Pada masa awal-awal pandemi Covid-19, saat bersekolah dirumahkan dan ibadah di masjid ditiadakan, saya mendengar banyak komentar penolakan dari berbagai kalangan di lingkungan saya. Satu dari sekian komentar yang paling mengejutkan saya adalah ketika ada yang mengatakan bahwa Covid-19 merupakan konspirasi orang kafir yang menginginkan terhambatnya pendidikan anak-anak muslim lewat study from home (SFH) dan meredupnya syiar Islam lewat penutupan masjid.
Saya kemudian berpikir, benarkah realitanya seperti itu? sebegitu “gabut”-nya kah orang kafir melakukan hal tersebut? atau sebenci itu kah mereka terhadap orang-orang Islam? sampai akhirnya saya menyimpulkan bahwa banyak masyarakat Islam terutama di kalangan awam yang ketakutan berlebih dan tak berdasar pada non-muslim sehingga memunculkan anggapan-anggapan negatif seperti yang disebutkan di atas.
Fenomena tersebut bisa disebut dengan kafirphobia. Dalam urbandictionary.com, kafirphobia didefinisikan sebagai kebencian, ketakutan atau ketidakpercayaan muslim kepada non-muslim. Anehnya, menurut kamus daring tersebut, fobia terhadap orang kafir seringkali dibarengi dengan anggapan superioritas ajaran Islam, bahwa Islam tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, dan bahwa pada akhirnya kelak seluruh dunia akan takluk dan tunduk patuh kepada Islam.
Itu artinya orang-orang kafirphobic selain konservatif, juga membagi dunia secara simplifikatif ke dalam dua kelompok, Islam dan non-Islam, atau kafir. Kemudian mereka menempatkan Islam berhadap-hadapan dengan selain Islam sebagai dua kelompok yang saling bermusuhan. Mereka seakan-akan masih terbawa suasana politik pada masa Nabi yang ketika itu Islam benar-benar sedang berseteru dengan sebagian kelompok kafir. Namun bukankah kejadian itu sudah berlalu ribuan tahun lamanya?
Sebagaimana islamophobia yang sering terjadi di lingkungan minoritas muslim, kafirphobia juga umumnya terjadi ketika kelompok kafir menjadi minoritas. Meskipun tidak menutup kemungkinan ada kalanya minoritas yang menjadi fobia dengan mayoritas karena merasa terancam misalnya.
Kafirphobia yang awalnya sebentuk pola pikir bisa berwujud pada banyak hal yang membahayakan, apabila terus didiamkan, ke ranah aksi. Persekusi, pelarangan pelaksaan ibadah, dan penolakan berdirinya rumah ibadah agama lain, bahkan aksi terorisme bisa saja terjadi akibat dari fobia ini.
Untuk itu, perlu kiranya dilakukan suatu kajian untuk memetakan apa saja penyebab fobia berlebih terhadap orang kafir dan bagaimana cara menanganinya. Saya sendiri beranggapan bahwa kafirphobia dipicu di antaranya oleh pemahaman keliru atas teks-teks keagamaan yang problematik seperti ayat-ayat konflik dalam al-Qur’an.
Pemahaman parsial dan tekstual atas ayat-ayat konflik
Beberapa ayat dalam al-Qur’an turun berkaitan dengan konflik yang terjadi antara umat Islam awal dengan lawan politiknya, baik itu kaum kafir suku Quraish, Yahudi, atau Nasrani. Di antaranya QS. Al-Baqarah: 120 berikut:
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ…
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka…
Ayat di atas dikomenatari oleh Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip dalam Tafsir al-Baghawi, bahwa ia turun berkaitan dengan orang Yahudi Madinah dan Nasrani Najran. Mereka awalnya mengaharapkan Nabi mengikuti kiblat mereka, yaitu Baitul Maqdis. Sampai kemudian Baitul Maqdis benar-benar menjadi kiblat umat Islam juga. Namun tidak sampai dua tahun, kiblat dikembalikan lagi ke Ka’bah. Lalu turunlah ayat tersebut yang menyiratkan mereka tidak akan berhenti berharap Nabi akan mengikuti millah (jalan) mereka.
Dari keterangan Ibnu Abbas di atas, dapat disimpulkan bahwa QS. Al-Baqarah: 120 berkaitan dengan orang kafir yang berseberangan dengan Nabi Muhammad dalam konteks pemindahan arah kiblat. Jelasnya, ayat ini tidak berlaku secara umum, universal, dan sepanjang masa. Pesannya dibatasi dengan tiga batasan, yaitu; kepada Nabi, bukan seluruh umat Islam; ahli kitab masa Nabi, bukan ahli kitab sepanjang masa; dan terkait kasus pemindahan arah kiblat, bukan dalam semua urusan.
Ayat lain yang memiliki narasi serupa dengan ayat di atas dan yang sering disalahpahami adalah Q.S. al-Baqarah: 109 yang kutipan awalnya berbunyi:
وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا…
Sehagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman…
Q.S. Al-Baqarah: 109 di atas meski menyebut “sebagian besar”, namun menurut sebagian mufassir itu hanya kiasan saja. Ibnu Kasir dalam tafsirnya misalnya mengutip riwayat dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun hanya berkaitan dengan dua orang, yaitu Huyay bin Akhtab dan Abu Yasir bin Akhtab.
Kedua Yahudi tersebut berjuang keras menginginkan umat Islam ketika itu murtad dari agamanya. Maka turunlah ayat tersebut. Bahkan riwayat lain dari al-Zuhri mengatakan Yahudi yang dimaksud di sini hanyalah seseorang yang bernama Ka’ab bin al-Asyraf.
Ini diperkuat dengan ayat lain, QS. Ali Imran: 113-114. Dalam ayat ini Allah terang-terangan menyatakan bahwa para ahli kitab yang sering dianggap buruk oleh sebagian kita itu tidak sama semua perangai dan perilaku mereka. Di antara mereka Allah puji karena berlaku lurus, rajin beribadah, dan termasuk hamba yang saleh. Dengan begitu, bukankah mereka sama saja dengan kita yang kadang berlaku baik dan kadang berlaku buruk?
Baca juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?
Penutup
Ayat-ayat konflik sebagaimana yang telah disinggung sebagian di atas kebanyakan adalah ayat-ayat kontekstual yang berlaku pada kasus khusus dan di waktu khusus di masa lampau. Ayat-ayat ini dibanding untuk dipraktikkan maksud literalnya, ia lebih kepada merepresentasikan realitas sosial kala ayat tersebut turun pada masa Nabi.
Lalu apa yang bisa kita pelajari dari ayat-ayat konflik kontekstual tersebut jika tidak diamalkan secara apa adanya? Barangkali satu di antara yang bisa kita pelajari adalah bahwa ayat-ayat tersebut menunjukkan kebencian dan perlakuan buruk orang kafir pada masa lalu mengarahkan mereka pada kekalahan di medan perang, akhir yang buruk, dan murka Tuhan berupa siksa pedih di nerakanya kelak.
Adapun masalah fobia kafir di atas yang sering terjadi di negara mayoritas muslim seperti di Indonesia. Umat Islam Indonesia seharusnya tidak bermental minoritas yang sering merasa insecure, takut, cemas, dan terancam dengan kelompok di luar mereka. Sebaliknya, sebagai mayoritas, kita harusnya juga bermental mayoritas yang bersedia mengayomi minoritas yang non muslim itu. Wallahu a’lam.
Baca juga: Konsep Kafir dalam Al-Qur’an Perspektif Farid Esack