Metodologi Tafsir Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Konstruksi Fiqh Ke-Indonesiaan

Hasbi Ash-Shiddieqy
Hasbi Ash-Shiddieqy (wikipedia)

Hasbi Ash-Shiddieqy terkenal sebagai salah seorang tokoh muslim reformis yang gagasannya mampu membuat namanya bersanding dalam jejeran sarjana muslim berpengaruh di Indonesia. Salah satu gagasannya yang terkenal ialah Fiqh Ke-Indonesiaan, sebuah gagasan pembaharuan hukum Islam yang menjadikan konteks lokalitas adat atau urf sebagai elemen penting dalam formulasinya.

Untuk melihat posisi al-Qur’an dalam kerangka reformasi Fiqh Ke-Indonesiaan yang disusun oleh Hasbi, maka perlu adanya kacamata menarik yang mampu mengurainya. Dalam hal ini, uraian yang ditulis oleh Yudian Wahyudi dalam karyanya Hasbi’s Theory of Ijtihad menjadi salah satu karya yang mampu mengupas pemikiran fiqh reformis secara komprehensif. Karya ini sekaligus dapat menjadi jembatan dalam melihat bagaimana Hasbi memposisikan al-Qur’an dalam konstruksi pemikirannya.

Hasbi dan Dinamika Pemikirannya

Pemikiran memang merupakan suatu wilayah yang dinamis dan tidak terprediksi. Salah satu contoh cendekiawaan yang menjadi contoh populer dalam kasus ini semisal al-Syafi’i dengan qaul qadim dan qaul jadid-nya, lalu al-Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah­ dan Ihya’ Ulumuddin-nya. Maka dinamisasi pemikiran seorang tokoh merupakan suatu hal yang sangat lumrah, sebab pemikiran tidak bisa dilepaskan oleh orientasi yang muncul dari keterpengaruhan faktor eksternal yang bisa berupa hasil pembacaaannya terhadap teks maupun konteks tertentu.

Baca Juga: Mufasir Indonesia: Hasbi Ash-Shiddieqy, Pelopor Khazanah Kitab Tafsir Kontemporer di Indonesia

Sebagaimana penjelasan di atas, Hasbi Ash-Shiddieqy juga mengalami hal yang sama. Dalam perjalanan pemikirannya, ia mengalami perubahan orientasi yang cukup mencolok. Dalam perjalanan pemikirannya, ia mengalami perubahan orientasi yang cukup mencolok. Yudian yang mendapati fakta data tersebut kemudian mencoba membaca Hasbi dengan dua tema besar yaitu: 1) Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah; 2) Ke-Indonesiaan.

Tema pertama tersebut menandai tonggak awal pemikiran Hasbi. Konsekuensi dari “kembali” menurutnya ialah menghidupkan substansi al-Qur’an maupun Hadis di segala macam konteks ruang dan waktu. Maka tidak mengherankan apabila Hasbi menolak adanya taqlidisme ataupun fanatisme dalam bermadzhab. Baginya, taklid hanya akan meruntuhkan peluang bagi kemunculan ijtihad baru.

Dari sini bisa dilihat bahwa Hasbi menempatkan al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama dalam konstruksi pemikirannya. Menghadirkan ijtihad sebagai “mesin produksi” dalam menghadirkan produk-produk baru dalam menjawab tantangan perkembangan ruang dan waktu, merupakan substansi pemikirannya di fase awal ini.

Cara pandang dan metodologi yang digagas Hasbi pada fase ini terkesan modernis dan mungkin sekilas seperti pemikiran Syahrur. Sebab memberikan kebebasan pada siapapun untuk melakukan ijtihad. Namun pada realitanya pemikiran Hasbi ini justru menjadi angin segar bagi kalangan fundamentalis yang ingin mendegradasi kaum tradisionalis.

Bahkan Hasbi pun mendukung aktivitas purifikasi yang sebenarnya berbeda motif dengannya. Sebab Hasbi memiliki motif modernisasi (lepas dari residu taqlidisme termasuk warisannya berupa adat istiadat yang religius) sedangkan pihak yang mengambil keuntungan memiliki motif salafisasi yang terpengaruh paham Wahabisme. Selengkapnya dapat dibaca di Pembaruan Islam Yudian Wahyudi.

Akhirnya Hasbi pun bentrok dengan kalangan tradisionalisme yang menudingnya sebagai aktor utama. Namun, karena faktor tertentu—yang belum penulis temukan, Hasbi merombak konstruksi pemikiran reformisnya. Ia yang sebelumnya tidak menempatkan lokalitas adat/ urf sebagai sumber pembaruan pemikirannya—bahkan membuangnya, kini memungutnya kembali dan menjadikannya sebagai bahan utama dalam mengolah al-Qur’an dan Hadis.

Ia pun mencetuskan produk Fiqh Ke-Indonesiaan yang kemudian menjadi jembatan antara orientasi pertamanya yang mengusung ijtihad sebagai alat reformasi fiqh dengan orientasi keduanya yang menjadikan lokalitas adat/ urf sebagai acuan reformasinya. Maka jika diistilahkan, Hasbi telah berhasil melakukan sintesa antara modernis dan tradisionalis atau sederhanya telah berhasil merangkul kedua golongan yang bergejolak dalam konstelasi politik saat itu serta memberikan solusi penengah di antara keduanya.

Metodologi Tafsir dalam Fiqh Ke-Indonesiaan

Pada uraian dinamisasi pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy sebelumnya, sudah diperlihatkan bahwa pada produk Fiqh Ke-Indonesiaan setidaknya memiliki dua komitmen dasar. Pertama, melakukan pembacaan ulang (re-interpretasi atau kontekstualisasi) terhadap al-Qur’an maupun Hadis yang merupakan sumber hukum Islam. Kedua, menempatkan adat istiadat khas Indonesia/ urf sebagai sumber pokok yang harus dipertimbangkan dalam melakukan kontekstualisasi, sehingga menghasilkan produk hukum yang kontekstual dan bernafaskan ke-Indonesiaan.

Dengan demikian, secara sederhana dapat diuraikan bahwa metodologi tafsir Hasbi Ash-Shiddieqy dalam konstruksi Fiqh Ke-Indonesiaan yang dicetuskannya, berorientasi kepada upaya untuk terus membuka pintu ijtihad sembari memproporsikannya dengan konteks lokalitas. Artinya metodologi ini memaksa umat Islam untuk selalu berpikir terhadap nash-nash pokok agama dan membuka potensi adanya pemaknaan baru yang mampu menjawab tantangan zaman sembari mengakomodasi budaya lokalitas sebagai bagian yang tak terpisahkan.

Baca Juga: Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah

Maka Hasbi sejatinya mengingkan agar umat Islam di Indonesia ini mampu untuk memproduksi produk fiqh secara mandiri yang kontekstual dan bernafaskan ciri khas lokalitas. Sebab bagaimanapun sampai saat ini fiqh masih menjadi wacana yang hampir selalu mengalami perdebatan baik dari tingkat akar rumput sampai ke atas—sebab perbedaan madzhab fiqh yang dibawa.

Oleh karena itu, Hasbi Ash-Shiddieqy mencetuskan ide Fiqh ke-Indonesiaan ini juga sebagai metodologi yang menurutnya bisa dikonsensus sebagai panduan dalam merumuskan hukum Islam di Indonesia. Menurutnya fiqh kontekstual yang berlandaskan nafas lokalitas akan sangat ideal sebab selain mampu menjawab tantangan perkembangan zaman, juga mampu mengakomodasi kebudayaan–yang tentu setiap daerah mempunyai ciri khas yang berbeda—sehingga tidak ada pemaksaan fiqh yang bernafaskan lokalitas tertentu kepada lokalitas lain yang memiliki perbedaan kebudaayaan yang signifikan. Seperti halnya memaksakan aplikasi fiqh yang bernafaskan budaya Timur Tengah kepada masyarakat yang hidup di Nusantara. Wallahu a’lam