sahabatnya untuk menghafal Alquran, beliau lebih mengutamakan sahabat yang paling banyak hafal Alquran.
Baca juga: Mengenal Rasm Alquran sebagai Bentuk Resepsi Alquran dan Hadis
Upaya menghafal Alquran tak lain didasai oleh amanah yang dibebankan kepada Rasulullah saw., yakni menyampaikan Alquran kepada manusia sebagaimana termaktub dalam firman Allah Swt Surah Alanam ayat 19:
وَاُوْحِيَ اِلَيَّ هٰذَا الْقُرْاٰنُ لِاُنْذِرَكُمْ بِهٖ وَمَنْۢ بَلَغَ ۗ اَىِٕنَّكُمْ لَتَشْهَدُوْنَ اَنَّ مَعَ اللّٰهِ اٰلِهَةً اُخْرٰىۗ قُلْ لَّآ اَشْهَدُ ۚ قُلْ اِنَّمَا هُوَ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ وَّاِنَّنِيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ
“Alquran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan itu aku mengingatkan kamu dan orang yang sampai (Alquran kepadanya). Apakah kamu benar-benar bersaksi bahwa ada tuhan-tuhan lain selain Allah?” Katakanlah, “Aku tidak bersaksi.” Katakanlah, “Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa dan aku lepas tangan dari apa yang kamu persekutukan.”
Hal ini membuat Rasulullah Saw dihantui perasaan sedih dan khawatir berlebihan, jangan sampai beliau lupa pada bacaan Alquran. Ketika turun wahyu, beliau berusaha mengikuti bacaan wahyu dan berusaha menghafalnya. Hal ini berlangsung berkali-kali sehingga turun ayat 114 Q.S. Thaha:
فَتَعٰلَى اللّٰهُ الْمَلِكُ الْحَقُّۚ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْاٰنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يُّقْضٰٓى اِلَيْكَ وَحْيُهٗ ۖوَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا
“Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Janganlah engkau (Nabi Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Alquran sebelum selesai pewahyuannya kepadamu dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”
Nabi Muhammad saw. dilarang oleh Allah Swt. mengikuti bacaan Jibril kata demi kata sebelum Jibril selesai membacakannya agar beliau menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan. Allah Swt. menjamin bahwa beliau akan mampu menghafal ayat-ayat yang diturunkan kepadanya.
Setelah peristiwa ini, apabila wahyu turun kepada Rasulullah saw, beliau diam dan hanya menyimaknya. Setelah malaikat Jibril pergi, beliau merasakan bahwa Alquran telah berkumpul didalam dadanya (sudah hafal luar kepala).
Sementara itu, di kalangan para sahabat terjadi semacam perlombaan menghafal, membaca, dan megkaji Alquran. Karena itu. tidak heran banyak sahabat yang hafal Alquran.
Dari kalangan Muhajirin meliputi Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Huzaifah, Salim pelayan Abu Huzaifah, al-Ash, Ibnu Abdullah, Muawiyah, ‘Abdullah bin Zubair, Abdullah bin as-Saib, ‘Aisyah, Hafshah, dan Ummu Salamah
Sedangkan dari kalangan Anshar meliputi Ubadah bin as-Shamit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Fudhalah bin Ubaid, Musalamah bin Mukhallid, Abu Darda’, Anas bin Malik, dan Abu Zaid bin al-Sakan.
Pengumpulan dengan penulisan
Pengumpulan Alquran dengan cara penulisan berdasar pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hakim (w.405 H) dalam al-Mustadrak ala al-Shahihayn 2/275:
عَنْ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُؤَلِّفُ الْقُرْآنَ مِنَ الِرّقَاعَ
“Dari Zaid bin Tsabit dia berkata suatu ketika kami bersama Rasulullah untuk menulis Alquran di kulit-kulit.”
Menurut Imam Hakim, hadis ini menyiratkan pengertian bahwa pengumpulan ayat-ayat Alquran tidak berlangsung dalam satu tahapan saja. Sebagian sahabat mengumpulkannya ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup. Ada pula yang mengumpulkan Alquran pada masa Abu Bakar. Adapun pengumpulan yang ketiga merupakan penyusunan urutan surah pada masa Kekhalifaan Usman bin Affan.
Penulisan dalam hadis tersebut mempunyai interpretasi yang berbeda-beda. Penulisan pada masa Rasulullah berarti Alquran ditulis tidak pada satu tempat, melainkan pada tempat yang terpisah-pisah. Penulisan pada masa Abu Bakar berarti mengumpulkan tulisan-tulisan Alquran yang tersebar dan ditulis kembali menjadi satu mushaf. Sementara penulisan pada masa Utsman bin Affan adalah menulis beberapa mushaf dan disebarkan kepada para sahabat yang menjadi Gubernur di provinsi-provinsi tertentu, dan mushaf tersebut harus dijadikan contoh penulisan mushaf-mushaf berikutnya.
Pengumpulan lewat rekaman
Adapun yang dimaksud dengan pengumpulan lewat rekaman adalah pelestarian Alquran dengan cara merekam dalam pita suara. Sudah diketahui bahwa ketika membaca Alquran terdapat hukum-hukum bacaan (tajwid) yang harus diperhatikan oleh pembaca Alquran seperti al-Qalqalah, al-Isymam, al-Ikhfa, al-Idzgham, ar-Raum dan sejenisnya. Hal ini cukup menyulitkan dalam penulisan.
Oleh karenanya para ulama menetapkan, bahwa tidak sah berpegang kepada yang tertulis pada mushaf belaka, akan tetapi harus menerima dari seorang yang hafal Alquran. Para ulama mengatakan “Bencana terbesar adalah berguru kepada lembaran-lembaran kasar” (Tadzkiratu as-Sami wa al-Mutakallimu Fi> Adab al-Ilmi wa al-Mutallim).
Baca juga: “Plagiarisme” Alquran (Bagian 1): dari Hammurabi hingga Hitti
Selanjutnya, upaya menyebarkan Alquran dan mengembangkannya di dunia Islam, utamananya di negeri-negeri yang kekurangan pakar dilakukan oleh organisasi pelestarian Alquran yang berdiri di mesir pada tahun 1379 H yang diketuai oleh Labib al-Said. Riwayat mengenai pengumpulan ditulis oleh Labib as-Said dalam al-Jami’ al-Shauti al-Awwami li Alquran al-Karim au al-Mushaf al-Murattal.
Mushaf al-Murattal ini adalah bentuk rekaman yang memperdengarkan Alquran dengan peralatannya berupa perangkat rekaman modern, sejumlah kaset dan piringan hitam.
Adapun para qari’ yang dilibatkan dalam proyek rekaman ini antara lain: Mahmud Khalil al-Husheri membaca dengan riwayat Hafs dari Abu Amir, Musthafa al-Mawallani membaca dengan riwayat Khafaf dari Hamzah, Abd. Al-Fattah al-Qadhi membaca dengan riwayat Ibnu Wardan dari Abu Ja’far, Shiddiq al-Mansyawi, Kamil Yusuf al-Bahtimi dengan Riwayat ad-Duri dan Abu Amir. Wallahu a’lam.