Melanjutkan artikel sebelumnya berjudul Syair Jahili dalam Penafsiran al-Quran, tulisan kali ini akan menyajikan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keabsahan syair jahili dalam menafsirkan al-Quran.
Muhammad Husein Muhammad dalam penelitiannya berjudul Atsar al-Syi’r al-Jahili fi Tafsir al-Quran al-Karim (2018) menyebutkan, setidaknya ada dua golongan mengenai syair sebagai syawahid (referensi) dalam penafsiran al-Quran; yaitu golongan yang pro dan golongan yang kontra. Dimulai dari kelompok kontra terlebih dulu.
Kontra-Syair
Para ulama yang menolak syair sebagai syawahid (referensi) penafsiran al-Quran mengatakan, “Jika kami menjadikan syair sebagai asal (sumber) bagi al-Quran, tentu ini mustahil. Karena, jika ditafsirkan memakai syair, bisa jadi makna al-Quran sama sekali berbeda dengan makna yang dikehendaki Allah sebenarnya. Sebab itulah kami menolak syair sebagai sumber rujukan tafsir al-Quran.”
Kelompok ini juga mengutip QS. Al-Syu’ara [26]: 224;
وَالشُّعَرَاۤءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوٗنَ ۗ
Para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.
Selain ayat di atas, mereka juga berhujah pada hadits Nabi berikut;
لِأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا حَتَّى يُرِيَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا
Sesungguhnya perut seseorang di antara kalian yang dipenuhi muntah itu lebih baik daripada perut yang dipenuhi dengan syair.
Kemudian kita juga membaca dalam Images of Muhammad (2021), Tarif Khalidi mengutip riwayat Nabi yang menafikan seorang penyair besar pra-Islam, Imri’ al-Qais. Ketika nama Imri’ al-Qais disebut di hadapan Nabi, beliau saw bersabda, “Ia seorang pria yang dielu-elukan dan bermartabat di dunia ini. Tetapi sama sekali tidak berarti apa-apa di akhirat kelak. Saat Hari Kebangkitan tiba, ia akan mengibarkan panji para penyair dan akan memimpin mereka masuk ke dalam jurang api neraka.”
Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 69-70: Al-Quran Bukan Syair, Ini Penjelasannya
Pro-Syair
Kelompok ini adalah mayoritas di antara para sahabat, tabiin dan generasi setelahnya. Banyak riwayat yang menunjukkan hal itu. Misalnya seperti Amirul Mukminin Umar bin Khaththab dan Tarjuman al-Quran, Ibn Abbas seperti dikisahkan dalam artikel terdahulu.
Guna menjawab dalil penolakan kelompok yang kontra, kelompok ini menjelaskan bahwa ada pengecualian pada ayat selanjutnya yang dengan sendirinya dapat dipahami bahwa syair dan para penyair itu tidak semua dicela, yaitu al-Syu’ara [26]: 227.
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَذَكَرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّانْتَصَرُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا ظُلِمُوْا ۗوَسَيَعْلَمُ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اَيَّ مُنْقَلَبٍ يَّنْقَلِبُوْنَ ࣖ
Kecuali (para penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak mengingat Allah, dan bangkit membela (kebenaran) setelah terzalimi. Orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui ke mana mereka akan kembali.
Lalu terkait hadis yang mencela para penyair, hadis itu juga hanya ditujukan kepada para penyair yang melulu berkutat dalam syair hingga hati mereka lupa dengan al-Quran dan Allah Swt.
Jika benar semua syair itu buruk, lalu bagaimana dengan Hassan bin Tsabit, seorang penyair beken pada masanya yang didapuk sebagai penyair pribadi Nabi, serta hadis Nabi Saw yang menegaskan bahwa ada hikmah di balik syair?
إن من الشعر حكمة
Sedangkan ketidaksukaan atau penolakan kelompok pertama (kontra), yaitu jika makna al-Quran disalahpahami, ini hanya jika makna ayat disimpangkan dari zahirnya dengan mendasarkannya pada syair Arab.
Kita juga mendapati keterangan al-Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulum al-Quran, bahwa “Adanya ‘karahah’ atau penolakan itu jika suatu ayat dipahami secara menyimpang dari semestinya, kepada makna yang telah keluar (dari makna populer) dan sedikit sekali syair Arab yang menjadi dalil penafsiran tersebut. Maka segeralah menyelisihinya.”
Abu Hilal al-‘Askari dalam Kitab al-Shana’atain; al-Kitabah wa al-Syi’r (1952) menyebutkan beberapa keutamaan syair. Di antaranya diksi yang digunakan adalah yang paling fasih, asing, bermakna kompleks, dan sastrawi. Syair yang tidak mengandung unsur-unsur tersebut belum cukup disebut sebagai syair (hal. 138).
Baca juga: Benarkah Syair Itu Haram? Simak Penafsiran Surat Yasin Ayat 69
Syair sebagai Hujah Gharib al-Quran
Dalam al-Shahabiy fi Fiqh al-Lughah al-Arabiyyah (1993) karya linguis Abu al-Husain al-Razi, kita membaca keterangan yang menegaskan bahwa syair merupakan diwan al-‘arab (catatan historis Arab), yang dengannya nasab-nasab para kabilah terjaga, sebagaimana ditegaskan dalam al-Hujurat [49]: 13.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.
Selain itu kita juga dapat mengetahui rekam jejak masa terdahulu serta mempelajari ragam bahasa melalui diwan al-arab. Syair, tambah al-Razi, merupakan hujah atau petunjuk bagi kata-kata dalam al-Quran ataupun hadis yang sukar diurai-dipahami maknanya (al-Shahabiy, hal. 73).
Para ulama tidak menyebut seluruh syair itu buruk. Syair Arab yang dikutip, khususnya syair jahili adalah kalimat-kalimat yang bijak dan ungkapan-ungkapan indah yang terkandung di dalamnya. Bukan yang berisi sindiran, ejekan, apalagi makian. Bukan. Syair yang begitu, tak perlu dipakai sebagai syawahid.
Ketika dihadapkan pernyataan seseorang kepadanya, “Syairnya si Fulan itu bohong, loh,” al-‘Askariy (1952) menimpali, “Yang dikehendaki dari penyair adalah keindahan kalimatnya. Jika kebenaran, maka hanya para nabi yang mestinya dikehendaki.”
“Jika ada kekurangan dalam syair,” tambah al-‘Askariy, “maka seseorang tidak harus menolak dan menjauhinya. Pengecualian Allah terhadap para penyair (dalam al-Syu’ara [26]: 224) itu menunjukkan, yang dicela dari syair adalah penyimpangan penafsiran dari yang benar ke yang salah. Jika sifat-sifat (penyimpangan) tersebut tidak ditemukan, hilanglah celaan terhadap syair,” (al-Shana’atain, hal. 138).
Alhasil, penggunaan syair jahili sebagai alat untuk menafsirkan al-Quran umumnya hanya sebatas untuk mengetahui maksud dari diksi al-Quran yang asing (gharib) seperti yang dilakukan para linguis. Para linguis ini mendasarkannya pada al-Zukhruf [43]: 3 dan al-Syu’ara [26]: 195.
Hal ini juga senada dengan pernyataan Ibn Abbas yang dinukil Abu Bakar al-‘Anbariy dalam Idhah al-Waqf wa al-Ibtida (1971) , “Syair merupakan diwan al-‘arab. Apabila ada sekata-dua kata dalam al-Quran—kitab suci yang diturunkan Allah menggunakan bahasa Arab—yang sukar dipahami, maka kembalilah pada diwan al-‘arab, dan ambilah pengetahuan darinya (hal. 100-111).” Wallahu a’lam.
Baca juga: Pesan Kinasih Shalawat Fadhailul Qur’an, Syair Anggitan Kyai Ahsin Sakho Muhammad