Surat al-Ikhlas mempunyai keutamaan (fadhilah) yang banyak. Surat ini kerap kali dijuluki tsulutsu al-Quran (sepertiga Al-Quran). “Apabila salah seorang dari kalian tidak mampu jika membaca sepertiga dari Al-Quran di setiap malamnya, maka hendaknya membaca Allahul wahid al-shamad (yaitu surat al-Ikhlas) nilanya adalah sepertiga dari Al-Quran.” (H.R. al-Bukhari)
Hadits di atas juga mengisyaratkan bahwa apabila kita membaca surat Al-Ikhlas 3 kali maka pahalanya sebanding dengan mengkhatamkan Al-Quran. Dalam konteks ini, menarik ditelusuri karena ayat Al-Quran mempunyai keutamaan yang beraneka ragam. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan diulas terkait performasi surat al-Ikhlas dari masa Nabi saw hingga dewasa ini.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Salat Lima Waktu dalam Peristiwa Isra Mikraj
Performasi Surat Al-Ikhlas
Pada masa Nabi saw, surat al-Ikhlas dipahami sebagai dasar-dasar tauhid umat Islam yang diwahyukan sebagai respon atas tuduhan orang kafir yang menyoal wujud Allah swt sebagaimana penuturan Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir. Di era berikutnya, yakni Madinah, ada salah satu sahabat dalam setiap shalatnya ia senantiasa membaca surat al-Ikhlas karena kecintaannya pada surat ini.
Fenomena sahabat ini ternyata mengonfirmasi temuan J.G. Frazer dalam The Golden Bough: A Study of Magic and Religion, yang menyatakan bahwa manusia dengan berbagai problematikanya ia berpedoman pada akal dan ilmu pengetahuan. Namun adakalanya akal dan ilmu pengetahuan mereka sangat terbatas, maka untuk mengatasi kebuntuan persoalan salah satunya dengan magis, yaitu hal-hal yang berbau mistis atau supranatural. Magis diartikan sebagai segala perbuatan manusia untuk mencapai tujuan tertentu melalui kekuatan-kekuatan yang terkandung pada alam atau di luar itu, serta atmosfir yang menyelimutinya.
Dalam perjalanannya, performasi surat al-Ikhlas, sebagaimana riset Senata Adi dan Nurul Himatil Ula dalam Performative Analysis of Rajah Syekh Subakir, dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori, yaitu pembacaan sebelum tidur, obat bagi orang sakit, mempermudah atau melancarkan hajat dengan riyadah atau ritual tertentu, serta menghindari kefakiran.
Baca juga: Bagaimana Sikap Kita Terhadap Ajaran dalam Kitab Taurat dan Injil?
Bahkan tidak hanya dibaca, surat al-Ikhlas juga ditulis dalam bentuk rajah sebagaimana keterangan berikut,
ويقرأ عليه سورة الإخلاص سبعة وأربعين مرة والعزيمة مثل ذلك ويقول اللهم بحق هذا الاسم أو السورة أن تنزل البركة في كذا وكذا الإشارة إلى هذا الوقت
Barang siapa yang membaca surah al-Ikhlas sebanyak 47 kali dan menuliskannya pada azimah lalu berdoa, “Ya Allah, dengan kebenaran asma ini (surah al-Ikhlas) turunkanlah keberkahan di dalam (sebutkan hajatnya) melalui isyarah azimat ini. (Al-Ghazali dalam Al-Aufaq)
Fungsi lain dari surat al-Ikhlas juga dipaparkan al-Nazili dalam Khazinatul Asrar yaitu untuk mempermudah hajat. Berikut penuturannya,
روي عن أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من صلى ليلة الأحد اربع ركعات يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة و قل هو الله أحد ثلاث مرات فإذا فرغ من صلاته يستغفر الله سبعين مرة فيبعث الله تعالى إليه ألف ملك يدعون له و يستغفرون له الى يوم ينفخ في الصور و يكتب له أجر شهيد و تمحى ذنوبه عنه و لو كانت بعدد نجوم السماء و زبد البحر وصلاة يومه أيضاً أربع مروية
Dari Anas r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang shalat pada malam ahad sebanyak empat rakaat di setiap rakaatnya membaca surat al-Fatihah satu kali, surat al-Ikhlas sebanyak tiga kali. Apabila telah selesai shalatnya membaca istighfar sebanyak tujuh puluh kali maka Allah mengutus seribu maikat kepadanya agar mendoakannya, memohonkan ampunan untuknya sampai waktu ditiup sangkakala, baginya dicatatat sebagai ganjaran orang yang mati syahid, dan dosa-dosanya dihapuskan sekalipun sejumlah bintang di langit dan sebanyak busa di laut. Shalat pada hari ahadnya juga sebanyak empat rakaat”.
Baca juga: Pembagian Warisan Bagi Anak dan Orang Tua Menurut Al-Qur’an
Dari keterangan di atas baik hadits, atsar sahabat maupun pendapat ulama ternyata performasi surat al-Ikhlas tidak hanya terpaku pada teks saja, melainkan dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek baik secara estetis, bacaan, tulisan maupun kontekstualis. Artinya, selain sebagai wahyu, surat Al-Ikhlas juga dirapal sebagai “mantra” atau wirid, termasuk juga ditulis dalam bentuk simbol-simbol dalam maksud dan tujuan tertentu.
Dalam konteks ini, performasi ayat-ayat Al-Quran termasuk surat al-Ikhlas menjadi perekat sosial masyarakat atau dalam bahasa Durkheim, kohesi sosial (pemersatu masyarakat). Wallahu A’lam.