Pada awalnya, Orientalis lebih dikenal sebagai seseorang yang melakukan kajian beragam bahasa dan sastra ketimuran. Dalam hubungannya dengan persoalan keagamaan, pemahaman ini kemudian dispesifikkan menjadi aktivitas studi agama-agama Timur yang dijalankan oleh para ahli ketimuran dari Barat atau Orientalis tersebut. Lebih jauh, mereka lalu menganalisis berbagai hal kaitannya dengan bangsa-bangsa Timur yang mencakup berbagai bidang. Mulai dari sejarah, bahasa, agama, sastra, adat istiadat, politik, hingga ekonomi (Zarkasyi, 2011, hal. 3).
Gerakan ini kemudian berkembang menjadi sebuah bidang studi tentang dunia Timur dan Islam yang kerap disebut Orientalisme. Hingga kini, Orientalisme telah bertransformasi menjadi disiplin ilmu yang lekat akan spesifikasi teori serta metodologi ataupun kerangka studi. Namun, lantaran upaya ini datang dari tradisi intelektual Barat, sehingga kerap ditinjau dengan ideologi Barat. Terlebih dalam kajian terhadap Al-Qur’an, tak sedikit framework berpikir Orientalis yang cenderung salah kaprah dan kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Meskipun demikian, beberapa akademisi Muslim Indonesia tidak semuanya memandang sama rata motif dari para orientalis. Menurut mereka motif orientalis berbeda-beda dalam mengkaji Al-Quran. Pemikiran atau pendapat orientalis yang akan disampaikan di sini adalah mereka yang mempersoalkan autentisitas Al-Quran dengan berbagai alasannya.
Baca Juga: Pengaruh Kesarjanaan Barat Terhadap Transformasi Kajian Akademik Al-Quran dan Tafsir di Indonesia
Argumentasi mereka yang mempersoalkan autentisitas Al-Quran
Cengkeraman worldview Barat dalam bingkai kajian Orientalis telah terpampang pada studi mereka terhadap Al-Qur’an. Hipotesis dasar bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah wahyu seakan menjadi fondasi sekaligus tujuan utama studi mereka. Theodore Noldeke dan Arthur Jeffery sebagai pelopor kajian sejarah teks Al-Qur’an (Jeffery, 1935, hal. 4-16). Disusul teori revisi teks Al-Qur’an yang digagas Richard Bell dan M. Watt (Richard Bell & W. M. Watt, 1970), hingga J. A. Bellamy yang menyalahkan penulisan Al-Qur’an menjadi bukti deretan asumsi negatif Orientalis Barat terhadap autentisitas Al-Qur’an.
Dengan adanya pengaruh tersebut, para Orientalis hanya mengandalkan pendekatan serta metode penelitian keilmuan sosial yang mereka kantongi dalam menelaah Al-Qur’an. Konsekuensinya, berbagai persoalan yang menjadi topik bahasan mereka akan dipadu padankan dengan metode tersebut. Inilah yang kemudian menjadi momok tersendiri bagi eksistensi Al-Qur’an pada khususnya, dan umumnya bagi umat Islam.
Beberapa motif kajian Orientalis yang berpatokan pada bingkai pemikiran mereka sendiri, adalah mengaitkan Al-Qur’an dengan teks-teks keagamaan masa lampau. Akibat hegemoni keagamaan yaitu Yahudi dan Kristen, para Orientalis lebih condong memanfaatkan kitab mereka sebagai parameter penilaian. Salah satu metodenya ialah dengan mengidentifikasi berbagai kesamaan yang ada.
Baca Juga: Al-Quran dan Orientalis: Penerjemahan Al-Quran dalam Bahasa Latin
Seorang tokoh intelektual Yahudi Liberal dari Jerman bernama Abraham Geiger, mengemukakan teori tentang pengaruh Yahudi terhadap Al-Qur’an. Dalam esainya, ia menjelaskan berbagai isyarat bahwa Al-Qur’an adalah imitasi dari Taurat serta Injil. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa kosa kata yang berakar dari bahasa Ibrani, seperti Tabut, Taurat, Jahannam, Taghut, dan sebagainya.
Selain itu, Geiger juga beranggapan bahwa isi Al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh Yahudi. Sebagaimana pemaparan Al-Qur’an tentang hal-hal yang berkaitan dengan keimanan ataupun doktrin, ketentuan-ketentuan hukum serta moral, hingga mindset tentang kehidupan (Rippin, 2001, hal. 11). Ia juga berkeyakinan bahwa berbagai celaan Al-Qur’an kepada Yahudi dikarenakan kebodohan dan kesalahpahaman Nabi Muhammad terhadap doktrin-doktrin agama mereka (Geiger, 1998, hal. 165-26).
Motif selanjutnya yaitu mengesampingkan Riwayah dan lebih mengutamakan Rasm. Para Orientalis yang telah dicekoki ilmu-ilmu sosial Barat ataupun metodologi kajian Bibel, cenderung menitikberatkan pada fakta-fakta empiris sehingga mengabaikan bukti-bukti lain yang tidak memiliki fakta fisik. Hal ini ditunjukkan dengan antusiasme yang cukup besar dari para Orientalis dalam meneliti sejarah kompilasi teks Al-Qur’an.
Pandangan ini lebih terlihat mengacu pada pengalaman mereka dalam mengidentifikasi sejarah Bibel yang sebatas menyandarkan pada teks manuskrip dalam bentuk papirus dan sebagainya. Manuskrip inilah yang menjadi dasar dan acuan dalam penulisan Gospel (Wansbrough, 1977). Melalui metode ini juga, Arthur Jeffery menganggap mushaf yang ada saat ini tidak lengkap dan berbeda dari aslinya. Padahal, ia sendiri belum mampu menunjukkan bentuk mushaf yang asli.
Kemudian, para Orientalis juga mempersoalkan tentang pembentukan mushaf. Kendati menerima kompilasi Utsman, mereka masih berspekulasi terdapat kemungkinan terjadi kesalahan penulisan teks Al-Qur’an saat itu, karena rentang waktu yang cukup panjang antara wafatnya Nabi dengan distribusi mushaf Al-Qur’an ke berbagai wilayah, yaitu lima belas tahun.
Dengan adanya selisih waktu tersebut, mereka beranggapan telah terjadi penyimpangan ataupun pemalsuan teks asli Al-Qur’an. Padahal, para ilmuwan Injil tidak pernah mempersoalkan sejarah Bibel, walaupun beberapa Kitab Perjanjian lama disusun berlandaskan transformasi lisan dengan selang waktu delapan abad lamanya.
Baca Juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran
Lalu, disusul dengan mempermasalahkan kandungan Al-Qur’an. Melalui pendekatan historis dan fenomenologis, W. Montgomery Watt mengemukakan bahwa terdapat dua sumber wahyu Al-Qur’an, yaitu Tuhan dan Nabi Muhammad. Dari sini ia menginterpretasikan bahwa wahyu Al-Qur’an memang bersumber dari Allah, tetapi diproduksi ulang oleh Nabi dengan bahasanya sendiri dalam konteks ruang lingkup serta sosio-religius Yahudi dan Kristen.
Pada satu sisi, Watt menerima Islam yang fundamental. Namun di sisi lain, ia menekankan pendekatan historis yang kontras dengan Islam. Sebagaimana penolakannya terhadap malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Menurutnya, wahyu diturunkan oleh Tuhan hanya dalam bentuk makna dan bukan lafal. Lantaran terdapat andil Nabi Muhammad dalam esensi wahyu, maka dapat dimungkinkan terjadi kesalahan dalam Al-Qur’an.
Dilanjutkan dengan karakteristik Orientalis lainnya yaitu menggunakan metodologi Bibel dalam kajian Al-Qur’an. Metodologi ini biasa disebut kritis-historis dengan tokohnya, Edward Sell, misionaris terkenal dari Madras, India. Ia memaksa supaya kajian kritis-historis Al-Qur’an dijalankan dengan menerapkan kritik Bibel (biblical criticism). Ia juga mengejawantahkan pendapatnya melalui tulisan Historical Development of The Qur’an yang terbit pada tahun 1909 (Sell, 1985, hal. 253-56).
Lantaran pendekatan ini berbeda dengan tradisi intelektual Islam, maka akan melahirkan hasil yang berbeda pula. Penerapan metodologi Bibel dan menganggap teks Al-Qur’an sama dengan Bibel merupakan sebuah kesalahan fatal, sebab keduanya jelas memiliki perbedaan baik secara historis maupun tekstual. Dalam hal lain, kajian Al-Qur’an sudah barang tentu menuntut adanya unsur keimanan. Namun, tidak dengan mereka yang menelaah substansi Al-Qur’an tanpa iman. Tindakan semacam ini mengakibatkan persoalan yang bersifat doktriner diabaikan. Sehingga, kajian yang sebatas menggantungkan akal hanya akan memicu keraguan saat menjumpai permasalahan yang tidak mampu dijangkau oleh akal. Wallahu a’lam.