Pada setiap upaya deskripsi mushaf kuno, qira’ah menjadi salah satu aspek terpenting yang harus diungkap oleh para peneliti. Selain karena menjadi bagian dari kesatuan mushaf, pengungkapan terhadap aspek qira’ah dapat memberikan penjelasan terhadap sejarah pembacaan Al-Qur’an di masanya, atau bahkan dalam lingkup yang lebih luas, sejarah perkembangan qira’ah itu sendiri.
Meski demikian, nyatanya dalam setiap mushaf kuno tidak selalu dijumpai catatan atau keterangan yang menjelaskan afiliasi qira’ah yang dianut. Jika demikian, maka bagaimana cara untuk mengetahuinya? Tulisan singkat ini bermaksud memberikan tawaran atas cara-cara yang mungkin ditempuh guna mengetahui qira’ah dalam mushaf kuno.
Dua Cara Mengetahui Wajah Qira’ah dari Suatu Mushaf
Tidak seperti mushaf modern, mushaf-mushaf kuno tidak dilengkapi dengan catatan deskripsi yang menjelaskan detail mushaf (al-ta‘rif bi al-mushaf). Jangankan catatan lengkap, informasi seperti qira’ah saja jarang ditemukan. Kalau pun ada, penjelasan mengenai qira’ah misalnya, biasanya dijumpai secara langsung pada bagian dalam mushaf: pada ayat-ayat yang memiliki perbedaan bacaan yang lantas diberikan ulasannya dalam catatan pias (ruang kosong di tiga sisi bagian halaman setiap mushaf).
Memang sulit mengetahui qira’ah yang dianut. Hal ini disebabkan qira’ah merupakan satu dari beberapa wajah bacaan yang dianut oleh seorang imam yang membedakannya dengan imam lain. Sehingga orientasi yang dimiliki ada pada aspek pelisanan, bukan pada penulisan. Namun sulit bukan berarti tidak mungkin, bukan?
Ada setidaknya dua cara untuk mengetahui afiliasi qira’ah ini. Islah Gusmian dalam kajiannya terhadap mushaf Al-Qur’an koleksi Pesantren Al-Mansur, Popongan, Klaten menyebutkan salah satunya. Yakni dengan mengamati sistem tanda baca atau harakat dalam tulisan. Cara ini, sejauh yang penulis pahami, didasarkan pada aspek orientasi qira’ah yang mengarah pada pelisanan. Sehingga proses identifikasinya ditempuh dengan mengamati sistem bunyi yang dihasilkan.
Pak Islah, sapaan akrab beliau, mencontohkan Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 10 pada kata yakdzibun (يَكْذِبُوْنَ). Huruf ya’ dibaca fathah dan huruf kaf dibaca sukun. Cara pembacaan yang demikian adalah qira’ah Imam ‘Ashim (w. 128 H.), Hamzah (w. 156 H.), dan Ali al-Kisa’iy (w. 189 H.).
Baca juga: Tiga Imam Qira’ah yang Concern Pada Kajian Rasm
Cara yang kedua adalah cara yang penulis lakukan berdasarkan sistem rasm. Tepatnya pada penulisan kata yang memiliki dua bacaan atau ma fihi qira’atan wa kutiba ‘ala ihdahuma. Sistem ini sejatinya merupakan bagian dari enam kaidah penulisan rasm yang diusulkan Al-Suyuthiy (w. 911 H.) selain pembuangan huruf atau al-hadzf, penambahan huruf atau al-ziyadah, penulisan hamzah, penggantian huruf atau al-ibdal, serta memisahkan dan menyambung huruf atau al-washl wa al-fashl.
Dalam sejarahnya, kaidah ma fihi qira’atan ini merupakan bagian dari ijtihad ‘Utsman. Al-Farmawy di dalam Rasm al-Mushaf wa Naqthuhu menyebutkan bahwa di antara metode ‘Utsman dalam melakukan kodifikasi Al-Qur’an adalah menyatukan rasm kalimat yang memiliki lebih dari satu qira’ah selama itu memungkinkan dan menulisnya dengan rasm yang berbeda jika tidak memungkinkan.
Contohnya seperti dalam QS. Al-Fatihah [1] ayat 4, kata maliki (ملِكِ) ditulis tanpa huruf alif setelah huruf mim. Hal ini dilakukan karena memungkinkan dilakukan penggabungan dua qira’ah dalam satu tulisan. Di mana qira’ah panjang atau mad sebagaimana dianut oleh Imam ‘Ashim dan Ali al-Kisa’iy ter-cover dengan menggunakan fathah berdiri sebagai ganti dari alif.
Sehingga pada contoh ini, jika sebuah mushaf kuno ditulis menggunakan rasm imla’i dengan huruf alif alih-alih fathah berdiri, dapat dipastikan bahwa mushaf tersebut mengikuti salah satu dari dua imam, ‘Ashim atau Al-Kisa’iy.
Memang penulis mengakui bahwa cara-cara ini belum mampu memberikan kepastian yang clear and distinct terkait afiliasi qira’ah sebuah mushaf, tetapi setidaknya dapat membantu mempersempit ruang pencarian dari ketujuh atau lebih imam qira’ah yang ada. Atau barangkali pembaca punya cara lain yang lebih sempurna? Wallahu a‘lam bi al-shawab.
Baca juga: Perbedaan Qiraah, Riwayah, dan Thariq Serta Contohnya dalam Ilmu Tajwid