Para ulama menjelaskan bahwa keadaan haid dan nifas membuat seorang perempuan dilarang salat dan menyentuh Alquran. Hal ini membuat perilaku bersuci seperti wudu atau mandi sebelum selesainya haid serta nifas bagi mereka adalah suatu yang sia-sia. Sebab, wudu atau mandi tersebut tidak lantas membuat mereka boleh untuk salat, menyentuh Alquran, serta ibadah lain yang membutuhkan bersuci dari hadas kecil maupun besar.
Lalu, sebenarnya bagaimana hukum berwudu atau mandi besar sebelum selesai haid atau nifas? Apakah lantas diharamkan sebab tidak ada lagi nilai ibadah di dalamnya? Bagaimana pula hukum mengerjakan mandi sunah seperti dalam rangka menyambut Idul Fitri atau mengerjakan ihram? Berikut keterangan para ulama:
Bersuci saat belum berhenti haid atau nifas
Allah berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ
Dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu (Q.S. Albaqarah [2]: 222).
Imam al-Qurthubi tatkala menguraikan tafsir ayat tersebut menjelaskan beberapa hukum yang berkaitan dengan darah yang keluar dari kemaluan perempuan. Dia menerangkan bahwa saat mengalami menstruasi, perempuan wajib meninggalkan salat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya (Tafsir al-Qurthubi/3/82).
Syaikh Wahbah al-Zuhaili menerangkan, menurut pendapat Mazhab Syafi’i dan Hanbali, bersuci baik berupa wudu maupun mandi besar bagi perempuan yang belum selesai haid maupun nifas hukumnya adalah haram. Karena haid maupun nifas itu sendiri mewajibkan bersuci. Maka sudah seharusnya menunggu keduanya berhenti saat hendak bersuci (al-Fiqh al-Islami/1/625).
Imam Zakariya al-Anshari menyebut tindakan wudu maupun mandi besar sebelum selesai haid atau nifas adalah tindakan mempermainkan hukum agama. Sebab, sama saja dengan melakukan ibadah yang sudah kehilangan tujuannya. Tujuan dari wudu atau mandi besar adalah menghilangkan hadas. Padahal hadas tidak akan hilang dari seorang perempuan selama haid atau nifasnya belum berhenti. Oleh karena itu, selain wudu atau mandi besar yang dilakukan perempuan tersebut tidak sah, juga haram dilakukan (Asna Mathalib/2/92).
Baca juga: Dasar Hukum Nifas Sama dengan Haid
Mandi sunah bagi perempuan haid atau nifas
Bila wudu atau mandi besar untuk tujuan menghilangkan hadas diharamkan, apakah mandi sunah juga diharamkan? Imam al-Nawawi menjelaskan, persoalan mandi sunah berbeda dengan mandi besar. Sebab, mandi sunah tidak memiliki tujuan menghilangkan hadas di dalamnya, sehingga tidak diharamkan. Hukum mandi sunah seperti mandi dalam rangka ihram maupun wukuf haji, tidaklah haram. Imam al-Nawawi mengajukan dasar hadis yang menceritakan saat A’isyah hendak haji dan mengalami menstruasi, Nabi berkata padanya:
اقْضِى مَا يَقْضِى الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِى بِالْبَيْتِ
Lakukan apa yang biasa dilakukan orang yang haji selain tawaf di Ka’bah (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis lain disebutkan, tatkala istri Abu Bakar mengalami nifas dan hendak ihram, Nabi bersabda:
مُرْهَا فَلْتَغْتَسِلْ ثُمَّ لْتُهِلَّ
Perintahkan dia untuk mandi (sunah ihram) dan mengerjakan ihram (H.R. Abi Ya’la).
Imam Zakariya al-Anshari menyatakan, setiap mandi yang disunahkan demi hal-hal yang tidak mensyaratkan suci dari hadas kecil di dalamnya, maka boleh dilakukan. Seperti mandi sunah dalam rangka ihram, hari raya Idul Fitri, atau hendak menghadiri kerumunan orang. Bila mandi tersebut disunahkan demi hal yang mensyaratkan suci dari hadas, sebagaimana mandi sunah salat jum’at, maka haram dilakukan (Hasyiyah al-Jamal/3/373).
Baca juga: Tafsir Isyari Surah At-Taubah Ayat 108: Makna Bersuci Bagi al-Ghazali
Kesimpulan
Dari keterangan di atas bisa diambil kesimpulan tentang perhatian syariat Islam pada keberadaan tujuan suatu ibadah. Hilangnya tujuan suatu ibadah dapat membuat ibadah tersebut lepas dari perhatian syariat sehingga bisa sampai haram untuk dilakukan. Selain itu, dalam melaksanakan ibadah sudah seharusnya sesuai tuntunan ulama. Sebab tidak semua yang tampak baik akan selalu baik untuk dilakukan. Wallahu a’lam.
Baca juga: Wajibkah Mualaf Qadha Puasa Semasa Masih Non-Muslim?