Fitrah Manusia sebagai Homo Religiosus

Fitrah Manusia sebagai Homo Religiosus
Ilustrasi seseorang beribadah.

Manusia telah dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang tersandang sejak lahir. Salah satu fitrah tersebut adalah kecenderungan untuk beragama dan ber-Tuhan. Dalam istilah psikologi, hal inilah yang disebut dengan Homo Religiosus. Kalaupun ada yang tidak percaya terhadap agama, sejatinya ia menyalahi sifat asalnya. Bisa jadi hal itu erat kaitannya dengan pengaruh lingkungan yang meliputi diri beserta cara berfikirnya.

Alquran sebagai pedoman hidup umat Islam telah menjelaskan tentang adanya fitrah tersebut, yaitu termaktub dalam Q.S. Ar-Rum ayat 30 juga disebutkan di ayat lain, tepatnya dalam Q.S. Al-A’raf ayat 172 bahwa sebelum takdir kelahiran manusia di dunia ini, ruh mereka terlebih dahulu bersaksi agar sekali-kali tidak akan menyembah kecuali hanya kepada Allah, Tuhan Semesta Alam.

Tafsir Ayat Homo Religiosus

Buya Hamka memaparkan penjelasan yang berkaitan dengan ayat tersebut, bahwa sebenarnya jiwa seluruh manusia pada dasarnya ialah sama-sama mengakui adanya Tuhan Pencipta Alam, meskipun berbeda bangsa dan agama yang mereka peluk. Orang yang menolak kepercayaan tentang adanya Tuhan, seperti mulhid atau ateis, hal itu tak lain hanyalah gejala yang datang di kemudian hari tersebab pengaruh setan. Beliau menegaskan bahwa sebenarnya dalam jiwa dan nurani mereka yang mengaku tak percaya itu masih tersimpan kepercayaan kepada Sang Pencipta Alam. Oleh sebab itu, seruan yang dibawa oleh rasul, sejatinya bertujuan untuk memanggil dan menggugah jiwa fitrah tersebut, untuk semakin meyakini tentang adanya Tuhan (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 5, 213).

Maka, kesimpulan sederhananya bahwa ‘agamis’ merupakan potensi dasar yang dimiliki setiap manusia. Namun, sebagaimana kata Komaruddin Hidayat bahwa seiring dengan berjalannya waktu kebanyakan manusia cenderung lupa dengan perjanjian primordial (dasar) yang agung tersebut. Sebab ia telah terjerat oleh kenikmatan duniawi yang sejatinya fana ini, sehingga ruhaninya sulit untuk terbang ke alam Ilahi yang Maha Luas lagi Maha Indah (Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, 19).

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 30: Agama Sebagai Fitrah Manusia

Sesukses apapun manusia memimpin dan mengendalikan bermacam sektor kehidupan, ia tetaplah mahluk yang penuh keterbatasan. Sejenius apapun para profesor dan cendekiawan di dunia ini, nyatanya hingga sekarang tak ada yang mampu menjawab berapa jarak kematian dengan dirinya, ataukah apa warna ruh yang melekat pada jasadnya dan bagaimanakah bentuknya. Tentu hal itu amat mustahil, karena manusia bukanlah Tuhan.

Homo Religiosus dalam Pandangan Psikologi

Seorang psikolog yang bernama Robert S. Woodworth menguatkan padangan manusia sebagai mahluk beragama melalui teori insting keagamaan yang ia kemukakan. Ia berpandangan bahwa setiap bayi yang terlahir ke dunia ini sejatinya telah memiliki beberapa insting, salah satunya adalah insting keagamaan (Jalaluddin, Psikologi Agama, 65). Oleh karenanya, insting sebagai homo religiosus akan berfungsi setelah mendapat pengaruh pendidikan, pengajaran, pembimbingan, dan pembinaan dari yang lebih dewasa beserta lingkungan sekitar.

Dalam pemaknaan manusia sebagai homo religiosus, Micrea Eliade sebagai pencetus pertama istilah tersebut, memberlakukannya untuk semua manusia, bukan hanya untuk kelompok atau individu tertentu. Bagi Eliade, homo religiosus menunjukkan suatu kualitas dari kondisi manusia (David Cave, Mircea Eliade’s Vision for a New Humanism, 92). Hal ini ternyata juga didukung oleh pandangan Karen Armstrong, berdasakan kajiannya tentang sejarah agama, ia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Armstrong juga menyatakan bahwa ada alasan kuat untuk mengemukakan pendapat bahwa homo sapiens juga merupakan homo religiosus (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan).

Baca juga: Surah Ala‘raf (189): Berpasangan dan Memiliki Keturunan Adalah Fitrah

Seorang psikolog yang bernama Robert H. Touless mengemukakan dua faktor yang menyebabkan manusia berkecenderungan sebagai mahluk religius. Pertama, ketidakberdayaan manusia dalam memenuhi segala kebutuhannya. Hal ini bisa kita lihat dari keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, jaminan keselamatan, ketenangan, perlindungan, dan yang lain sejenisnya.

Kedua, Keterbatasan kekuatan rasio yang dimiliki oleh manusia. Pada kenyataannya hingga saat ini, manusia dengan segala kecanggihan rasionya masih belum mampu dan tidak akan pernah mampu untuk memahami secara komprehensif serta  menaklukkan alam semesta ini.

Hal tersebut ternyata memiliki kaitan dengan teori yang dikemukakan oleh W.H. Thomas,  yaitu  four wishes. Ia berpendapat bahwa sejak manusia lahir ke dunia mereka telah diliputi dengan empat keinginan dasar, yaitu: keinginan untuk keselamatan (security), keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience), keinginan untuk ditanggapi (response), dan keinginan untuk dikenal (recognition) (Jalaluddin, Psikologi Agama, 62).

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Fitrah Manusia

Begitulah fitrah manusia, yaitu sebagai mahluk yang membutuhkan dan akan kembali pada Tuhan. Oleh karena itulah, sangat benar ungkapan yang dituangkan oleh Komaruddin Hidayat dalam tulisan beliau, bahwasanya bila rida dari Tuhan tidak lagi menjadi pusat orientasi manusia, maka kualitas motivasi kehidupan akan menjadi rendah. Bahkan, bisa jadi manusia akan terperangkap pada posisi bermusuhan melawan alam, sedangkan manusia kemungkinan besar menempati posisi yang kalah.

Justru, dengan menjadikan Tuhan sebagai destinasi akhirnya, manusia akan terbebaskan dari derita alienasi (pengasingan). Sebab, Tuhanlah yang Maha Hadir (omnipresent) dan Maha Mutlak. Maka, keyakinan dan perasaan tentang ke-Maha Hadiran Tuhan inilah yang memberikan kekuatan, pengendalian, sekaligus kedamaian hati pada seseorang, sehingga ia senantiasa hadir dalam orbit Tuhan, bukan putaran dunia yang tidak jelas ujung pangkalnya lagi membingungkan (Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, 34).