Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari no 1496 diriwayatkan bahwa tidak ada hijab (penghalang) antara doa orang dizalimi dengan Allah. Maksud yang sama, namun dengan redaksi yang berbeda juga ditunjukkan oleh hadis riwayat Ahmad (Musnad Ahmad 2/376) yang menceritakan bahwa ‘doa orang yang teraniaya itu akan terkabul, walaupun dia adalah orang yang durhaka. Adapun kedurhakaanya akan kembali kepada dirinya sendiri’.
Jika mengikuti lahir teks hadis di atas, orang durhaka saja doanya akan dikabulkan, tetapi bukan karena kedurhakaannya yang itu tetap akan dipertanggung jawabkan, melainkan karena posisi ‘dizalimi’. Kondisi inilah yang oleh Allah dijanjikan terkabulnya doa sebagai bentuk kekuasan dan keadilanNya dalam membalas kezaliman. Seakan-akan menegaskan kembali bahwa perbuatan zalim adalah diantara dosa yang hukumannya disegerakan di dunia.
Apakah konsekuensi dari hadis ini adalah kebolehan mendoakan jelek saat posisi dizalimi? Rupanya, Alquran memberikan pencerahan atas pertanyaan ini.
Sekilas, memang beberapa mufasir ada yang membuat pernyataan boleh. Hal tersebut bisa ditemukan dalam dua dalil, yakni tafsir surah an-Nisa dan tafsir surah asy-Syura.
Baca Juga: Belajar Kepada Abu Bakar tentang Ikhlas Memaafkan
Tafsir surah an-Nisa ayat 148-149
Pertama, surah an-Nisa ayat 148-149, Allah swt berfirman,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا () إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا
“Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Jika kamu menampakkan atau menyembunyikan suatu kebaikan atau memaafkan suatu kesalahan, sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.”
Pada dasarnya, perkataan buruk tidak disenangi Allah. Bahkan dalam Tafsir al-Jalalain, orang yang berkata buruk akan mendapat siksa dari Allah swt. Ayat ini memberikan sebuah pengecualian, ‘kecuali bagi orang dizalimi, yang ketika berkata buruk, Allah bolehkan.’
Dengan berlandaskan ayat di atas, as-Sa’di dalam tafsirnya menghukumi boleh terhadap berdoa buruk saat dizalimi, namun demikian dengan catatan bahwa memaafkan itu tetap menjadi pilihan yang lebih baik. Begitu pun dalam Tafsir Ibnu Katsir, menurut beliau ayat ini sebagai rukhsah atas kebolehan orang yang dizalimi untuk mendoakan buruk pada orang yang menzaliminya tanpa membalasnya. Ibnu katsir juga tetap memberi catatan tambahan bahwa kebolehan mendoakan buruk bukan berarti secara otomatis membolehkan untuk membalas kezaliman.
Pada tafsir ayat ini, Ibnu Katsir juga memberikan alternatif konteks penafsiran lain yang dikutip dari Mujahid. Riwayat lain tersebut menyatakan bahwa ayat 148-149 tersebut berkenaan dengan keadaan pemakluman seorang tamu yang bercerita tentang sikap tidak mengenakkan dari tuan rumah (yang didatangi) karena tida tidak menjamu sang tamu dengan baik, padahal Rasulullah saw. sangat menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa menjamu tamu dengan baik.
Menurut penjelasan di atas, menjamu tamu hukumnya wajib, dan dibolehkan bagi tamu untuk membela haknya ketika tidak dijamu dengan baik. Artinya, posisi tamu tersebut dizalimi karena haknya tidak diberikan dengan baik.
Ada pula ulama yang menyarankan untuk tetap menahan diri, tidak mendoakan jelek orang yang sudah menzalimi. Dalam hal ini, Ibnu Katsir mengutip Hasan Al-Basri yang mengatakan, “Janganlah seseorang mendoakan kejelekan terhadap orang yang zalim, tetapi hendaklah berdoa: ‘Ya Allah, tolonglah aku dan kembalikanlah hak milikku darinya.”
Baca Juga: Memaafkan Orang Lain Sebagai Bentuk Memerdekakan Diri
Tafsir surah asy-Syura ayat 40-41
Kedua, dalam surah asy-Syura ayat 40-41.
وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ () وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ
“Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim. Akan tetapi, sungguh siapa yang membela diri setelah teraniaya, tidak ada satu alasan pun (untuk menyalahkan) mereka.”
Ilustrasi dalam Tafsir al-Jalalain ketika memahami ayat di atas seperti hal ada seseorang yang berkata, “semoga Allah menghinakan kamu,” maka pembalasan yang setimpal ialah harus dikatakan pula kepadanya hal yang sama, “semoga Allah menghinakan kamu pula.”
Berbuat hal yang sama tersebut dapat dianggap sebagai pembelaan diri. Sikap membela diri ini dibolehkan berlandaskan hadis riwayat Abu Hurairah. Di hadis tersebut diceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Dua orang yang saling mencaci menanggung apa yang diucapkan oleh pihak keduanya, tetapi dosanya ditanggung oleh orang yang memulai di antara keduanya, selagi yang teraniaya tidak melampaui batas.” (HR. Muslim).
Ayat 40-41 surah asy-Syura ini juga ditafsirkan sebagai hukum qishash, yakni menghukum atas kejahatan seseorang sesuai (sama) dengan kejahatan yang telah diperbuat. Namun meski pun qishash berlaku dan menjadi hak korban, Ibnu Katsir tetap mengetengahi penjelasannya dengan mengutip ayat berikut.
وَٱلْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُۥ
“Dan luka-luka (pun) ada qishasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.” (Q.S. al-Maidah [5]: 45)
Memaafkan atas kezaliman dan kejahatan seseorang tetap lebih baik dari pada membalasnya, selain mendapat pahala juga menjadi penebus dosa. Artinya, tidak akan sia-sia bagi seseorang yang lebih memilih memaafkan. Bahkan dalam suatu hadis disampaikan bahwa memaafkan akan semakin menambah kemuliaan seseorang. (H.R. Muslim)
Baca Juga: Surah al-A’raf [7] Ayat 199: Perintah Untuk Memaafkan Kesalahan Orang Lain
Mampu berlapang dada memaafkan kezaliman adalah anugerah tak terkira. Di saat yang sama, dia yang memamaafkan juga berarti telah meneladani Rasulullah saw. Diantara sikap lapang dada Rasulullah yang sangat fantastis adalah ketika Rasulullah dizalimi oleh penduduk Thaif yang melempari beliau dengan batu dan mengusirnya, malaikat penjaga gunung bahkan menawarkan Rasulullah untuk menjungkirbalikan gunung agar ditimpakan pada kaum tersebut, tetapi Rasulullah saw. tidak berkenan, beliau malah mendoakan kebaikan kepada umat beliau tersebut, ‘semoga ada anak keturunan mereka yang menyembah Allah swt. dan tidak menyekutukanNya. (H.R. Muslim no. 429).
Meskipun mendoakan buruk ketika dizalimi dihukumi boleh, namun tetap ada yang lebih baik dari hal itu, yakni memaafkan. Ini selalu menjadi catatan tambahan beberapa mufasir ketika membahas kebolehan mendoakan yang tidak baik kepada orang yang telah menzalimi.
Ibn Katsir mengutip Hasan Al-Bashri bahwa sebaiknya doa yang dipanjatkan bukanlah doa kebeurukan, cukup berdoa agar Allah mengembalikan haknya. Selain itu, para ulama sepakat mengenai keharaman balas dendam, termasuk membalas kezaliman seseorang, kecuali sekedar membela apa yang menjadi haknya. Pun kebolehan membela diri dalam konteks orang yang dizalimi tetap ditegaskan Rasulullah saw. agar tidak melampaui batas. Terlepas dari persyaratan dan pengecualian itu, memaafkan tetap menjadi pilihan yang paling baik. Wallah a’lam