BerandaTokoh TafsirZainab al-Ghazali: Tokoh Feminis Modern Berkebangsaan Mesir

Zainab al-Ghazali: Tokoh Feminis Modern Berkebangsaan Mesir

Membincang isu gender dan feminisme, sama halnya dengan membincang kekerasan dan penindasan terhadap kaum perempuan dalam konteks realita sosial. Fenomena ini bisa dilihat dari banyaknya negara Muslim seperti Arab Saudi, Iraq, Syiria, Sudan, dan Mesir sebagai negara yang memiliki tingkat kekerasan terhadap perempuan tertinggi di Timur Tengah.

Isu feminisme di Mesir misalnya, awalnya hanya berbentuk gagasan normatif saja, yang secara sporadis didengungkan oleh beberapa kalangan. Barulah pada masa selanjutnya, benih-benih feminisme di Mesir semakin mencuat dan mulai memasuki forum-forum serta berbagai kegiatan sosial sehingga lahir beberapa komunitas perempuan Mesir.

Baca Juga: Zainab al-Ghazali: Mufassir Perempuan Pertama Abad ke-20

Membaca Kembali Gerakan Feminisme di Mesir

Jika ditelisik historisitasnya, sebenarnya akal kultural dan label otentitas gerakan feminisme Mesir bukanlah fenomena baru, karena pada masa sebelumnya sudah muncul sederet tokoh seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang telah mengilhami perbincangan mengenai emansipasi perempuan. Saat itu, isu feminisme saling bersinggungan secara kompetitif dengan diskursus nasionalisme (Najde Al-Ali, Secularism, Gender, and The State in The Middle East: The Egyptian Women Movement, 58).

Wacana otentitas budaya yang mengemuka saat itu, membuat isu feminisme mendapatkan tantangannya karena dicap sebagai budaya Barat. Pada gilirannya, isu feminisme dan nasionalisme menjadi akur karena memiliki kepentingan yang sama, relasi antara keduanya menjadi kolaboratif-integratif ketika revolusi 1919 mencuat. Pada masa revolusi, berbagai elemen bergerak dan menuntut untuk kemerdekaan Mesir dan Inggris.

Para aktivis perempuan dari berbagai negara bersatu dengan ribuan perempuan Mesir untuk menggelar aksi demonstrasi besar-besaran. Mereka terlihat sangat vokal dalam gerakan anti Inggris. Dari sinilah momentum gagasan dan gerakan feminisme serta nasionalisme menjadi bersatu. Terjadinya disorientasi visi gerakan feminisme dari anti patriarki berubah menjadi anti koloni (Thomas Phillip, Feminism and Nationalist Politics in Egypt, 278).

Pada periode selanjutnya, muncul sederet tokoh feminis Mesir lainnya seperti Qasim Amin, Malak Hafni Nashif, Huda Sya’rawi, Munirah Tsabit Musa, Nawal al-Sadawi, Margot Badran, Rawiyah ‘Athiyyah, Aminah Syukri, Hikamah Abu Zayd, dan Zainab al-Ghazali.

Baca Juga: Amina Wadud dan Hermeneutika Feminisme

Zainab Al-Ghazali dan Ikhwanul Muslimin: Menelisik Gagasan “Jam’iyyah Muslimah”

Ketika membahas tentang pemikiran feminisme ala Zainab al-Ghazali, maka tak ayal pembahasan akan mengarah pada sebuah oraganisasi besar dan tumbuh subur di Mesir, yaitu Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini memiliki karakter dakwah yang komprehensif dan universal dalam memberikan ketertarikan terhadap umat Islam.

Di sisi lain, gerakan ini juga mementingkan nasib kaum perempuan yang mendapatkan diskriminasi dalam ranah domestik dan publik. Bak gayung disambut dengan pemikiran Zainab al-Ghazali yang memiliki perhatian khusus dalam usaha membangkitkan gerakan perempuan dengan kecakapan dan kepintarannya, menjadikan dirinya sebagai aktivis perempuan sejak berusia 24 tahun.

Zainab yang didasari ideologi Ikhwanul Muslimin sedari remaja, menilai bahwa feminisme sudah melewati batas kodrat perempuan. Oleh karenanya, ia menentang gerakan tersebut dengan membuat gerakan feminisme baru yang kerap disebut dengan terminologi “Jam’iyyah Muslimah” dengan tujuan yang sama, yakni menghapus budaya-budaya patriarki dan diskriminasi yang berlandaskan pada Alquran dan sunah.

Baca Juga: Fatimah Mernissi dan Inspirasi Bergelut di Bidang Tafsir Feminis, Ada Kisah Memilukan

Poligami dan Peran Perempuan dalam Ranah Publik Perspektif Zainab Al-Ghazali

Salah satu ayat yang kerap digugat oleh kaum feminis, adalah persoalan poligami (QS. Alnisa’ [4]: 3). Dalam ayat tersebut, Zainab menafsirkan “Ali menceritakan kepada kami, Hasan bin Ibrahim mendengar dari Yunus bin Yazid dari Zuhri berkata: Urwah bin Zubair menceritakan kepadaku bahwasannya ia telah bertanya kepada Aisyah (istri Rasulullah) tentang maksud ayat wa in khiftum an la tuqsitu fi al-yatama…. Maka Aisyah menjawab: “Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak yatim perempuan yang ada dalam asuhan walinya, si wali tertarik pada harta dan pada kecantikan anak itu. Maka ia berniat untuk menikahinya dengan memberi mahar yang paling rendah, kemudian ia menggaulinya dengan cara yang tidak baik. Maka ayat ini melarang untuk menikahinya kecuali si wali mampu berlaku adil terhadap perempuan-perempuan tersebut dengan menyempurnakan maharnya dan apabila si wali tidak mampu berlaku adil, maka ia diperintahkan agar menikah dengan selain perempuan yang ada dalam asuhan walinya.” (Zainab al-Ghazali, Nadzarat fi Kitabillah, 282).

Dari pengutipan hadis di atas, Zainab berpendapat bahwa QS. Alnisa’ [4]: 3 berkaitan dengan konteks anak yatim. Dalam penafsiran selanjutnya, ia menjelaskan jika sekiranya laki-laki (suami) takut tidak mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, maka monogami dalam sebuah pernikahan adalah sebuah keharusan dan anjuran (QS. Alnisa’ [4]: 129).

Selanjutnya, perihal peran perempuan dalam ranah publik. Feminisme menginginkan hak-hak perempuan setara dengan laki-laki, salah satunya dalam peranan publik seperti bekerja, berpolitik, dan menjadi pemimpin. Zainab dalam hal ini menafsirkan QS. Alahzab [33]: 33, bahwa perempuan (istri) seyogianya mengurus domestik terlebih dahulu, baru kemudian melakukan kegiatan atau berperan aktif dalam ranah publik, sesuai kepentingan dan hajatnya (Zainab Al-Ghazali, Min Khawatir Zainab Al-Ghazali, 17).

Penutup

Zainab al-Ghazali adalah tokoh feminis sekaligus mufasir berkebangsaan Mesir. Ia menjawab Isu-isu gender yang sedang berkembang di masyarakat Mesir modern dengan perspektif Alquran. Zainab menerjemahkan kesetaraan gender dalam feminisme dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan secara proposional dengan catatan saling menghormati dan menghargai antara laki-laki dan perempuan.

Wallahu a’lam.

- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...