Kedudukan mushaf utsmani sebagai mushaf yang mengkodifikasi dan menjadi mushaf resmi umat Islam adalah bagian sangat penting dalam sejarah Al-Qur’an itu sendiri. Karena itu, sangat banyak sarjana Islam dari klasik hingga modern-kontemporer yang membahasnya dalam satu bab tersendiri, termasuk yang dilakukan oleh Muhammad Mustafa Azami dalam bukunya the History of the Qur’an Text: from Revelation to Compilation.
Pemilihan Azami dalam tulisan ini, minimal, berdasarkan kontribusinya yang menampilkan berbagai argumentasi atas otentisitas sejarah Al-Qur’an. Sampai sekarang, para sarjana masih tetap mempercayainya dan merujuk kepadanya terkait sejarah Al-Qur’an, terutama di kalangan sarjana Muslim. Di sini, tulisan ini akan memaparkan secara ringkas kajian Azami tentang Al-Qur’an pada masa khalifah Utsman bin Affan, baik sebelum maupun saat dijadikan mushaf resmi.
Muhammad Mustafa Azami dan Karyanya
Muhammad Mustafa Azami dilahirkan pada tahun 1932 di Mano, salah satu kota di India Utara. Akrab dipanggil Al-A’zami, yang dinisbahkan kepada tempat kelahirannya, Azamgarh. Azami belajar di jurusan Tadris Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar, Cairo, lulus tahun 1955. Tahun 1956, beliau menjadi dosen Bahasa Arab di Qatar, mengajar orang-orang non-Arab. Tahun 1964, beliau kembali melanjutkan studinya di ke jenjang doktor (Ph.D) di Universitas Cambridge, Inggris.
Pada tahun 1957, Azami menjadi Sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah), lalu berhenti pada tahun 1968, dan ikut andil dalam pendirian Fakultas Pasca Sarjana Universitas King Abdul Aziz (sekarang Universitas Umm al-Qura) serta mengajar di fakultas tersebut. Selanjutnya, pada tahun1973 Azami pindah ke Riyadh dan mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Beliau wafat pada 20 Desember 2017, di Riyadh Arab Saudi.
Baca Juga: Mengenal Tafsir Al-Ubairiz Karya Gus Mus
Ada sangat banyak karya A’zami, yakni Studies in Early Hadith Literature, On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence, Kuttab Al-Nabi, The Qur’anic Challenge: A Promise Fulfilled, Kitab Al-Tamyiz of Imam Muslim, Maghazi Rasulullah of ‘Urwahbin Zubayr, Muwatta Imam Malik, Naskah Suhail bin Abu Shalih, Naskah Abu al-Yaman, dan the History of The Qur’anic Text from Revelation to Compilation: a Comparative Study with the Old and New Testaments, dan lainnya.
Di antara karya-karya di atas, buku the History of The Qur’anic Text from Revelation to Compilation menjadi rujukan penting dalam kajian sejarah Al-Qur’an. Di dalam buku tersebut dibahas secara komprehensif berbagai argumentasi sejarah dalam membuktikan keshahihan Al-Qur’an dari era pewahyuan hingga saat ini. Buku ini membuktikan bahwa Al-Qur’an yang dipegang oleh umat Islam saat ini sama persis dengan Al-Qur’an yang ada pada era Nabi Muhammad SAW, yang otomatis termasuk pada era Khalifah Utsman bin Affan.
Dinamika Sosial Menjelang Kodifikasi Al-Qur’an oleh Utsman bin Affan
Ada dinamika sosial yang menjadikan para Sahabat, terutama di era Khalifah Utsman bin Affan, mengambil keputusan untuk mengkodifikasi dan menyeragamkan bacaan dalam satu mushaf. A’zami mengungkap bahwa di masa itu umat Islam disibukkan jihad yang membawa Islam ke utara sampai Azerbaijan dan Armenia. Ini memunculkan fenomena keragaman bacaan Al-Qur’an karena umat Islam di berbagai daerah tersebut sulit meninggalkan dialeknya secara spontan.
Akan tetapi, fenomena ini berakibat munculnya kerancuan dan perselisihan bacaan Al-Qur’an dalam umat. Karena itu, menurut Azami, Utsman menjelaskan berbagai perbedaan bacaan Al-Qur’an serta meminta pendapat umat mengenai hal ini, meskipun saat itu Utsman menyadari bahwa tentu ada saja yang menganggap dialek tertentu lebih unggul sesuai afiliasi kesukuan. Ketika ditanya pendapatnya, Utsman bin Affan mengatakan:
“Saya tahu bahwa kita ingin menyatukan manusia (umat Islam) pada satu Mushaf (dengan satu dialek), oleh sebab itu tidak ada perbedaan dan perselisihan” dan kami menyatakan “sebagai usulan yang sangat baik”.
Dari sini, Azami mengemukakan dua riwayat terkait keputusan Utsman untuk menjadikan Al-Qur’an satu dialek. Satu, beliau membuat mushaf dengan berlandaskan pada suhuf yang disimpan Hafsa, istri Nabi Muhammad SAW. Dua, beliau telah memberi wewenang pengumpulan mushaf dengan suhuf yang sudah ada. Azami mengkrompromi dua riwayat ini dengan mengatakan keduanya sepaham bahwa suhuf dari Hafsa memiliki peran penting Al-Qur’an menjadi mushaf Utsmani.
Kodifikasi Al-Qur’an dalam Mushaf Utsamni
Telah dijelaskan bahwa ada dua riwayat yang diambil Utsman dalam pengkodifikasian mushaf. Pada riwayat pertama, setelah menerima suhuf dari Hafsah, Utsman kemudian memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-‘As, dan Abdurrahman bin Al-Harits yang ketiga terakhir adalah orang-orang Quraisy, untuk memperbanyak salinan suhuf tersebut. Utsman disebut memerintahkan bahwa ketika terjadi perselisihan bacaan dengan Zaid, maka bacaan Al-Qur’an ditulis dalam dialek Quraisy.
Pada riwayat kedua, yang paling rumit dan kompleks menurut Azami, Utsman telah memberi wewenang pengumpulan mushaf tersendiri. Azami mengutarakan beberapa langkah yang dilakukan oleh Utsman terkait ini. Pertama, Pembentukan panitia yang terdiri dari dua belas orang sebagai pengawas proyek ini, yang bertugas mengamati dan mengoreksi naskah yang akan disiapkan. Kedua, Penyusunan sebuah naskah mushaf sendiri dengan memercayai dua belas panitia tersebut.
Langkah ketiga adalah Utsman mengambil dan menjadikan suhuf dari Aisyah, yang telah didiktekan langsung oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai perbandingan dengan mushaf yang telah dikumpulkan secara independen oleh panitian dua belas tersebut. Setelah melalui berbagai perbandingan, penyesuaian, dan perbaikan, Utsman kemudian memerintahkan agar semua salinan naskah lainnya dimusnahkan.
Langkah keempat adalah Utsman mengambil suhuf dari Hafsa kemudian melakukan verifikasi. Menurut Azami bahwa naskah yang dibuat sendiri (independen) oleh Utsman tersebut telah divervikasi dan dibandingkan dengan suhuf resmi yang semula dipegang oleh Hafsah.
Pada titik ini, Azami memahami upaya Utsman mengumpulkan naskah sendiri kemudian membandingkannya dengan suhuf Hafsah sebagai sekedar upaya simbolik. Ini terkait erat dengan peristiwa sebelumnya di mana ribuan sahabat tidak dapat berpartisipasi dalam kompilasi suhuf. Karena itu, upaya Utsman ini dinilai untuk menarik perhatian dan partisipasi para sahabat yang masih hidup.
Baca Juga: Memahami Kepemilikan dan Pergeseran Otoritas Penafsiran Al-Qur’an Menurut Ziauddin Sardar
Azami lebih jauh menegaskan bahwa tidak ada inkonsistensi dari suhuf dan mushaf independen tersebut, yang menunjukkan dua poin penting. Pertama, sejak awal teks Al-Qur’an telah kukuh dan tidak inkonsistensi hingga abad ketiga. Kedua, metodologi yang digunakan ketika pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an sangat tepat dan akurat.
Sampai di sini, kajian Al-‘Azami tersebut menunjukkan bahwa mushaf Utsmani hadir sebagai proyek yang diliputi dinamika sosial yang kompleks, terutama terkait penyeragaman bacaan yang melibatkan kekacuan umat. Pengadaan proyek mushaf Utsmani dilakukan dengan sistem dan metode yang ketat. Sehingga, sekalipun Al-Qur’an didalamnya khas versi Utsmani, tetapi dalamnya tidak bertentangan dengan suhuf-suhuf yang telah ada sebelumnya. [] Wallahu A’lam.