Salah satu fungsi utama Al-Quran adalah sebagai penjelas syariat. Terkait fungsi tersebut, maka banyak ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang mengandung sebuah ketetapan hukum yang akan diberlakukan kepada umat Islam. Secara umum, kita berpandangan bahwa tatkala terdapat ayat hukum yang turun, maka pada saat itu juga hukum tersebut diberlakukan. Namun benarkah demikian, apakah setiap hukum diberlakukan bersamaan dengan turunya ayat?
Menjawab pertanyaan tersebut, Syaikh Khalid ibn Utsman al-Sabt dalam karyanya yang berjudul Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, menjelaskan bahwa terdapat sebuah kaidah asbabun nuzul yang berkenaan dengan ketetapan sebuah hukum, sebagaimana berikut:
نُزُوْلُ الْقُرْآنِ تَارَةً يَكُوْنُ مَعَ تَقْرِيْرِ الْحُكْمِ وَتَارَةً يَكُوْنُ قَبْلَهُ وَالعَكْسُ
“Kadang kala turunnya ayat Al-Qur’an bersamaan dengan penetapan hukum, terkadang juga turun sebelum penetapan hukum, dan sebaliknya”
Baca Juga: Petunjuk Al-Quran tentang Tiga Pondasi Dasar Penetapan Hukum dalam Islam
Secara lebih komprehensif, beliau menjelaskan kaidah tersebut dengan memberikan tiga pembagian konsep turunnya sebuah ayat Al-Qur’an, yaitu:
- Ma Nazala Ma’a Taqrir al-Hukm (bersamaan dengan ketetapan hukum)
Konsep yang pertama ini menjelaskan bahwa kandungan hukum dalam sebuah ayat yang turun bersamaan juga dengan ditetapkanya hukum tersebut. Sehingga tatkala ayat ini turun, maka pada saat itu juga hukumnya diberlakukan. Pandangan yang pertama ini adalah pandangan yang umumnya berlaku pada sebagian besar ayat Al-Quran.
Salah satu contoh ayat yang masuk kategori pertama ini, seperti ayat tentang keharaman khamr dan perintah akan kewajiban berpuasa dalam Q.S. al-Baqarah [2] ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ – ١٨٣
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Baca Juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?
- Ma Nazala Qabla Taqrir al-Hukm (sebelum ketetapan hukum)
Konsep yang kedua ini menjelaskan bahwa terdapat kandungan hukum dalam sebuah ayat yang turun sebelum praktik hukum tersebut ditetapkan. Salah satu contoh ayat yang masuk dalam kategori kedua ini adalah Q.S. al-A’la [87] ayat 14-15:
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّٰىۙ – ١٤وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهٖ فَصَلّٰىۗ – ١٥
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat”
Ayat di atas berbicara terkait penetapan hukum zakat fitrah dan shalat ‘id. Namun, sebagaimana diketahui, ayat ini masuk kategori makkiyah (turun sebelum Nabi hijrah). Sedangkan zakat fitrah dan shalat ‘id baru disyariatkan dan dipraktikkan ketika Nabi berada di Madinah.
Dalam keadaan yang demikian, maka ayat tersebut berfungsi sebagai isyarat akan adanya ketetapan hukum yang bakal diberlakukan bagi umat Islam. Fungsi ini juga berlaku pada ayat-ayat lain yang juga praktiknya dilakukan jauh setelah ayat tersebut diturunkan, seperti Q.S. al-Balad [90]: 1-2, Q.S. al-Qamar [54]: 45, dan Q.S. al-Muzzammil [73]: 20.
Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!
- Ma Nazala Ba’da Taqrir al-Hukm (setelah ketetapan hukum)
Konsep yang terakhir ini menjelaskan bahwa terdapat kandungan hukum dalam sebuah ayat yang turun pada saat praktik hukum tersebut telah telah diberlakukan dan dilaksanakan umat Islam. Contoh ayat dari kategori ketiga adalah ayat tentang wudhu yang disampaikan Q.S. al-Ma’idah [5] ayat 6:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ – ٦
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur”
Dijelaskan dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Sayyidah ‘Aisyah, bahwasanya ayat tentang wudhu ini turun pada saat Rasulullah bersama rombongan sedang dalam keadaan perjalanan menuju Madinah. Sampai di sini dapat dipahami bahwa ayat ini masuk kategori ayat madaniyah.
Namun, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, praktik shalat telah disyariatkan pada saat malam isra’ mi’raj di Makkah, tepatnya pada 10 tahun lebih 3 bulan setelah risalah kenabian. Dan semenjak disyariatkanya shalat tersebut, Nabi tidak pernah menjalankan shalat tanpa wudhu. Sehingga, dalam hal ini praktik wudhu telah dilakukan sebelum ayat tersebut turun. Lantas apa hikmah dari hal ini?
Ibnu Abd al-Barr menjelaskan bahwa hikmah dari turunya ayat wudhu meskipun praktik wudhu sudah lebih dahulu dilakukan adalah supaya kewajiban wudhu menjadi bagian yang dibaca dalam Al-Qur’an. Hal ini juga berlaku pada ayat tentang shalat jum’at dalam Q.S. al-Jumu’ah [62] ayat 9, yang juga praktiknya sudah lebih dahulu dilakukan sebelum turunya ayat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak semua hukum syariat yang terkandung dalam sebuah ayat diberlakukan bersamaan dengan turunya ayat tersebut. Tetapi terdapat hukum yang diberlakukan jauh setelah ayat tersebut turun, ataupun telah diberlakukan sebelumnya. Semua hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan, tetapi setiap hal tersebut memiliki hikmah dan fungsi masing-masing. Wallahu A’lam