BerandaUlumul QuranKolom PakarAplikasi Pendekatan Tafsir Maqashidi Atas Surat al-Mujadilah: Perlawanan Perempuan Terhadap Diskriminasi

Aplikasi Pendekatan Tafsir Maqashidi Atas Surat al-Mujadilah: Perlawanan Perempuan Terhadap Diskriminasi

Akhir -akhir ini istilah Tafsir Maqashidi semakin menggeliat di kalangan para peminat studi tafsir al-Qur’an.  Tentu ini hal yang sangat menggembirakan kita, sebab ini menjadi indikator bahwa kajian tafsir al-Qur’an tidak mandeg, melainkan terus mengalami dinamika.

Tafsir maqashidi adalah salah satu model pendekatan penafsiran al-Qur’an yang menitikberatkan pada upaya penggalian maksud-maksud al-Qur’an (baik maqashid partikular maupun universal) dengan mendasarkan pada teori Maqashid al-Qur’an dan Maqashid al-Syari’ah. Dengan pendekatan ini diharapkan nilai-nilai ajaran al-Qur’an benar-benar mampu direalisasikan kemashlahatan dan terhindar dari mafsadah (kerusakan) dalam kehidupan manusia.

Di dalam tafsir maqashidi, ada nilai-nilai fundamental al-Quran yang harus dijaga yaitu, nilai al-`adalah (justice/keadilan), al-insaniyah (humanity, kemanusiaan), al-musawah (equality/kesetaraan), al wasathiyah (moderation moderasi) dan al-hurriyah ma’a al-mas’uliyah kebebasan disertai tanggung jawab).  Maka produk tafsir maqashidi, harus mempertimbangkan nilai-nilai tersebut.

Baca Juga: Aplikasi Tafsir Maqashidi, Ulya Fikriyati: Beda Maqashidus Syariah dan Maqashidul Qur’an

Jika nilai-nilai tersebut terabaikan dalam elaborasi produk tafsir, maka kita bisa berkata, bahwa tafsir tersebut dianggap belum maqashidiyah. Demikian juga, jika produk tafsir belum menyingkap aspek-aspek maqashid, produk tafsir tersebut   belum bisa dikatakan sebaga tafsir maqashidi.

Pendek kata, dalam tafsir maqashidi ada perspektif baru yang hendak disampaikan yang sangat distingtif dari tafsir yang tidak maqashidi. Demikian halnya dalam judul tulisan ringan ini. Tafsir maqashidi Surat al-Mujadilah.

Apa dimensi maqashidi yang ada dalam kandungan surat al-Mujadilah? Mengapa surat itu diberi nama al-Mujadilah? Bagaimana pesan moral dan maqashid yang terkandung dalam kisah disharmoni antara Khaulah binti Tsa’labah dan Aus bin Shamit?

Ini tentu menarik dan inspiring jika dibaca melalui tafsir maqashidi: sebuah pendekatan tafsir yang hendak menyelami dan mendedah pesan kalam Tuhan. Bukan hanya dari sisi pemahaman linier tekstual, tetapi ingin masuk lebih dalam, yakni menggali pesan filosofis-maqashidnya.

Ketika saya diminta untuk memberi materi tentang “Perspektif Tafsir Maqashidi” dalam penafsiran Surat al-Mujadilah, maka saya katakan bahwa Surat ini sebenarnya mengandung maqashidi yang luar biasa, yaitu Pembelaan Eksistensi Kaum Perempuan dan Perlawanan terhadap Diskriminasi Kaum Perempuan.  Di dalamnya juga secara implisit berisi tentang deklarasi kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Surat tersebut diawali dengan penegasan atau ta`kid, yaitu:” Qad sami’a Allahu qaula allatî tujâdiluka fî zaujihâ wa tasytakî ilâ Allâh….  bahwa Allah Swt sungguh mendengarkan suara perempuan yang mendebat kamu Muhammad, dan dia mengadu curhat kepada allah Swt…”.

Kata Tujâdilu adalah bentuk musyârakah yang menunjukkan keterlibatan dua pihak dalam sebuah aktifitas. Dalam hal ini adalah perdebatan antara Khaulah binti Tsa’labah dengan Nabi Saw).

Bahkan Allah Swt pun berkenan mendengarkan suara perempuan tersebut, yakni rintihan dan keluhan Khaulah binti Tsa’labah yang dizhihar oleh suaminya, Aus bin  Shamit secara semena-mena, tanpa alasan yang masuk akal. Itu artinya, bahwa suara perempuan harus didengarkan dan diperhatikan, tidak boleh diabaikan.

Baca Juga: Kisah Romantis Khaulah bint Tsa’labah Dibalik Ayat-Ayat Zihar

Secara konteks, baik mikro melalui  riwayat sabab nuzûl sebagai mana dapat  dibaca dalam Kitab Asbab Nuzul karya al-Wahidi dan konteks makro, seperti terdapat beberapa literatur kitab Tafsir dan sejarah, kita bisa mengetahui bahwa ayat tersebut turun terkait dengan kisah zhihar yang dilakukan oleh Aus bin Shamit terhadap istrinya, yaitu Khaulah binti Tsa’labah.

Konsep zhihar saat itu di zaman jahiliyah dianggap sabagai bentuk perceraian. Dalam saat yang sama zhihar adalah bentuk kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan. Hegemoni patriarki sedemikian kuat, hingga nyaris tidak ada negosiasi.

Khaulah binti Tsa’labah lalu protes atas realitas masyarakat Arab. Protes awalnya tidak mendapat respon yang ‘memuaskan’ dari Nabi Saw,  maka ia protes langsung kepada Allah Swt dan akhirnya turun ayat tentang zhihar.

Dengan mengikuti ayat-ayat yang ada di awal-awal Surat al-Mujadilah, kita bisa memahami bahwa relasi eksistensial ibu dan anak ditandai salah satunya dengan “proses melahirkan”, maka penisbatan ibu secara biologis, yang tidak terkait dengan proses melahirkan dinilai bohong.

Itu sebabnya ucapan zhihar dinilai  sebagai ucapan munkar dan  kebohongan, sebab tidak sesuai dengan fakta dan realita. Nah, Islam melakukan rekonstruksi tatanan sosial yang bias patriarki menuju kesetaraan.

Konsep zhihar mengalami dekonstruksi dan rekonstruksi, dari yang tadinya cermin hegemoni laki-laki menjadi sebuah mekanisme sosial untuk tawar-menawar antara suami-istri  dalam memperbaiki konflik rumah tangga.

Maka, suami yang melakukan zhihar  (menyamakan punggung istrinya dengan  ibunya, dalam rangka mengharamkan dirinya untuk berhubungan seks dengan istrinya), ia  wajib membayar kaffarah (tebusan atau hukuman), jika ia ingin kembali kepada istrinya, atau mencabut ucapan zhiharnya.  Hal itu memilki tujuan (maqashid) antara lain,  agar suami tidak  bersikap sewenang-wenang terhadap  istrinya.

Lalu apa denda atau tebusannya? Dendanya adalah memerdekakan budak. Konsep kaffarah dengan memerdekaan budak memiliki maqashid, yaitu hifz  al-nafs (menjaga jiwa manusia, dan   menghargai nilai kemanusiaan); bahwa budak harus dibebaskan, ia harus dijaga dimensi kemanusiaanya.

Jika ia (suami yang melakukan zhihar)  tak mampu,  maka diganti dengan berpuasa dua bulan berturut-turut.  Di sini tampak bahwa hukuman  itu diharapkan ada efek jera, sehingga seseorang tidak mengulangi perbuatannya buruknya lagi.  Maka dari sini, kita bisa berkata bahwa maqashid dari berpuasa adalah shalah al-fardi (memperbaiki individu) meminjam istilah Abdul Karim Hamidi dalam kitabnya, al-Madkhal ila Maqashidil Qur’an.

Maka bagi suami tersebut  hal ini akan mengantar kebaikan rumah tangga menuju shalah mujtama (kebaikan sosial atau masyarakat). Sebab masyarakat yang baik terdiri dari individu-individu yang baik pula.

Selanjutnya, jika suami yang menzhihar tak mampu puasa dua bulan berturut-turut, maka ia wajib memberi makan 60 orang miskin. Ini jelas maqashidnya adalah  hifz mal (menjaga harta), yakni bisa memperbaiki ekonomi kaum fakir miskin, dan  hifdz nafs (menjaga jiwa mereka agar tidak kelaparan dan mati). Di situlah kemasalahatan sosial juga akan terwujud.

Baca Juga: Kisah Khaulah binti Tsa’labah, Istri yang Berani Menggugat dalam Al-Quran

Kemudian jika suami tidak ingin kembali ke istrinya, maka ia wajib menjatuhkan talak, dan jika tidak mau menjatuhkan talak atau tak sanggup kaffarah, maka posisi zhihar akan dianggap sebagai sumpah ila’ dan  hubungan pernikahan suami -istri putus selamanya, tak boleh lagi ada rujuk lagi.

Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada kasus yang menimpa Salamah binti Shakhr al-Bayadli. Demikian  bisa dibaca dalam Muhammad bin Thahir Ibn `Asyur,  al Tahrir wa Tanwir, Jilid  11,   juz 28 hlm 17 ).

Pendek kata, jika disimpulkan, maka maqashid ayat-ayat yang berbicara tentang kasus zhihar tersebut adalah 1) menjaga agama melalui hukuman kaffarah puasa, 2) menjaga harta melalui hukuman kaffarah memberi 60 orang miskin, 3) meneguhkan dimensi kesetaraan 4) dan keadilan 5) serta  pentingnya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Disamping itu, juga terdapat  dimensi maqashid lain antara lain khususnya dalam konteks merespon isu gender, yaitu: pentingnya mendengarkan suara perempuan, menghilangkan deskriminasi terhadap perempuan,  memberi efek jera terjadap  perlaku kezaliman dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Wa Allâhu ’alam bi al-shahab.

Abdul Mustaqim
Abdul Mustaqim
Guru Besar Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pengasuh Pesantren Mahasiswa LSQ Ar-Rohmah.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Gus Baha jelaskan tata krama dalam interaksi sosial

Gus Baha Jelaskan Pentingnya Tata Krama dalam Interaksi Sosial

0
Dalam interaksi antar sesama di kehidupan bermasyarakat, Islam mengajarkan bahwa  muslim harus memperhatikan adab dan tata krama sosial, terlepas dari status dan kedudukan dalam...