Termasuk pemicu ketimpangan gender ialah adanya kesalahpahaman terhadap konsep seks dan gender. Dua hal itu sejatinya berbeda, tetapi sering diidentikkan, sehingga melahirkan pemahaman yang bias terhadap perempuan dan laki-laki. Ambiguitas pemahaman seks dan gender inilah yang menginspirasi Nasaruddin Umar untuk melakukan risetnya berjudul Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran. Menurutnya, pengaburan makna antara seks dengan gender dalam memahami Al-Quran menjadi penyebab tafsir cenderung bias gender.
Motif dan langkah penulisan
Bagi Umar, kesalahan dalam memahami gender dapat memicu keabu-abuan gender dan seks itu sendiri. Persoalannya adalah seks merupakan jenis kelamin, sehingga bersifat biologis dan tidak bisa dirubah. Seperti perempuan memiliki vagina dan laki-laki memiliki penis. Sementara gender merupakan konsep untuk mengidentifikasi laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Jadi, gender ini tidak natural, karena dibentuk oleh konstruk sosial-budaya yang senantiasa berkembang. Misalnya, perempuan itu lembut, emosional; laki-laki itu kuat, dan rasional. Ciri khas dan sifat itu dapat dipertukarkan, seperti laki-laki ada yang lembut, perempuan ada yang kuat dan rasional. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh faktor sosial dan kultural yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan konteks yang sedang berkembang.
Sebelumnya, upaya penyelesaian masalah ketimpangan gender telah dilakukan berbagai pihak. Yang antara lain kemudian melahirkan gerakan emansipasi perempuan –karena dalam konteks ini, perempuan menjadi objek yang dirugikan dengan stereotype makhluk kelas dua-. Sebut saja, National Organization for Woman (NOW), yang dibentuk Betty Friedan (w. 2006) di AS pada 1966, dan disusul dengan Women’s Lib (WLM) setahun berikutnya. Gerakan itu kemudian tersegmentasi menjadi beberapa aliran, di antaranya; liberal, radikal, sosialis. Dan, dari sederet aliran itu, belum ada yang menyertakan perspektif agama. Di sinilah letak distingsi riset Umar. Berbeda dengan aliran-aliran yang cenderung sekular itu, pendiri MADIA dan Imam Besar Masjid Istiqlal ini mengupayakan penyelesaian ketimpangan gender dengan sudut pandang Al-Quran.
Baca juga: Mengenal Tafsir Feminis: Motif dan Paradigma Dasarnya
Umar mengawali risetnya dengan pertanyaan mendasar. Yakni,
“Apakah bahasa Al-Quran dan penafsiran atasnya yang kadang dianggap sangat patriarkhis itu merupakan doktrin teologis, ataukah justru hanya dipengaruhi oleh konstruksi sosial historis semata, sehingga diperlukan penafsiran ulang dalam konteks modern yang jelas-jelas sangat berbeda situasi dan kondisi serta problematikanya?”
Karena, mungkin saja, gender bukan doktrin agama, melainkan sekedar idiologisasi dari suatu produk sejarah. Atas dasar itu, Umar mengajak untuk memetakan dan membedakan antara relasi seksual dan relasi gender secara tepat.
Buku hasil adaptasi dari disertasinya ini menyuguhkan perspektif gender dalam Al-Quran dengan menjadikan ayat-ayat Al-Quran yang bernuansa gender sebagai objek bahasan. Langkah-langkah yang ditempuh untuk menguraikan riset ini ialah dengan mengidentifikasi ayat-ayat gender, kemudian menganalisis konsep peran dan relasi gender. Dan, kendati objek bahasan Umar berupa Al-Quran, tulisan ini tidak hanya mengandalkan kajian teks. Ia juga memperhatikan aspek lain yang berhubungan dengan penafsiran Al-Quran, seperti kondisi sosial masyarakat Arabia. Aspek ini tentu saja sangat berpengaruh pada hasil penafsiran, karena Al-Quran turun di kawasan tersebut.
Baca juga: Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari
Buku ini sekaligus menjadi buku pertama yang khusus membahas wawasan gender dalam Al-Quran, karena riset-riset kesetaraan gender sebelumnya, belum ada yang melibatkan agama sebagai bahan pertimbangan, padahal, nilai-nilai agama menjadi salah satu unsur penting dalam kehidupan masyarakat.
Konten
Konten buku ini dikelompokkan menjadi 5 bab.
Pertama, pendahuluan, yang memuat latar belakang riset ini seperti yang diulas di muka.
Kedua, teori gender. Dalam bagian ini, Umar menampilkan diskursus gender; mulai dari aspek ontologisnya, seperti definisi dan distingsinya dengan seks; aspek epistemologisnya, seperti teori-teori gender dan feminis; serta aspek aksiologisnya, seperti pembagian kerja dan perempuan sebagai kelompok minoritas unik.
Ketiga, analisis historis (historical analysis) berupa penelusuran data sejarah di Arabia dan masyarakat internasional menjelang Al-Quran diturunkan. Pada babak ini, Umar tampak menonjolkan analisis sosial, psikologis, politik masyarakat Arabia pada khususnya, dan dunia pada umumnya. Tentu saja karena, berangkat dari prinsip dasar Al-Quran turun pada tempat yang tidak hampa budaya. Sehingga, ajaran yang ada di dalamnya, termasuk ayat relasi gender menjadi respons dari kondisi tertentu.
Sebagai contoh, dengan analisis ini, diketemukan tradisi pembunuhan bayi perempuan dan menjadikan perempuan sebagai komoditi yang bisa diperjual belikan. Tradisi ini yang kemudian menarik respons dari Al-Quran berupa larangan membunuh bayi perempuan dan pengakuannya sebagai manusia sebagaimana laki-laki, yang juga diberi mandat sebagai ‘abid (hamba) dan khalifat al-ard (penanggungjawab bumi).
Keempat, penelusuran identitas gender dalam Al-Quran, baik yang merujuk pada laki-laki mau pun perempuan. Menurut Umar, Al-Quran konsisten menggunakan term-term tertentu untuk menunjukan fenomena dan identitas gender yang berbeda satu sama lain. Untuk mengungkapnya, Umar menggunakan metode tematik dengan menghimpun ayat yang mengandung term mudhakkar (maskulin) dan mu’annath (feminin) sebagai istilah yang sering digunakan oleh Al-Quran untuk mengungkapkan persoalan gender.
Baca juga: Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas
Kemudian, ayat itu diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, antara lain; ayat yang mengandung term ar-rijal dengan berbagai derivasinya dan yang mengandung istilah an-nisa’. Ayat yang mengandung dua istilah ini lebih menunjukkan pada pengertian gender/ beban sosial; ayat yang mengandung term az-dhakr dan yang mengandung term al-untha. Dua istilah ini berorientasi pada seks daripada gender; dan, ayat yang mengandung term al-mar’u serta al-mar’ah. Dua term ini menunjukkan laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa.
Ayat-ayat tersebut kemudian dianalisis dengan pendekatan yang ada dalam ‘ulumul qu’ran, seperti makkiyyah-madaniyyah, sabab an-nuzul, dan munasabah. Ia mengadopsi teori double movement Fazlur Rahman dalam pengoperasionalannya, untuk menemukan ideal moral (tujuan/substansi) ayat tersebut.
Kelima, tinjauan kritis terhadap konsep gender dalam Al-Quran. Pada bab ini, Umar menampilkan penemuan-penemuannya berupa argumen kesetaraan gender yang terkandung dalam Al-Quran. Yakni, bahwa Al-Quran menyebut laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba (Surah az-Dzariyat ayat 56); laki-;aki dan perempuan sebagai khalifah di bumi (Surah Al-Baqarah ayat 30); laki-laki dan perempuan menerima janji primordial (Surah al-A’raf ayat 172), dan lain sebaginya.
Buku rekomendasi pengantar tafsir feminis
Buku Argumen Kesetaraan Gender ini cukup layak menjadi referensi pengantar tafsir feminis, karena tema sudah mewakili sebagai pijakan awal, penjelasannya komprehensif pula. Sebut saja, muasal kejadian manusia dan prinsip-prinsip kesetaraan gender.
Tidak hanya itu, disuguhkannya kritik terhadap tafsir yang bias gender menjadi nilai plus dari buku ini. Sehingga, Umar tidak hanya menawarkan pembacaan baru yang lebih ramah gender, tapi juga menampilkan faktor-faktor yang menyebabkan pemahaman yang bias gender terhadap Al-Quran. Sedangkan, pembahasan yang komprehensif dalam buku ini, tak lain karena penulis menggunakan berbagai pendekatan sebagai pisau analisis, seperti, hermeunitika double movement, semantik, dan semiotik. Ia juga memakai pendekatan ilmu sosial seperti antropologi dan psikologi.
Argumen Kesetaraan Gender juga cukup representatif digunakan sebagai referensi pengantar untuk membangun paradigma tafsir feminis. Tentu saja karena prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al-Quran menjadi salah satu fokus bahasan penulis, sebagaimana yang sempat di singgung di atas (baca halaman 247-263).
Baca juga: Mengenal Muhammad Abduh Pabbajah, Mufasir Nusantara Asal Sulawesi
Berbagai tokoh cendekia terkemuka pun turut menyambut hangat buku ini. Sebut saja, Quraish Shihab, yang mengisi bagian pengantar buku. Menurutnya, riset ini unik dan terbilang jarang, karena penulis memadukan pendekatan ilmu Al-Quran kontemporer dengan ilmu sosial. Azyumardi Azra juga menyebut riset ini sebagai proyek penting dalam rangka rekonstruksi dan reformulasi tafsir bias gender.
Kendati demikian, buku hasil adaptasi dari pengarang ini belum bisa disebut sebagai referensi utama (buku babon) perihal tafsir ayat-ayat relasi gender. Tentu saja, karena penulis tidak menuangkan banyak tema di dalamnya, melainkan bahasan dasarnya saja.
Judul buku : Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran
Penulis : Nasaruddin Umar
Penerbit : Paramadina
Kota : Jakarta Selatan
Tahun : 2001
Halaman : 327
ISBN : 978-602-731-9653