BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranMushaf Kuno dan Islamisasi Nusantara

Mushaf Kuno dan Islamisasi Nusantara

Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehadiran mushaf Alquran menjadi bukti atas eksistensi Islam di suatu wilayah tertentu. Banyaknya temuan mushaf kuno di wilayah komunitas muslim menjadi bukti kuat akan hal ini. Aceh, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Surakarta, Yogyakarta, dan Surabaya merupakan sedikit dari sekian banyak wilayah yang menjadi pusat Islam.

Menurut Pak Ali Akbar, klaim eksistensi ini dilandaskan pada motivasi kuat umat Islam untuk memiliki “salinan” Alquran. Bagi mereka, Alquran adalah pedoman hidup, yang karenanya ia harus didakwahkan kepada yang lain. Kalau pun tidak, membacanya sendiri sudah dinilai sebagai amal ibadah.

Klaim dan argumentasi tersebut jika dikaitkan dengan wilayah tertentu. Pertanyaannya kemudian, bagiamana jika mengaitkan kehadiran mushaf Alquran dengan Islam pada masa tertentu dalam lintasan sejarah?

Pak Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo menyebutkan bahwa Islam telah masuk di Nusantara sejak awal kemunculannya di abad ke-7 M. Islam kemudian menjadi mapan di abad ke-15 M. setelah melewati masa fatrah selama 8 abad. Maka jika mengacu data ini, dengan dasar klaim yang sama seperti sebelumnya, temuan mushaf Alquran juga semestinya menunjuk pada masa yang kurang lebih sama, atau paling akhir abad ke-15 M.

Baca juga: Kajian Rasm dalam Mushaf Kuno Nusantara

Bagaimanakah sejauh ini data menyuguhkan realita sesungguhnya?

Hasil kajian yang dilakukan oleh Bu Annabel Teh Gallop menunjukkan bahwa upaya penyalinan Alquran di dunia Melayu, termasuk Nusantara, memang telah dimulai sejak abad ke-13 M. Dalam tulisannya berjudul The Art of the Qur’an in Southeast Asia tersebut, Bu Annabel mendasarkan upaya penyalinan Alquran dengan kehadiran institusi keislaman seperti kerajaan. Adalah Pasai yang menjadi kerajaan Islam pertama kala itu.

Dasar penyalinan Alquran ini juga didukung oleh Pak Ali Akbar yang menyebutkan bahwa, meski penyalinan Alquran dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam, sponsor utama tetap datang dari kalangan elit penguasa atau kerajaan. Dibuktikan dengan temuan mushaf kuno yang umumnya memperhatikan seni dan estetika, baik dari sisi kaligrafi maupun iluminasi.

Meski begitu, realitanya mushaf Alquran tertua yang kini ditemukan baru menunjuk pada tahun 1585 M. atau setara dengan tahun 993 H. Mushaf ini diduga berasal dari Sumatera koleksi William Marsden, pelopor ethnohistory Hindia Belanda yang sempat melayani East India Company di Sumatera bagian barat hingga tahun 1779 M.

Baca juga: Benarkah Mushaf Rotterdam Adalah yang Tertua Se-Nusantara? Ini Data Pembandingnya

Dan lagi, kalau pun benar hipotesis yang diajukan oleh Bu Annabel dan Pak Ali Akbar ini, asumsi yang sama mestinya juga dapat diterapkan pada kasus islamisasi yang lain, misalnya Islam di Jawa yang ditandai dengan hadirnya Walisongo dan Kerajaan Demak. Pun tidak demikian realita yang ada.

Mushaf kuno yang tercatat tertua dari koleksi Museum Masjid Agung Demak menunjukkan tahun 1783 M, sebuah mushaf yang diberikan oleh Rahaden Bagus Prawata. Akan tetapi, merujuk pada informasi yang diberikan Pak Agus Sunyoto, Walisongo diikuti dengan awal berdirinya kerajaan Demak diperkirakan berada pada perempat akhir abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-16. Artinya ada selisih masa hampir dua abad lamanya.

“Keterlambatan” ini lantas menimbulkan banyak pertanyaan. Pasalnya ada jarak sekian abad lamanya sejarah mushaf kuno telah “menghilang”. Benarkah hipotesis yang diajukan oleh Bu Annabel dan Pak Ali, ataukah memang belum ditemukan mushaf lain yang lebih tua, atau memang ada faktor lain yang mempengaruhi “keterlambatan” ini? Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Baca juga: Melihat Decentering Islamic Studies dari Kacamata Mushaf Nusantara

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...