Al-Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab menjadikan umat Islam yang non-Arab sering sekali kesulitan memahami arti kata yang terlafalkan di dalamnya. Di saat yang sama banyak dari mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai terhadap bahasa Arab. Oleh karena itu, keberadaan Alquran terjemah menjadi alternatif solusi yang paling praktis untuk membantu memahami makna Alquran.
Firman Allah dalam surat Al-Waqiah ayat 77-779,
اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ () فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍۙ () لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ
Artinya: “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang mulia. Pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”. (QS. Al-Waqiah [56]: 77-79)
Pada tulisan sebelumnya telah dibahas mengenai hukum menyentuh mushaf Alquran. Berdasarkan firman Allah di atas, ulama sepakat bahwa mushaf hanya boleh disentuh oleh seseorang yang suci dari hadas dan najis, sebab Alquran adalah kalamullah yang wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk memuliakan dan mengagungkannya. Termasuk bentuk memuliakannya yaitu dengan menyentuh, membaca dan mempelajarinya dalam keadaan suci.
Pertanyaannya, apakah Alquran terjemah statusnya sama dengan mushaf Alquran, ataukah berbeda? Bagaimana kemudian aturan menggunakannya?
Baca Juga: Hizb Mushaf Al-Qur’an, Apakah Sama dengan Hizb Wirid? Begini Penjelasannya!
Pertama, yang harus dipahami terlebih dahulu adalah maksud dari terjemahan Alquran itu sendiri. Dalam kitab Nihayatuz Zain, Syekh Nawawi al-Bantani berkata:
اَمَّا تَرْجَمَةُ الْمُصْحَفِ الْمَكْتُوْبَةِ تَحْتَ سُطُوْرِهِ فَلاَ تُعْطَى حُكْمُ التَّفْسِيْرِ بَلْ تَبْقَى لِلْمُصْحَفِ حُرْمَةُ مَسِّهِ وَحَمْلِهِ كَمَا اَفْتَى بِهِ السَّيِّدُ اَحْمَدُ دَحْلاَنُ
Artinya: “Adapun terjemahan mushaf al-Qur’an yang ditulis di bagian bawahnya, maka tidak dihukumi tafsir, namun tetap berstatus mushaf yang haram disentuh dan dibawa (dalam keadaan hadas) sebagaimana yang difatwakan oleh Sayid Ahmad Dahlan.”
Namun, Sayid al-‘Alawi bin Sayid al-‘Abbas dalam karyanya yang berjudul Faidhul Khabir, memberikan penjelasan bahwa terjemah secara bahasa berarti memindah. Sedangkan menurut istilah memiliki dua pengertian. Pertama, terjemah ma’nawiyah tafsiriyah yaitu menjelaskan makna suatu ucapan yang menggunakan bahasa lain tanpa terikat dengan susunan huruf dan tetap menjaga gaya bahasa serta runtutan aslinya.
Kedua, terjemah harfiyah yakni mengganti kata yang asli dengan kata lain yang sama arti namun dengan bahasa yang berbeda. Kategori yang kedua ini tidak merubah arti dari teks yang asli. Maka dengan melihat pada Alquran terjemah yang ada saat ini, Sayid al-‘Alawi menyatakan bahwa dalam khazanah ilmu Alquran dan tafsir, terjemahan tersebut masuk kategori pertama yakni terjemah ma’nawiyah tafsiriyah seperti halnya kitab tafsir. Sebab, jika diteliti, ditemukan banyak lompatan makna yang yang tidak sesuai dengan dengan runtutan kata yang terdapat dalam Alquran, sehingga hukum menyentuhnya tanpa memiliki wudu adalah boleh.
Baca Juga: Problem Status Terjemah dan Tafsir Al Quran, Tafsir, Takwil dan Terjemah
Lalu, bagaimana hukum menyentuh kitab tafsir?
Menurut jumhur ulama, orang yang sedang hadas termasuk hadas besar, diperbolehkan menyentuh kitab tafsir, membawa serta mempelajarinya. Sebab, tujuan dari tafsir adalah memaknai Alquran, bukan hanya membaca lafad-lafadnya. Meski demikian, as-Syafi’i menegaskan bahwa diperbolehkannya menyentuh tafsir itu dengan syarat huruf tafsirnya lebih dominan daripada huruf teks asli Alquran. Banyak sekali tafsir yang seperti kriteria ini, misalnya Mafatihul Ghaib Ar-Razi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an al-Qurthubi, dan lain-lain. Sedangkan untuk Tafsir Jalalain yang sering digunakan di Indonesia, menurut sebagian pendapat jumlahnya lebih banyak dua huruf dibandingkan huruf ayat Alquran, sehingga juga boleh menyentuhnya, meski tanpa wudu. Namun, untuk memastikan mana jumlah huruf yang dominan antara tafsir dan ayat Alquran tentunya sangat sulit dan bisa jadi terdapat kekeliruan seperti kelebihan atau kekurangan huruf. Maka, Syekh Syatha’ ad-Dimyati, pengarang I’anatut Thalibin mengungkapkan,
وَجَرَى اِبْنُ حَجَرٍ عَلَى حِلِّهِ مَعَ الشَّكِّ فِي الْأَكْثَرِيَّةِ اَوِ الْمُسَاوَةِ، وَقَالَ: لِعَدَمِ تَحَقُّقِ الْمَانِعِ وَهُوَ الْإِسْتِوَاءُ
Artinya: “Imam Ibnu Hajar al-Haytami berpendapat bolehnya menyentuh (terjemah maknawiyah) ketika ragu akan jumlah hurufnya apakah lebih banyak atau sama. Ia menjelaskan, hal itu karena tidak ada kepastian jika jumlahnya sama dengan al-Qur’an.”
Baca Juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren
Kesimpulannya, menyentuh Alquran terjemah dalam keadaan tidak suci (hadas kecil maupun besar) itu diperbolehkan. Namun, alangkah baiknya jika seseorang berwudu terlebih dahulu sebelum memegangnya, sebab bagaimanapun juga Alquran memuat firman Allah yang maha Mulia Suci dan Maha Mulia.
Wallahu A’lam