BerandaUlumul QuranKedudukan Penafsiran Nabi Muhammad

Kedudukan Penafsiran Nabi Muhammad

Penafsiran Nabi Muhammad terhadap Al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam dunia tafsir. Sebab, apa yang diucapkan beliau berasal dari wahyu itu sendiri. Nabi menjelaskan hal ini dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Dāud dari Miqdām bin Ma’dī Karib. Beliau bersabda:

أَلَا وَ إِنِّيْ قَدْ أُوْتِيْتُ الكِتَابَ وَ مِثْلَهُ مَعَهُ

Ketahuilah Aku diberi Al-Kitab dan yang semisal dengannya bersamanya…” (H.R. Abu Daud)

Kata مثله pada teks hadis tersebut memiliki dua makna:

Makna pertama: beliau diberi wahyu batin (yang tidak dibacakan sebagai Al-Qur’an) yang setara dengan wahyu zahir yang diberikan kepadanya.

Makna kedua: beliau diberi Al-Kitab sebagai wahyu yang dibacakan, dan juga diberi kemampuan al-bayan (penjelasan) yang serupa dengan Al-Qur’an. Maksudnya, beliau diizinkan untuk menjelaskan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Maka, penjelasan Nabi memiliki kewajiban untuk diamalkan dan diterima sebagaimana teks-teks Al-Qur’an.

Bentuk-Bentuk Perhatian Para Mufasir terhadap Tafsir Nabi

Setelah menyadari betapa agungnya kedudukan penafsiran Nabi Muhammad terhadap Al-Qur’an, para mufasir memberikan perhatian mereka pada penafsiran Nabi melalui beberapa hal berikut:

Sering Dikutip oleh Para Mufasir

Banyak sekali kitab-kitab karangan para mufasir yang mengutip riwayat (tafsir) Nabi. Misalnya pada penjelasan firman Allah:

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.” (Al-Fatihah/1:7)

Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan المغضوب adalah orang-orang Yahudi, dan الضّالّين adalah orang-orang Nasrani. Mayoritas mufasir seperti Imam al-Ṭabarī, Ibn al-Jauzī, dan al-Rāzī, menggunakan riwayat ini untuk menafsirkan surah Al-Fatihah ayat ketujuh ini.

Adapun penafsiran Nabi yang lain pada ayat:

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ

Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk.” (Al-Baqarah/2:238)

Nabi menafsirkan kalimat صلاة الوسطى pada ayat tersebut adalah salat Asar. Para mufasir seperti Imam al-Ṭabarī, Ibn al-Jauzī, dan al-Rāzī juga menyebutkan riwayat ini dalam penafsiran mereka.

Iktifa’ (Kecukupan) Para Mufasir terhadap Tafsir Nabi

Para mufasir menganggap bahwa hanya dengan mengutip penafsiran Nabi Muhammad itu sudah dianggap cukup dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, tanpa merasa perlu merujuk pada pendapat para sahabat ataupun tabi’in. Contohnya pada pembahasan ayat berikut.

اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Pada hari ini Kami membungkam mulut mereka. Tangan merekalah yang berkata kepada Kami dan kaki merekalah yang akan bersaksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Yasin/36:65)

Baca juga: Polemik dan Contoh Tafsir Nabi

Imam al-Qurthubi menjelaskan makna ayat tersebut dengan mengutip riwayat Nabi, yang terdapat pada kitab Shahih Muslim. Dari Anas bin Malik, ia berkata: Saat kami sedang bersama Rasulullah saw., kemudian beliau bertanya: ‘Apakah kalian tahu mengapa aku tertawa?’ Kami menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasul menjawab: ‘Ketika seorang hamba berdialog dengan Rabb-nya, ia (hamba) berkata: ‘Wahai Tuhanku, tidakkah engkau melindungiku dari kezaliman?’ Allah menjawab: ‘Benar’ Seorang hamba berkata: ’Sesungguhnya aku tidak akan menerima sesuatu tentang diriku kecuali jika saksinya berasal dari diriku sendiri’

Kemudian Allah berkata: ‘Pada hari ini (kiamat), cukuplah kau beserta para malaikat pencatat (yang mulia) sebagai saksi atas dirimu sendiri’ Nabi kemudian menjelaskan: ‘Mulutnya (hamba) pun dibungkam dan dikatakan pada anggota tubuhnya: ‘Bicaralah’. Maka mereka (anggota tubuh) pun menjelaskan seluruh perbuatan yang dilakukannya (selama di dunia)…

Pada hari kiamat, seluruh umat manusia tidak akan bisa berbohong dengan apa yang mereka perbuat. Karena tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh mereka akan menjadi saksi dan menjelaskan kepada Allah terhadap apapun yang telah mereka perbuat selama di dunia.

Paling Diunggulkan dalam Tafsir Bi al-Ma’tsūr

Dalam tradisi penafsiran, tafsir bi al-ma’tsūr adalah sumber utama yang paling sering digunakan, yakni penafsiran Al-Qur’an dengan riwayat Nabi, sahabat, ataupun tabi’in. Namun, para mufasir lebih mengunggulkan periwayatan Nabi dibandingkan sahabat atau tabi’in. Hal ini nampak pada penafsiran ayat pertama surah al-Kautsar:

اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ

“Sesungguhnya Kami telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak.” (Al-Kautsar/108:1)

Baca juga: Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi

Para mufasir menyebut ada sekitar 16 penafsiran terhadap makna al-kautsar, lima diantaranya yakni:

  1. Sungai yang ada di surga.

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik, diriwayatkan juga oleh Imam Tirmidzi dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Al-Kautsar adalah sebuah sungai yang ada di surga, kedua tepi sungai tersebut terbuat dari emas, airnya mengalir di atas mutiara dan batu rubi. Tanahnya lebih harum dari misk (parfum). Airnya lebih manis dari madu dan warnanya lebih putih dari salju.” (H.R. Bukhari dan Tirmidzi)

  1. Telaga milik Nabi Muhammad ﷺ

Dalam riwayat shahih muslim, diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Ketika kami sedang bersama Rasulullah saw., beliau dalam keadaan tidur sejenak (tidak nyenyak). Lantas beliau mengangkat kepalanya sembari tersenyum. Kami pun bertanya: ‘Mengapa engkau tertawa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab; ‘Baru saja turun kepadaku sebuah surat; (Al-Kautsar ayat 1-3)Rasulullah berkata: “Apakah kalian tau apa itu kautsar?” kami menjawab: ‘Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah menjawab: Sesungguhnya ia (kautsar) adalah sebuah sungai di surga yang telah dijanjikan oleh Allah, di dalamnya terdapat kebaikan yang sangat banyak. Sungai itu adalah telaga tempat umatku akan datang pada hari kiamat. Bejana-bejananya sebanyak jumlah bintang di langit. Lalu ada seseorang dari mereka yang ditarik (disingkirkan) darinya, maka aku berkata: Sesungguhnya ia termasuk umatku.(H.R. Muslim)

Namun dikatakan: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang telah ia lakukan sepeninggalmu.

  1. Nubuwwat (kenabian) dan Al-Qur’an. Ini adalah pendapat Ikrimah
  2. Al-Qur’an. Menurut Hasan, al-kautsar adalah Al-Qur’an
  3. Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh Mughirah

Para mufasir lebih mengunggulkan pendapat pertama dan kedua, karena kedua pendapat tersebut diriwayatkan oleh Nabi. Imam al-Qurthubi mengatakan: “Pendapat yang paling sahih adalah yang pertama dan kedua, karena berasal dari Nabi dan merupakan nash (dalil penjelasan) mengenai al-kautsar.”

Najwa Izzatul Afifah
Najwa Izzatul Afifah
Mahasiswa UIN Salatiga
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Hari Pahlawan dan Spiritualitas Rahmatan lil ‘Alamin

0
Setiap tanggal 10 November, ingatan kolektif bangsa Indonesia tertuju pada pertempuran heroik di Surabaya. Hari Pahlawan adalah monumen penghargaan atas tadhiyah (pengorbanan) tertinggi para...