Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

living quran
living quran

Living Quran adalah sebuah diskursus dalam studi Alquran yang mulai banyak diminati akademisi tafsir dewasa ini karena menawarkan perspektif baru dalam melihat relasi Alquran dengan pembacanya.

Studi Alquran yang selama ini terpaku pada studi berbasis teks, kini diperluas pada aspek fenomena di lapangan. Ini terkait bagaimana teks Alquran dipahami, diresepsi dan dipraktikkan oleh masyarakat, sehingga Alquran secara tidak langsung seakan-akan ‘hidup’ di tengah-tengah mereka.

Dari sini muncul istilah living quran, di mana resepsi atas Alquran melahirkan berbagai fenomena praktik, tradisi dan ritual di masyarakat. Dengan kata lain, suatu bentuk pemahaman Alquran yang berada pada level praksis di lapangan. 

Tentunya dalam kajian ini, berbagai fenomena tersebut tidak untuk dikritisi kesesuaiannya dengan ajaran Alquran atau tidak, melainkan dipandang sebagai keragaman fenomena sosial keagamaan.

Baca Juga: 3 Model Interaksi Manusia dengan Al Quran Menurut Farid Esack

Living Quran sebagai penelitian sosial

Sebagai sebuah kajian sosial, kajian living quran menggunakan analisis dan pendekatan ilmu sosial pula, tidak lagi hanya mengandalkan perangkat ulumul quran yang telah dirumuskan para ulama tafsir.

Buku Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis merupakan karya yang pertama kali mengenalkan istilah living quran sebagai sebuah diskursus baru dalam ranah kajian Al Quran sekaligus sebagai sebuah metodologi penelitian.

Buku tersebut menawarkan beberapa metode riset, di antaranya penelitian kualitatif, pendekatan sosiologi dan fenomenologi. Tentunya ini bukanlah ketentuan baku, karena sebagai sesuatu yang baru, model kajian ini masih belum matang dan pakem.

Salah satu contoh penelitian living quran ialah disertasi Ahmad Rafiq yang berjudul, The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community. Karya ilmiah ini ia tulis pada tahun 2014 di The Temple University, USA.

Rafiq meneliti bagaimana masyarakat Banjar yang notabene bukan penutur bahasa Arab berinteraksi dengan Alquran. Alquran menempati peran sentral di kalangan warga Banjar dan mengisi banyak aspek kehidupan mereka sejak masih dalam kandungan ibu hingga detik-detik terakhir menjelang ajal menjemput.

Berbagai bentuk upacara dan praktik terkait dengan Alquran tersebut menurut Rafiq merupakan wujud dari tafa’ul (optimisme) warga Banjar dengan firman Allah SWT yang diyakini keberkahannya.

Baca Juga: Keutamaan Surat Yasin Dalam Tradisi Masyarakat Muslim IndonesiaHikmah Membaca Surat Maryam bagi Ibu Hamil

Resepsi Al Quran di Indonesia

Kajian living qur’an sangat cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki struktur sosio-kultural masyarakat yang khas. Melalui kajian ini, kita dapat mengenalkan kekayaan budaya lokal kepada orang luar. Menarik melihat berbagai keunikan resepsi Alquran di bumi Nusantara, hasil dari asimilasi antarbudaya.

Berkaitan dengan hal ini, Ahmad Rafiq membagi resepsi Alquran menjadi tiga macam varian.

Pertama, resepsi eksegesis yang berkaitan dengan interpretasi terhadap makna teks Alquran. Misalnya kitab-kitab tafsir karya ulama Nusantara, baik dalam bahasa Arab, bahasa Indonesia maupun bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Madura, Sunda, Melayu dan Bugis.

Kedua, resepsi estetis yang berupa interaksi pembaca yang menekankan pada aspek estetika Alquran atau mendekati Alquran dengan cara yang estetis. Di antaranya adalah fenomena Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ)  dan penerjemahan Alquran secara puitis oleh H.B. Jassin. 

Ketiga, resepsi fungsional, di mana Alquran diresepsi berdasarkan fungsi Alquran itu sendiri sebagai sesuatu yang dipraktikkan dan diamalkan pembaca baik melalui lisan maupun tulisan. Contohnya pembacaan ayat-ayat Alquran dalam praktik ruqyah dan terapi murottal Alquran yang diperdengarkan kepada pasien di rumah sakit.