Adalah sebuah fakta yang tak perlu lagi dibantah bahwa meskipun Alquran diturunkan menggunakan Bahasa Arab, ia tetap dibaca dan mempengaruhi berbagai tindakan kalangan yang tidak hanya berasal dari Bangsa Arab, namun seluruh dunia. Ini berlangsung sejak pertama kalinya Alquran diturunkan hingga hari ini—seiring dengan Islam melakukan ekspansi wilayah keluar Arab, yang di antaranya telah sampai di wilayah seperti Persia, Urdu, Bangla, Melayu, Wolof, Amharik, Turki, Berber, Inggris, dan sebagainya. Tentu saja, fenomena yang demikian tidak dapat dipandang sederhana. Ia perlu mendapatkan sebuah penjelasan. Ingrid Mattson, dalam ‘The Story of The Qur’an: Its History and Place in Muslim Life’ (Mattson, 2018) memberikan sebuah penjelasan yang menarik.
Mula-mula, ia memusatkan perhatian pada persoalan yang muncul di kalangan muslim ihwal perdebatan status ontologis Alquran. Meskipun Mattson sendiri menyatakan bahwa perdebatan ini belum selesai, isu ini masih merupakan aspek dari agama yang dipahami secara berbeda-beda oleh berbagai madzhab pemikiran, utamanya antara Mu’tazillah dan Sunni: Asy’ariyah-Maturidiyah.
Baca juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran
Terlepas dari kontroversi teologis tersebut, kalangan muslim nampaknya juga sepakat bahwa Alquran adalah Kalam Tuhan yang memiliki kedudukan unik, yang mempengaruhi—baik secara tertulis maupun lisan—, seluruh pemikiran dan tindakan manusia. Kedua bentuk tersebut, baik tulis, lisan, maupun tindakan, memperkuat satu sama lain. Pada akhirnya, hal ini juga memungkinkan ‘Kalam Tuhan’ meresap ke dalam hati setiap pengikutNya secara menyeluruh.
Ada dua pokok perhatian Ingrid Mattson terkait hal ini yang dijelaskan secara mendetail dalam karyanya tersebut.
Pertama, Alquran dalam tradisi Lisan. Prihal ini, tentu tidaklah asing bagi setiap muslim untuk menemukan fakta bahwa bacaan Alquran memenuhi atmosfir komunitas muslim. Ia hadir, misalnya, dalam bentuk kegiatan anak-anak sekolah melantunkan ayat Alquran dengan mengikuti guru mereka, pengeras suara di masjid yang mengumandangkan adzan, masyarakat membaca Alquran di sebuah tempat untuk mengingat kematian saudara sesamanya, dan para penjaga toko yang memperdengarkan suara lantunan Alquran untuk pengunjung.
Baca juga: Kritik Ignaz Goldzhiher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur
Kedua, Alquran dalam tradisi tertulis. Perihal ini, tentu juga tidaklah asing bagi setiap muslim untuk menemukan fakta bahwa banyak dari ‘ayat-ayat dalam Alquran yang ditulis tangan dalam bentuk kaligrafi’. Ada yang hanya sebatas sebagai hiasan di masjid dan rumah-rumah, ada yang diproduksi secara masal di kalender dan jam dinding, Alquran sebagai pelindung, hal keramat, dan jimat.
Oleg Grabar, dalam The Mediation of Ornament, nampaknya memberikan penjelasan yang memiliki keserupaan dengan Ingrid Mattson terkait Alquran dalam tradisi tertulis ini (Grabar, 1992). Dalam temuannya, ia menuliskan bahwa penolakan terhadap beragam bentuk tiruan dari hal yang bersifat resmi dan formal, yang terjadi di abad pertama telah berdampak sangat luas terhadap minat estetika masyarakat muslim, khususnya terkait hal-hal yang dituliskan.
Baca juga: Pengaruh Kesarjanaan Barat Terhadap Transformasi Kajian Akademik Al-Quran dan Tafsir di Indonesia
Namun, beberapa abad berikutnya, yakni abad sembilan dan sepuluh, muncul sebuah tren di daerah Baghdad untuk menghiasi segala jenis benda yang digunakan sehari-hari, seperti botol, sapu tangan, surban, dengan puisi dan beberapa ungkapan menarik lainnya. Seluruh dari tindakan ini telah menunjukkan bahwa Alquran dan budaya telah sama-sama membentuk pemikiran dan tindakan manusia. Melalui dua hal itu, yang melebur dalam sebuah ‘fenomena’, terbentuklah sebuah pemikiran dan tindakan setiap pengikutnya.
Berdasarkan dua pokok perhatian Ingrid Mattson tersebut, kiranya menjadi jelas gambaran Alquran telah sepenuhnya -jika dapat dikatakan demikian- berdialektika atau bersentuhan dengan budaya manusia tempat di mana ia hadir. Wallahu a’lam.[]