Selama ini mungkin para pengkaji Al-Quran dan Tafsir kebanyakan menemukan tokoh mufasir adalah seorang laki-laki. Baik dari era Sahabat hingga era saat ini, laki-laki masih mendominasi deretan tokoh-tokoh ternama dalam bidang kajian ini. Kelangkaan cendekiawan tafsir perempuan tidak serta merta menandakan adanya perbedaan kualitas nalar antara laki-laki dan perempuan. Bint As-Syathi sang mufassir perempuan telah berhasil membuktikan bahwa perempuan mampu sebanding dengan laki-laki.
Sebagai salah satu mufassir ternama di era Kontemporer, Bint As-Syathi telah memberikan kontribusi signifikan dalam perkembangan kajian ilmu al-Qur’an dan tafsir. Sebagai seorang cendekiawan tafsir yang identik dengan kajian semantiknya yang mendalam, Ia menjadi salah satu mufassir perempuan yang idenya banyak dikaji di kalangan sarjana baik Timur maupun Barat.
Untuk mengenal lebih jauh mengenai sosoknya, tulisan ini akan mengulas seputar biografi serta salah satu teorinya yang cukup banyak dikaji.
Mengenal Bint As-Syathi
Nama aslinya ialah Aisyah Abdurrahman. 6 November 1913 menjadi tanggal lahirnya. Menjalani masa kecilnya di Dumyat, sebuah daerah yang berada di sebelah barat delta sungai Nil. Lokasi yang geografisnya yang berada di pinggiran sugai menjadi asal-muasal Aisyah Abdurrahman menggunakan nama panggilan Bintu Syathi (gadis tepi sungai) sebagai nama penanya.
Memiliki keluarga yang berlatar belakang pendidikan agama yang tradisionalis, Bint As-Syathi mendapatkan perlakuan berbeda dibanding teman-teman sebayanya. Ayahnya yang merupakan dosen teologi di Universitas al-Bahr hampir selalu mengajaknya untuk mengikuti sima’an Al-Quran dan tidak memberikannya waktu yang panjang untuk bermain. Agenda sima’an rutinan yang ia ikuti itulah yang membuatnya mudah dalam menghafalkan Al-Quran, terutama surah-surah pendek.
Di tanah kelahirannya ayahnya, Shuba bakhum, Bintu Syathi memulai perjalanan akademiknya dengan mengaji dan menghafal Al-Quran dengan Syaikh Mursi. Kala itu usianya baru lima tahun. Setelah berhasil menghafalkan al-Qur’an, Bintu Syathi melanjutkan studinya di sekolah formal yang berada di Dumyat dan mempelajari gramatika bahasa Arab serta dasar-dasar akidah.
Selepas lulus dari sekolah formal di Dumyat, Bint As-Syathi melanjutkan pendidikannya di sekolah keguruan. Banyak drama yang ia jalani karena pandangan tradisionalis ayahnya yang melarangnya keluar dari rumah. Namun berkat berbagai dukungan yang ia dapatkan, Bintu Syathi berhasil lulus dan melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi.
Di tahun 1939, Bint As-Syathi berhasil menamatkan studinya dan mendapatkan gelar Lc./ BA dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Fuad I Cairo. Dua tahun kemudian di Universitas dan bidang yang sama, ia meraih gelar magisternya. Dan di tahun 1950 ia berhasil mempertahankan Disertasinya dan meraih gelar Doktor dibidang Bahasa dan Sastra Arab. Selama berkuliah inilah Bintu Syathi menemukan jodohnya yang merupakan dosennya sendiri yakni Amin al-Khulli.
Setelah mendapatkan gelar doktornya, Bintu Syathi diangkat sebagai lektor bahasa Arab di Universitas Ain Syam dan menjadi assiten Professor di tahun 1957. Akhirnya pada tahun 1967, Bintu Syathi berhasil mencapai puncak karir akademik formalnya sebagai Professor Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Ain Syam.
Selama perjalanan karir akademiknya, Bintu Syathi berhasil mengarang beberapa karya ilmiah. Beberapa karya bertema umum dan lainnya memuat tema kajian al-Qur’an secara khusus. Di antara karya-karyanya yang mengupas kajian al-Qur’an adalah al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, al-Qur’an wa Tafsir al-Ashr, al-Israiliyyah fi Ghazw al-Fikr, al-I’jaz al-Bayani li al-Qur’an.
Mengulas Salah Satu Teori Semantik Bintu Syathi’
Telah disinggung di awal bahwa para peminat kajian al-Qur’an dan Tafsir penting untuk mengenal Bintu Syathi sang penafsir perempuan. Sejatinya mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang mendasar yakni memperluas wawasan bahwa mufassir tidak hanya dari kalangan laki-laki saja serta Bintu Syathi memiliki ciri khas kajian kebahasaan yang mendalam sehingga tesis-tesis yang ia hasilkan menarik untuk dikaji.
Salah satu dari karya Bint ِAs-Syathi yang dikatakan menjadi magnum opusnya yakni al-I’jaz al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Karya yang terdiri dari dua jilid ini memuat beberapa teori semantik al-Qur’an yang lahir dari telaahnya yang mendalam terhadap sisi kebahasaan al-Qur’an. Salah satu teori yang ia kemukakan dalam karyanya ini ialah teori la taradufa fi al-qur’an (tidak ada sinonimitas dalam al-Qur’an).
Lahirnya teori ini tidak lepas dari pengaruh pemikiran ulama klasik seperti Abu Hilal al-Asykari, Ibnu al-’Arabiy, Abu Qasim al-Anbariy. Dari pemikiran beberapa ulama klasik tersebut, Bintu Syathi menyimpulkan bahwa setiap kata yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an menunjuk pada suatu konteks tertentu serta mengandung illat atau sebab tertentu yang menyebabkan kata tersebut di ucapkan pada konteks tersebut.
Dengan begitu jika terdapat kata yang bersinonim, maka sejatinya tidak berarti memiliki makna yang sama, sebab adanya perbedaan konteks maupun illat. Secara lebih sederhana dapat disimpulkan dengan merujuk pada pernyataan Sa’lab, “ma yuzhannu fi dirasah al-lughawiyyah min al-mutaradifat huwa min al-mutabayyinat”, “apa yang diduga dalam kajian bahasa sebagai sinonimitas sejatinya ialah suatu yang berkontradiksi”.
Dalam bukunya al-Tafsir al-Bayani disana dikemukakan bagaimana metodologi teori anti-sinonimitas yang digagas Bintu al-Syathi’. Beliau berkata: “pertama yang hendaknya dilakukan oleh peneliti makna kosa kata al-Qur’an adalah menghimpun semua kata yang digunakan al-Qur’an menyangkut objek sambil memperhatikan arti-arti yang dapat dikandungnya (variasi makna) menurut penggunaan bahasa, kemudian memperhatikan penggunaan al-Qur’an terhadap kata itu dengan jalan melihat susunan redaksi ayat secara menyeluruh lengkap beserta konteks kalimatnya (siyaq al-kalam)”.
Dari kutipan tersebut diketahui bahwa ada beberapa langkah atau metode yang dilakukan Bint As-Syathi dalam menerapkan teorinya. Pertama, mencari makna asli sebuah kosa kata berdasarkan kamus serta menghimpun ayat-ayat yang di dalamnya tercakup kosa kata tersebut. kedua, setelah menemukan makna aslinya, maka yang perlu dilakukan adalah mencari makna relasionalnya dalam al-Qur’an dengan membaca redaksi yang mencakup kosa kata tersebut secara utuh. Ketiga, menelaah penisbatan kosa kata tersebut terhadap subjek ataupun objek tertentu.
Salah satu contoh kasus mengenai teori ini ialah pada redaksi aqsama dan halafa. Secara umum kedua diksi ini dimaknai dengan “sumpah/ janji”. Namun dalam penggunaannya dalam al-Qur’an kedua diksi ini ternyata memiliki makna yang berbeda. Dari hasil analisisnya, Bintu Syathi mengemukakan bahwa halafa secara mutlak dimaknai “sumpah palsu” sedangkan aqsama dapat dimaknai “sumpah palsu” maupun “sumpah asli” tergantung pada subjek yang dinisbatkan kepadanya. Jika dinisbatkan pada Allah dan orang beriman maka bermakna positif namun jika dinisbatkan pada bangsa Arab sebelum datangnya Islam maka bermakna negatif.
Bagaimana menarik bukan tesis-tesis yang diajukan oleh Bint As-Syathi? Maka jangan sampai teman-teman melewatkan untuk mengkaji pemikiran sang mufassir perempuan dari Bumi Kinanah. Wallahu a’lam.