Salah satu tokoh sarjana barat yang fokus terhadap kajian kritis terhadap al-Qur’an adalah John Wansbrough (1928-2002). Melalui kajian kritisnya dalam bentuk sastra (form-criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction-criticism) al-Qur’an. Disebut juga sebagai metode analisis sastra (method of literary analysis).
Metode tersebut banyak digunakan orientalis untuk mengkritisi perjanjian lama dan perjanjian baru. John Wansbrough yang dikenal sebagai tokoh orientalis mengkaji teks suci agama yang menggunakan pendekatan kritik sejarah. Yang kemudian ia terapkan pada kajian kritis terhadap al-Qur’an. Pemikiran Wansbrough atas kritik terhadap al-Qur’an sebenarnya sudah dilakukan oleh Ignaz Goldziher. Ia mengasumsikan bahwa al-Qur’an mengadopsi Perjanjian Lama (Taurat) yang di dalamnya menyebutkan mengenai asal-usul Yahudi. Asumsi yang sama juga disebutkan oleh sarjana Barat yang lain seperti perkataan D.B. Mac Donald menurutnya al-Qur’an adalah karangan Muhammad.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang
Gustave Lebon dalam Dā’irāt al-Ma’arif al-Islāmiyyah mengasumsikan hal yang senada. Ada beberapa kritikan Wansbrough terhadap al-Qur’an. Yang pertama al-Qur’an sepenuhnya mengadopsi tradisi Yahudi (dan pada taraf tertentu berada dalam tradisi Kristen). Kedua, al-Qur’an pada masa sekarang ini adalah bentuk perpaduan dari berbagai tradisi sosio-historis kaum muslim pada dua abad pertama Islam. Dan yang ketiga adalah redaksi al-Qur’an tidak ditetapkan secara definitif sebelum abad ke-3 H/9 M, jadi pendapatnya mengenai muṣhaf utsmani hanyalah fiktif belaka.
Salvation History (Sejarah Penyelamatan) terhadap al-Qur’an
“Sejarah Penyelamatan (Salvation History) adalah terjemahan dari istilah Jerman Heilsgesichicte yang pertama kali digunakan oleh J.C Von Hoffman (1810-1877) dan Martin Buber (1818-1877) untuk menunjukan makna-makna yang terkandung dalam Bibel. Sebagai bukti manifestasi Tuhan sebagai juru selamat di dunia.
Salvation history bukan sejarah yang menggambarkan peristiwa sebagai objek kajian para sejarawan. Salvation history bukan peristiwa yang betul-betul terjadi, akan tetapi bentuk literatur (literary form) dengan konteks tertentu. Dalam Kristen, salvation history merupakan penyelamatan jiwa seseorang dari dosa warisan untuk kehidupan yang abadi. Dalam Yahudi salvation history merupakan keyakinan bahwa Tuhan mempertahankan (menyelamatkan) eksistensi kelompok, etnik, atau suku bangsa tertentu.
Terdapat perbedaan maksud dari bentuk salvation dari ketiga agama semit. John Wansbrough melihat bahwa literatur tersebut berdasarkan pada proposisi bahwa penulisan literatur dari salvation history, walaupun menggambarkan tulisan semasa dengan peristiwa yang disajikan, sebenarnya berasal dari satu masa setelah terjadinya peristiwa dimaksud. Sekaligus menunjukkan bahwa hal tersebut ditulis berdasarkan pandangan masa sesudah peristiwa terjadi. Yang menunjukan kepentingan pada masa itu.
Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 8: Awal Kedengkian Saudara-Saudara Nabi Yusuf
Dengan demikian Wansbrough menyimpulkan bahwa sejarah dalam arti apa yang betul-betul terjadi (what really happened) secara keseluruhan ditempatkan sebatas bagian interpretasi orang-orang belakangan dan pada akhirnya kita tidak bisa melepaskan diri dari interpretasi itu. Kritik Wansbrough terhadap al-Quran dilandasi rasa kekhawatiran terhadap komunitas muslim di Mekah dan Madinah. Ia berasumsi bahwa narasi dan teks yang disusun di dalam al-Qur’an untuk menggambarkan asal usul Islam dan mengarahkan pergerakan Islam dalam menyebarkan ajaran agama.
Andrew Rippin dalam “Literary Analysis of the Qur’an, Tafsir and Sira: The Methodologies of John Wansbrough,” Membenarkan argumen Wansbrough bahwa, kita tidak tahu, bahkan tidak akan pernah tahu, apa yang benar-benar telah terjadi. Yang bisa kita ketahui adalah apa yang diyakini orang yang datang kemudian tentang sesuatu yang terjadi sebagaimana terdokumentasi melalui salvation history.
Analisa literatur (literary analysis) terhadap sumber yang seperti itu akan nampak kepada kita berupa komponen-komponen yang dilakukan orang-orang masa belakangan tersebut dalam rangka melahirkan satu pemahaman dan menentukan apa yang mereka sebut telah terjadi beserta alasannya. Tapi sesungguhnya literary analysis tidak akan pernah menjelaskan kepada kita tentang apa yang benar-benar terjadi.
Frame work sejarah penyelamatan (Salvation History) digunakan dalam pembahasan ajaran Yahudi dan Kristen. Sedangkan dalam konteks sejarah penyelamatan al-Qur’an, Whansbrough merupakan pelopor yang menggaungkan asumsi tersebut. Al-Qur’an menurut Whansbrough adalah satu-satunya bukti literal mengenai Islam klasik sehingga ia mengatakan bahwa Islam hanya dapat diukur dari al-Qur’an.
Kemudian umat Islam menerima dokumen-dokumen yang tertulis tersebut sebagai sejarah penyelamatan (salvation history). Redaksi al-Qur’an yang final bukanlah sebuah proyek yang ditetapkan secara final oleh perorangan / sekelompok orang. Akan tetapi menurut pendapat Wansbrough bahwa redaksi final tersebut dapat diketahui dari proses penjejeran dengan tradisi tedahulu yang bersamaan pada saat turunnya al-Qur’an.
Tradisi tersebut dapat berupa naskah atau hadis Rasulullah. Kandungan tradisi-tradisi ini dapat dilukiskan sebagai logia kenabian (sabda-sabda Nabi atau hadis) yang susunannya memperhatikan bentuk-bentuk sastra yang dapat diidentifikasi.Di sisi lain ia menegaskan bahwa jejak rekam riwayat tentang kisah pengumpulan al-Qur’an serta laporan-laporan tentang kodeks para sahabat merupakan bukti rekayasa dan diangkat sebagai otoritas teks ilahi yang bahkan belum dikompilasi baku pada abad ke-3 H/ 9 M.
Baca juga: Melacak Jejak Para Kontributor Pengembang Ilmu Isytiqaq
Menurut Wansbrough umat muslim sepeninggal Muhammad SAW telah melakukan kepentingan penalaran terhadap al-Qur’an. Ia mengasumsikan bahwa proses kodifikasi al-Qur’an sepeninggal Nabi Muhammad terdapat penambahan unsur sosio-historis pada masa belakangan dan ditafsirkan oleh tradisi.
Dan apa yang dinyatakan teks tersebut merupakan suatu sejarah penyelamatan (salvation history) yang diyakini kebenarannya oleh kaum muslim. Ini yang menjadi analisis Wansbrough mengasumsikan proses kodifikasi al-Qur’an sebagai upaya umat muslim melakukan penyelamatan sejarah (salvation history) terhadap agama Islam. Berangkat dari framework ini menampilkan diri seakan-akan peristiwa tersebut semasa dengan peristiwa yang dilukiskannya, namun faktanya berasal dari periode belakangan. (wallahu a’lam)