Setiap manusia pasti punya harapan untuk dapat memenuhi kebutuhan. Ia bekerja, mendayagunakan kemampuan segala rupa demi dapat mewujudkannya. Sampai-sampai seringkali harapan itu kelewat batas karena kebahagiaan ia gantungkan pada capaian kepemilikan barang yang lebih dari sekadar keperluan. Itulah gaya hidup konsumtif yang hari ini menjadi fenomena sosial di masyarakat kita. Saat banyak orang hanya dapat puas jika mereka memiliki barang mewah dengan jumlah berlimpah. Satu-satunya cara untuk dapat merubah fenomena ini ialah beralih pada gaya hidup minimalis, yang sebenarnya menjadi salah satu ajaran Islam. Agama yang mengajarkan kesederhanaan.
Apa itu hidup minimalis?
Hidup minimalis merupakan gaya hidup yang mengajarkan untuk fokus pada sektor esensial dan mengesampingkan sektor non esensial. Anthony Ongaro, penggerak gaya hidup minimalis lewat website breakthetwich.com yang didirikannya mendefinisikan hidup minimalis dengan “lifestyle practice focused on minimizing distractions that keep you from doing what matters to you”. Yakni gaya hidup yang fokus untuk meminimalisasi gangguan yang menghalangi hal penting yang harus dikerjakan seseorang.
Banyak tokoh ternama yang mempraktikkan gaya hidup ini. Di antaranya, Steve Jobs, CEO perusahanan Apple, yang selalu sederhana dalam berbusana dan dalam menjalani hidupnya. Selain itu, ada Mahatma Gandhi dan Bunda Tesera. Menurut penuturan Fumio Sasaki dalam Goodbye, Things, tiga tokoh ini termasuk yang sempurna dalam mempraktikkan gaya hidup minimalis.
Nabi Muhammad juga termasuk sosok yang mempraktikkan gaya hidup minimalis, seperti kebiasaan tidur Nabi di kamar yang sederhana, hanya beralaskan tikar dari kulit binatang yang berisi serabut pelepah kurma. Dari kebiasaan Nabi inilah seharusnya seorang muslim meneladani hidup sederhana, secukupnya.
Baca juga: 3 Pola Hidup Minimalis Yang Bernilai Qur’ani
Larangan israf, tuntunan hidup minimalis dalam Al-Quran
Selain melalui sunah Nabi, hidup minimalis juga diajarkan dalam Al-Quran. Hidup minimalis yang seyogianya dipedomani oleh setiap muslim dalam Al-Quran tampak pada larangan untuk bermewah-mewahan, yang antara lain tertera pada surah Al-An’am ayat 141.
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفاً أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشابِهاً وَغَيْرَ مُتَشابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِين
Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Ayat tersebut memberikan tuntunan untuk tidak hidup bermewah-mewahan. Kata kunci yang menunjukkan larangan itu ialah laa tusrifuu, yang secara literal berarti berlebihan.
Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir menuturkan bahwa israf bermakna melebihi dari yang cukup yang ditandai dengan hati yang selalu rela untuk memenuhi hawa nafsu. Dengan pengertian ini, dapat dipahami bahwa orang yang israf berkecenderungan untuk berusaha mewujudkan keinginannya. Dan hanya dengan ini ia akan merasa lega. Tetapi, karena termasuk tabiat keinginan itu yang tak terbatas, ia justru akan menghancurkan dirinya sebab membuang banyak waktu dan tenaga demi pergi ke satu kelegaan menuju kelegaan lain yang tiada ujung.
Menurut Fuad Abdul Baqi dalam Mu’jam-nya, israf disebutkan sebanyak 23 kali dengan beragam derivasi kata dalam Al-Quran. Ada yang menunjukkan makna pola relasi kebendaan seperti yang dibahas surah Al-An’am di atas. Ada yang bermakna pola relasi personal transendental, seperti pada surah Taha ayat 127. Ada pula yang menunjukkan pola relasi sosial, seperti pada surah Yunus ayat 83.
Makna larangan israf dalam dimensi relasi kebendaan dalam surah Al-An’am merupakan salah satu contoh etika religius Islam. Larangan yang bersifat menuntun menunjukkan bahwa konteks ayat tersebut berada pada wilayah etika. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu ‘Asyur bahwa larangan pada ayat tersebut adalah li irshad, bukan li al-tahrim.
Pemaknaan ini akan selaras dengan pengertian israf dalam konteks ayat tersebut yang secara khusus menuntun untuk tidak berlebihan dalam makan, minum, atau dalam hal mubah lainnya. Ibnu Kathir dalam Tafsir Al-Quran al-‘Adzim menjelaskan bahwa israf dalam ayat tersebut ditujukan dalam hal makan, minum, berpakaian, dan bersedekah. Begitu pula ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb juga menyebutkan bahwa israf dalam konteks ayat itu berarti berlebihan dalam hal kebendaan.
Fokus pada sektor esensial
Larangan untuk israf menunjukkan perintah agar kita fokus pada sektor esensial. Hal-hal yang sifatnya penting untuk hidup kita, itulah yang harus diupayakan. Seperti dalam pemberdayaan diri, kita harus memulainya dari diri sendiri dulu, baru kepada sanak keluarga terdekat, dan prioritas seterusnya.
Nabi pun juga menyinggung konsep minimalis ini dalam banyak hadis, di antaranya yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dalam Arbain Nawawi:
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه
Termasuk dari kesalehan seorang muslim ialah meninggalkan hal yang tidak penting baginya.
Baca juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 24, Isyarat Larangan Cinta Dunia yang Berlebihan
Keuntungan hidup minimalis
Gaya hidup minimalis dapat memberikan profit dalam segi finansial, mental, dan tentu saja spiritual. Seseorang dengan gaya hidup minimalis lebih bijak dalam mengelola kebutuhan ekonominya, karena ia lebih fokus pada pembunuhan keinginan, bukan kebutuhan. Strategi ini akan mempermudah seseorang untuk mewujudkan tujuan finansial.
Dalam segi mental, seseorang dengan gaya hidup minimalis dapat lebih menikmati hidup dan merasakan bahagia. Dengan manajemen pikiran yang baik, yaitu fokus pada hal-hal esensial yang menunjang dirinya, di satu sisi. Dan di sisi lain, meninggalkan hal non esensial, seperti rasa penasaran pada capaian-capaian orang lain, ia akan terhindar dari kebiasaan atau lingkungan yang tidak sehat baginya. Sebagaimana yang dituturkan Joshua Becker dalam Becoming Minimalist, bahwa gaya hidup ini dapat mengantarkan seseorang pada hidup yang bahagia, karena kesederhanaannya.
Gaya hidup minimalis juga dapat meningkatkan kualitas spiritual. Dengan hidup sederhana dan dalam makna, kita berarti telah mengerem hawa nafsu berlebih pada hal duniawi. Tidak menjadikan perkara materiel sebagai tujuan kebahagiaan, melainkan lantaran. Sehingga, kita mengambil hal materiel itu secukupnya saja, sesuai dengan kebutuhan. Karena hidup minimalis adalah tentang bagaimana kita dapat memiliki hal yang benar-benar bernilai untuk hidup kita. Hal yang menjadi cerminan bagi visi dan misi hidup kita.
Di tengah beragam persoalan yang disebabkan oleh tren materialisme saat ini, hidup minimalis dapat menjadi alternatif. Kita juga dapat mengangkat marwah budaya Timur yang sarat akan kesederhanaan, keseimbangan, dan hidup dalam makna. Yang beberapa kurun terakhir kabur jati dirinya sebab arus materialisme. Tentu saja, Islam termasuk di dalam budaya Timur dengan ajaran kesederhanaan, keseimbangan, dan hidup bermakna ini. Wallahu a’lam[]
Baca juga: Surah Al-Furqan [25] Ayat 67: Anjuran Bersedekah Secara Proporsional