Kitab tafsir yang berjudul “’Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an” ini merupakan karya dari seorang sufi asal Persia yang bernama lengkap Muhammad Ruzbihan ibn Abi Nashr al-Baqli al-Syirazi (522 H/1128 M-606 H/1209 M). Tidak diketahui secara pasti kapan dan membutuhkan waktu berapa lama bagi Ruzbihan al-Baqli untuk menyelesaikan karya monumental ini. Melalui karya ini, Ruzbihan al-Baqli menafsirkan seluruh ayat Al-Qur’an penuh hingga 30 juz secara berurutan dengan menggunakan urutan tartib mushafi.
Kitab tafsir ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an dicetak pertama kali oleh penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah pada tahun 2008. Dalam cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyah tersebut, kitab tafsir ini tersusun dalam bentuk tiga jilid, dengan rincian berikut: (1) jilid pertama dimulai dari penafsiran QS. al-Fatihah [1] hingga QS. al-Anfal [8]; (2) jilid kedua memuat penafsiran QS. al-Taubah [9] sampai QS. al-Mu’minun [23]; dan (3) jilid ketiga berisi penafsiran QS. an-Nur [24] sampai QS. an-Nas [114].
Dalam proses penafsiranya, Ruzbihan al-Baqli mengungkap makna ayat Al-Qur’an berdasarkan pendekatan sufistik. Husain al-Dzahabi dalam al-Tafsir al-Mufassirun membagi klasifikasi corak tafsir sufistik dalam dua bentuk: (1) Tafsir Sufi Nazhari (Teoretis), yaitu madzhab tafsir yang dalam pengungkapan makna ayat Al-Qur’an menggunakan pendekatan kajian terhadap beberapa teori tasawuf maupun filsafat. Kemudian, dari kajian tersebut kemudian dicarikan dalil-dalil dari Al-Qur’an untuk memperkuat teori tersebut; (2) Tafsir Sufi Isyari/’Amaliy (Praktis), yaitu corak tafsir yang dalam pengungkapan makna Al-Quran menggunakan ta’wil berdasarkan pada isyarat-isyarat khusus yang diberikan kepada para sufi, salik, ahli ibadah, dan orang-orang yang dekat dengan Allah.
Jika ditinjau dari klasifikasi tersebut, maka karya Ruzbihan al-Baqli ini termasuk dari corak tafsir isyari. Hal ini dikarenakan ia menggunakan isyarat-isyarat ilahi sebagai salah satu sumber penafsiranya. Kemudian, dalam proses penyajianya, Ruzbihan al-Baqli menyampaikan hasil interpretasinya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan sistematika berikut:
وَصَنَّفْتُ فِيْ حَقَائِقِ القُرْآنِ كِتَابًا مُوْجَزًا مُخَفَّفًا لَا إِطَالَةَ فِيْهِ وَلَا إِمْلَالَ، وَذَكَرْتُ مَا سَنَحَ لِيْ مِنْ حَقِيْقَةِ القُرْآنِ، وَلَطَائِفِ البَيَانِ، وَإِشَارَةِ الرَّحْمَنِ فِيْ القُرْآنِ بِأَلْفَاظٍ لَطِيْفَةٍ، وَعِبَارَةٍ شَرِيْفَةٍ، وَرُبَّمَا ذَكَرْتُ تَفْسِيْرَ آيَةٍ لَمْ يُفَسِّرْهَا الْمَشَايِخُ، ثُمَّ أَرْدَفْتُ بَعْدَ قَوْلِيْ أَقْوَالَ مَشَايِخِيْ مِمَّا عَبَارَتُهَا أَلْطَفُ، وَإِشَارَتُهَا أَظْرَفُ بِبَرَكَاتِهِمْ، وَتَرَكْتُ كَثِيْرًا مِنْهَا، لِيَكُوْنَ كِتَابِيْ أَخَفُّ مَحْمَلًا، وَأَحْسَنُ تَفْصِيْلًا
“Aku menyusun kitab haqaiq al-Qur’an sebagai kitab yang ringkas nan ringan, di dalamnya tidak ada pembahasan yang panjang dan menyusahkan. Aku menyebutkan apa saja yang masuk dalam pikiranku dari hakikat Al-Qur’an, penjelasan yang halus, dan isyarat Allah dalam Al-Qur’an dengan lafal yang halus, dan frasa yang mulia. Boleh jadi aku menyebutkan penafsiran ayat yang mana hal tersebut belum pernah ditafsirkan oleh para guru-guru. Kemudian, aku menambahkan setelah pendapatku dengan pendapat-pendapat guru-guruku, yang mana pendapat tersebut memiliki frasa yang lebih halus, dan isyaratnya leboh elok dengan keberkahan mereka. Dan aku meninggalkan banyak darinya (tidak mengutip semuanya), supaya karyaku lebih ringan dibawa dan memiliki perincian yang lebih baik”
Baca juga: Mengenal Ruzbihan al-Baqli: Mufasir dan Sufi Besar Asal Persia
Kritik atas Tafsir ‘Arais al-Bayan
Sebagai sebuah karya tulis, tentu tidak terlepas dari kritik para pembacanya. Misalnya kritik dari Husain al-Dzahabi, ia mengkritisi salah satu ungkapan Ruzbihan al-Baqli dalam mukaddimahya, yaitu:
وَاسْتَعِنْتُ بِهِ، لِيَكُوْنَ مُوَافَقًا لِمُرَادِهِ، وَمُوَاطَئًا لِسُنَّةِ رَسُوْلِهِ
“aku meminta tolong dari Allah terhadap maksudnya dan kesesuaian dengan sunnah Rasul-Nya”
Dengan ungkapan tersebut, al-Dzahabi menganggap Ruzbihan al-Baqli ingin mengatakan bahwa apa saja yang ada di dalam kitab ‘Arais al-Bayan merupakan hasil penafsiran dan penjelasan Al-Qur’an yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dikarenakan al-Dzahabi menemukan makna-makna yang aneh (gharibah) dari hasil penafsiran Ruzbihan al-Baqli, yang mana hal tersebut tentu tidak mungkin dimasukkan ke dalam apa yang dimaksudkan dari lafal Al-Qur’an, serta menurutnya juga tidak logis apabila maksud Allah hanya bisa dipahami dan menjadi khitab bagi pribadi-pribadi tertentu.
Namun demikian, menurut penulis pribadi, kritik al-Dzahabi tersebut terlampau berlebihan. Mengingat ungkapan Ruzbihan al-Baqli tersebut hanyalah sebuah ucapan harapan bukan pengakuan sepihak. Dan itu lumrah diucapkan oleh banyak mushannif ketika menulis karya-karya mereka. Selain itu, di akhir mukaddimahnya, al-Baqli telah menyampaikan maaf apabila nantinya ditemukan kesalahan dalam hasil penafsiranya, sebagaimana ungkapanya berikut:
وَمَا أَصَبْتُ ذَلِكَ، فَهُوَ بِتَأْيِيْدِ اللهِ وَنُصْرَتِهِ، وَمَا أَخْطَأْتُ فِيْهِ، فَهُوَ لَازِمٌ لِيْ، وَأَنَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ تَعَالَى مِنْ ذَلِكَ
“Apabila (hasil penafsiran) aku benar, maka itu tidak lain hanyalah berkat dukungan dan pertolongan Allah. Dan apabila aku salah dalam menafsirkan, maka kesalahan itu harus dialamatkan kepadaku, dan aku memohon ampun kepada Allah atas kesalahan tersebut”
Baca juga: Memahami Konsep Self Oriented Pada Tafsir Isyari
Contoh Penafsiran Isyari Ruzbihan al-Baqli
Setelah disampaikan mengenai karakteristik kitab ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, maka penulis akan menunjukkan salah satu hasil interpretasi Ruzbihan al-Baqli terhadap ayat Al-Qur’an. Misalnya, dalam penafsiran Q.S. al-Baqarah [2] ayat 11 berikut:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ – ١١
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan”
Dalam menjelaskan ayat di atas, Fakhr al-Din al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib mengutip pendapat Ibnu Abbas yang memahami bahwa kerusakan di bumi yang dimaksud adalah semakin banyaknya kemaksiatan yang tampak (idzhar al-ma’shiyah). Berbeda dengan pandangan sebelumnya, Ruzbihan al-Baqli justru memberikan interpretasi terhadap ayat tersebut sebagaimana berikut:
(وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِي الْأَرْضِ)
أَيْ: لَا تُنْكِرُوْا أَوْلِيَاءَ اللهِ، وَلَا تُشَوِّشُوْا قُلُوْبَ الْمُرِيْدِيْنَ بِغِيْبَةِ شُيُوْخِهِمْ عِنْدَهُمْ، وَلَا تُلْقُوْهُمْ إِلَى تَهْلُكَةِ الفِرَاقِ، وَقَنْطَرَةِ النِّفَاقِ
“(Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!) maksudnya: jangan mengingkari/menentang para wali Allah, jangan kalian ganggu hati para murid dengan membicarakan guru-guru mereka, dan jangan kalian jatuhkan mereka ke dalam kehancuran perpecahan dan kemunafikan”
Berdasarkan dua penafsiran di atas, maka disimpulkan bahwa kitab tafsir ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an karya Ruzbihan al-Baqli ini sangat didominasi dengan pemahaman terhadap makna batin yang terkandung di balik makna lahirnya. Bahkan, dalam banyak penafsiranya, ia meninggalkan pembahasan makna lahir ayat dan langsung menuju makna batin ayat tersebut sesuai dengan isyarat dan pemahaman dari Ruzbihan al-Baqli. Wallahu A’lam
Baca juga: Sayyid Muhammad Husain Al-Thabathaba’i: Arsitek Tafsir Al-Mizan