Tipologi Penafsiran Al-Quran Menurut Johanna Pink (Part 2)

tipologi penafsiran Al-Quran menurut Johanna Pink
tipologi penafsiran Al-Quran menurut Johanna Pink

Tulisan kali ini dimaksudkan menyajikan tipologi Johanna Pink yang belum dibahas sebelumnya dan lebih rinci. Ulasan kali ini masih merujuk pada tulisan Pink, Tradition, Authority and Innovation in Contemporary Sunni tafsir: Toward a Typology of Qur’an Commentaries from the Arab World, Indonesia and Turkey yang diterbitkan di Journal of Qur’anic Studies, Edinburg University Press, SOAS, tahun 2010.

Pink menyebut tipologi berikutnya dengan “tipology revisited” atau tipologi tinjauan ulang, karena disimpulkan dari telaah tipologi sebelumya. Varian tipologi ini lebih beragam karena menggunakan beberapa variabel seperti tujuan penafsiran, sikap yang mendasari dan kecenderungan wilayah mufasir.

Baca Juga: Memahami Tafsir sebagai Produk dan Proses Perspektif Abdul Mustaqim

Ditinjau dari tujuan penafsiran

Varian penafsiran ini sebenarnya merupakan tinjauan Pink yang lebih luas dari penelusuran makna al-sāʾiḥūn dalam surah At-Taubah ayat 112. Ia menyatakan bahwa ada motif lain dari para mufasir untuk ditelusuri, yaitu mengenai tujuan yang ingin mereka kejar dalam tafsir Al-Quran mereka.

Pertama, jenis penafsiran polivalensi. Johanna Pink mengungkapkan bahwa polivalensi penafsiran adalah penerimaan adanya beberapa kemungkinan tafsir. Varian inilah yang membedakan penafsiran mufasir klasik periode At-Ṭabarī dan Ibn Kathīr dengan mufasir kontemporer. Ia mencontohkan Al-Qurṭubī yang mengoleksi banyak sekali daftar penjelasan mengenai makna al-sāʾiḥūn tanpa menegaskan satu makna dominan, maupun yang dianggap kolektif benar. Wahbah Zuḥaylī dan beberapa akademisi Al-Azhar juga sering menerapkan varian ini. Dalam tafsirannya, mereka berusaha menjelaskan makna Al-Quran selengkap mungkin, tanpa harus sampai pada satu titik kesimpulan, namun tidak mengandung ambiguitas.

Kedua, jenis penafsiran praktis dan mudah dimengerti. Tafsiran jenis ini ingin memberikan pesan yang jelas kepada para pembacanya. Para mufasir varian ini bermaksud menghindari kebingungan yang disebabkan oleh pemahaman non-literal mengenai istilah Al-Qur’an. Mereka tidak segan untuk menolak penafsiran tertentu sebagai interpretasi yang keliru. Mufasir yang masuk pada varian penafsiran ini biasanya para pemikir reformis Islam seperti Rashīd Riḍā.

Ketiga, jenis penafsiran relatif atau membiaskan makna agar cocok untuk semua kelompok. Tujuan penafsiran seperti ini biasanya digunakan sebagai cara dakwah agar dapat menjangkau lebih banyak kelompok. Corak penafsiran seperti ini sangat khas pada Buya Hamka dan Al-Shaʿrāwī. Pink mengungkapkan bahwa gaya-gaya khotbah terlihat sekali dalam penyampaian penafsiran mufasir varian ini.

Baca Juga: Inilah Lima Latar Belakang Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed

Ditinjau dari sikap yang mendasari

Setiap penafsiran Al-Quran pasti tidak lepas dari sikap teologis, ideologis, atau hermeneutika tertentu. Oleh karena itu, Pink menyisipkan usulan dalam hasil analisisnya mengenai sikap yang mendasari para mufasir. Sepanjang penerokaannya, Pink menemukan tiga kategori sikap: konservatif, cukup-ortodoks, dan modernis.

Tafsiran Al-Qur’an konservatif bercirikan ketergantungan mereka pada dogma teologis tradisional dan atau pandangan mazhab hukum Sunni yang mapan. Mereka menghindari penggunaan kontekstualisasi historis ayat. Sikap terhadap non-Muslim dan Syiah agak tertutup, dan lebih menekankan peran gender yang tradisional yang hirarkis. Tafsiran Abū Zahra, Akademi Riset Islam al-Azhar, al-Shaʿrāwī dan Ḥawwā sebagian besar selaras dengan kategori ini.

Sikap “cukup-ortodoks” dalam penafsiran Al-Qur’an nampak pada pengambilan sebagian pandangan kaum reformis modern awal, namun juga sebagian lain mengambil dari sikap kaum tradisional klasik. Mereka menerima kemajuan aspek pendidikan dan pembangunan sosial, namun menghindari pergeseran peran gender dan sikap terhadap non-Muslim. Kecenderungan tujuan varian ini biasanya mengikuti jalan tengah serta memaknai Al-Qur’an secara polivalen. Sayyid Ṭanṭāwī, al-Zuḥaylī dan Kementerian Agama Indonesia mewakili kategori penafsiran jenis ini.

Al-Quran dengan penafsiran modernis dicirikan oleh seringnya penggunaan penafsiran reformis modern awal dan sesekali penafsiran inovatif yang menyesuaikan pesan Al-Qur’an dengan dunia kontemporer. Para mufasir varian ini mengikuti pandangan-pandangan kontemporer seperti egaliterianisme, hak laki-laki atas perempuan, inklusif terhadap non-Muslim, dan menunjukkan ketertarikan pada disiplin ilmu di luar tafsir seperti filsafat, sains, dll. Tafsir yang paling jelas menggunakan kategori ini adalah Yüce Kur’ânın Çağdas¸ Tefsîri karya Süleyman Ates, dan Kuran Yolu: Türkçe Meâl ve Tefsir terbitan Diyanet Turki. Pink menambahkan Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah, meskipun ia juga menyebut keduanya tidak selalu konsisten pada kategori ini.

Baca Juga: Proyek Tafsir Al-Mishbah: Menggapai Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ala M. Quraish Shihab

Tipe Menurut Kecenderungan Regional Mufasir

Selain varian-varian di atas, memasukkan analisis menurut wilayah tinggal mufasir juga merupakan suatu yang penting. Hal ini karena para penafsiran mufasir terhadap Al-Quran tidak terlepas dari rung lingkup kondisi lingkungan yang mengelilinginya. Dengan variabel ini, Pink merincikan tiga tipe kecenderungan regional mufasir.

Pertama, mufasir kawasan Arab (Mesir dan Suriah) lebih menggunakan penafsiran literal dan cenderung konservatif terhadap masalah status perempuan, sikap terhadap non-Muslim, dan perbudakan. Kedua, mufasir Indonesia banyak menggunakan penafsrian mistik dan pendekatan sufistik serta meninggalkan pendekatan literal teks. Mufasir Indonesia nampak sekali menunjukkan penerimaannya pada pandangan reformis-modernis awal. Ketiga, mufasir Turki menyukai pendekatan hermeneutika dan filsafat, serta tidak lagi menggunakan pendekatan literal. Mereka mengadopsi pendekatan kritik-historis dengan tujuan mengejar ketertinggalan atas Barat.

Tipe penafsiran Al-Qur’an berdasarkan kecenderungan regional menjadi akhir dari tipologi yang diklasifikasikan. Dan di akhir pembahasannya, Johanna Pink sebenarnya memberikan saran bahwa tipe penafsiran kontekstual yang diadopsi oleh mufasir kontemporer menjadi prioritas untuk diambil karena memberikan manfaat luas bagi perkembangan peradaban modern. Namun hemat penulis, semua penafsiran Al-Quran varian manapun, dari klasik hingga kontemporer selama bersifat inklusif, sama bermanfaatnya dan layak dijadikan rujukan. Wallahu a’lam.