Ulama mengklasifikasikan lafaz dari segi penggunaan maknanya menjadi dua macam yakni hakikat dan majas. Amir Syarifuddin dalam bukunya Ushul Fiqih Jilid 2, hakikat (denotatif) dan majas (konotatif) merupakan pembahasan tentang lafaz dan maknanya yang dikaji oleh sastrawan, pakar ushul fikih, dan ulama ulumul qur’an untuk memperoleh isi kandungan suatu lafaz sehingga dapat dikeluarkan dari teks tersebut suatu hukum atau hikmahnya.
Kemudian Imam As-Suyuthi dan Imam Jalaluddin menjelasan bahwa hakikat adalah kalimat yang pada awalnya digunakan dalam makna yang ditetapkan oleh pengguna bahasa dan yang terlitas pertama kali dalam pikiran apabila kalimat tersebut diucapkan atau dituliskan. Sedangkan, Quraish Shihab menjelaskan majas adalah makna yang berbeda dengan makna hakikat, karena adanya indikator yang mengalihkannya dari makna tersebut. Keberadaan hakikat banyak ditemukan dalam Al-Qur’an dan tidak ada pertentangan mengenai pembahasannya dalam Al-Qur’an, sebaliknya keberadaan majas dalam Al-Qur’an masih menjadi perdebatan, masih banyak ulama yang mempertentangkan adanya majas dalam Al-Qur’an.
Hakikat dalam pengertian bahasa, berasal dari bahasa Arab yakni haqqa yang artinya murni, kenyataan atau asli. Secara etimologi hakikat (haqīqah) merupakan asal kata dari haqqa yang berarti tetap. Ia bisa bermakna subjek (fa’il), sehingga memiliki arti yang tetap atau objek (maf’ul) yang berarti ditetapan.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 263: Etika Memberi dan Meminta Bantuan
Menurut Ibnu Subki istilah hakikat diartikan dengan lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Sedangkan Ibnu Qudamah mendefinisikan hakikat sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Begitupun dengan Al-Sarkhinsi menurutnya hakikat ialah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu.
Makna Majas dan Hakikat Serta Contohnya
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat yakni suatu kata atau kalimat yang maknanya digunakan menurut asalnya serta untuk maksud tertentu. Maksudnya, kata atau kalimat tersebut mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain. Contohnya seperti pada kata “kursi”; menurut asalnya kata kursi merupakan tempat duduk yang memiliki sandaran dan kaki, akan tetapi untuk bisa saja kata kursi dipalingkan arti kekuasaan, jabatan (majas), namun secara hakikat kursi adalah tempat duduk.
Sedangkan majas merupakan kebalikan dari hakikat. Majas (majāz) berasal dari kata al-jawaz yang berarti melampaui. Majas digunakan untuk menjelaskan suatu lafaz selain pada makna yang tersurat di dalam nash atau teks. Hal itu karena di dalam teks tersebut terdapat persamaan atau keterkaitan baik makna yang tersurat di dalam teks maupun yang terkandung di dalam teks tersebut. Majas merupakan bentuk perpindahan dari makna dasar ke makna lainnya karena alasan tertentu yang dibenarkan oleh kaidah bahasa.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Tentang Tata Cara Bertayamum Yang benar
Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman (1993) lafaz majas adalah suatu lafaz yang digunakan untuk suatu arti yang semula lafaz itu bukanlah diciptakan untuknya. Dalam artian bahwa lafaz yang digunakan itu dipinjam untuk menyampaikan pesan tapi tidak dengan makna aslinya lafaz itu diciptakan untuknya.
Ibnu Qadamah memberikan definisi majas sebagai lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan. Sedangkan menurut Al-Sarkhisi, majas ialah nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan. Begitupun dengan Ibnu Subki yang mendefinisikan majas sebagai lafaz yang digunakan untuk pembentukkan kedua karena adanya keterkaitan.
Berikut contoh penggunaan lafaz majas dalam Al-Qur’an terdapat dalam Q.S. Al-Anfal [18] : 2
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.
Penambahan keimanan yang sebenarnya merupakan pekerjaan Allah Swt. itu dinisbatkan kepada ayat-ayat-Nya, karena ayat-ayat itu menjadi penyebab atau perantaranya seseorang memperoleh bertambahnya keimanan.
Penggunaan pemaknaan majas dalam ayat-ayat Al Qur’an dapat dilihat ketika Ulama memberikan penakwilan terhadap Q.S. Shad ayat 75:
قَالَ يَٰٓإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَىَّ ۖ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ ٱلْعَالِينَ
“Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?“.
Pada ayat di atas kalimat “khalaqtu biyadayy” (Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku) ditakwilkan sebagai kekuasaan, ketentuan, anugerah Allah. Ada sebagian ulama yang enggan menggunakan kata majâz, bahkan menolak adanya apa yang dinamai majâz dalam Al-Qur’an. Alasan mereka, bahwa majâz adalah bagian dari kebohongan dan mustahil ada kebohongan dalam Al-Quran. Mayoritas ulama menerima adanya majâz dalam Al-Quran dan berusaha mengalihkan maknanya. Namun demikian, semua menegaskan bahwa tidak layak beralih ke makna majâz (metafora) kecuali jika makna hakiki tidak lurus dipahami atau sulit dipahami.
Baca juga: Tafsir Surat Al-Qashash Ayat 56: Memahami Hikmah, Ragam dan Proses Hidayah
Majas (majāz) merupakan bagian pokok bahasan ‘ilmul bayān yang termasuk bagian dari susastra Arab. ‘ilmul bayān digunakan untuk mempelajarai kebahasaan dan susastra Arab, maka upaya memahami isi kandungan Al-Qur’an, menurut Quraish Shihab dalam Kaidah Tafsir tidak dapat mengabaikan pembahasan tentang majas, karena dalam Al-Qur’an terdapat banyak kata dan kalimat yang dapat dikategorikan sebagai majas. Dengan memahami majas mufasir dapat melakukan penakwilan terhadap suatu kata atau kalimat dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian pemahaman tentang majas tidak boleh dihiraukan oleh para cendikiawan muda yang ingin mempelajari penafsiran Al-Qur’an. Wallahu a’lam[]