BerandaTafsir TematikDigiseksual dan Kecaman Alquran bagi Pelakunya

Digiseksual dan Kecaman Alquran bagi Pelakunya

Kehadiran teknologi telah menyulap drastis pola hidup dan sudut pandang manusia. Alih-alih kaya manfaat, di tangan orang yang tidak tepat teknologi justru menjadi petaka dan momok menakutkan. Permisalan kongkret dari persoalan ini adalah gelombang digiseksual yang bisa ditemukan di berbagai negara maju. Lantas, bagaimana pandangan Alquran dalam menyikapi fenomena ini?

Love and sex with robot?

Dunia robotik kini berkembang pesat dengan ragam bentuk, kemampuan, dan fungsinya yang semakin canggih. Mulanya robot diciptakan manusia untuk mempermudah pekerjaan yang memerlukan kapasitas tenaga besar, ketelitian, risiko tinggi, dan berulang.

Banyak aktivitas manusia yang mampu digantikan oleh robot. Mulai dari medis, produksi, hingga melayani hasrat seksualnya. Seiring dengan pengembangan robot seks (sexbot) menyerupai manusia yang dibekali kecerdasan buatan (artificial intelligence); sebuah sistem komputer berkemampuan meniru kecerdasan manusia dalam melakukan fungsi tertentu seperti pengambilan keputusan dan analisa penalaran. Tidak cukup di situ, artificial intelligence memungkinkan robot dapat berjalan, melihat, mendengar, bahkan merasakan sesuatu.

Perilaku seks dengan robot adalah bagian dari perilaku digisex; sebuah pengalaman seksual yang bergantung pada penggunaan kemajuan teknologi (a sexual experience that depends on use of an advanced technology). Love and sex with robot merupakan episode kedua dalam sejarah digiseksual. Pada episode pertama, digiseksual mewujud revolusi seksual yang berkembang melalui jaringan internet dan media sosial. Fenomena seks dengan robot boleh jadi akan dianggap sebagai sesuatu yang biasa di masa yang akan datang.

Baca juga: Resolusi Alquran Menghadapi Tantangan Digital di Era Post-Truth

Larangan seks lawan jenis

Fitrah manusia adalah berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan. Persoalan seks sebenarnya bukan persoalan yang menjijikkan. Sebaliknya, Islam menempatkan seks sebagai sesuatu yang suci dan tidak boleh dikotori dengan perbuatan seks secara sembarangan. Penegasan ini terekam dalam Q.S. Annahl [16]: 72:

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ

“Allah menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari pasangan-pasangan itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik. Maka mengapakah mereka beriman pada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”

Mengutip pendapat Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, kata azwaj (jamak dari zauj) yang bergandeng dengan kata min anfusikum mengkonotasikan makna “pasangan” dari satu entitas yang sama, diikat oleh sebuah akad pernikahan, dan satu sama lain bertanggung jawab saling membantu. Dua syarat mutlak sebuah ikatan untuk bisa disebut sebagai “pasangan” haruslah dari entitas yang sama dan telah melalui prosesi akad nikah. Dalam Q.S. Arrum [30]: 21 Allah berfirman:

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Masih menurut Shihab, kata anfusikum merupakan bentuk jamak dari nafs yang artinya jenis, diri, atau totalitas sesuatu. Atas dasar ini sebagian ulama kemudian berpendapat bahwa Allah tidak membolehkan perkawinan dengan jenis lain. Jenisnya merupakan pasangannya. Maka dari itu pelampiasan seksual atau mengawini jenis lain sama sekali tidak dibenarkan oleh Allah.

Penggunaan kata anfus dalam Q.S Annisa [4]: 1 mengindikasikan bahwa Allah menciptakan nafsin wahidah sebagai pasangan menunjukkan agar suami dan istri menjadi diri yang satu dalam perasaan, pikiran, harapan, cita-cita, langkah, dan setiap hembusan napas. Itu alasan mengapa perkawinan dinamai zauj atau keberpasangan dan nikah yang berarti penyatuan jasmani dan rohani.

Baca juga: Empat Macam Larangan Seksualitas dalam Alquran

Islam sangat menentang perilaku seksualitas lawan jenis. Misalnya sebagaimana disinggung dalam Q.S. Asysyuara [26]: 165-166:

أَتَأۡتُونَ ٱلذُّكۡرَانَ مِنَ ٱلۡعَٰلَمِينَ # وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمۡ رَبُّكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُمۚ بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٌ عَادُونَ

“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”

Melansir keterangan Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, laki-laki normal adalah dia yang masih bersyahwat terhadap perempuan. Demikian itu adalah batas yang ditetapkan Allah Swt. Maka jika laki-laki bersyawat terhadap sesama laki-laki, mislanya, orang tersebut dikatakan abnormal. Ayat ini adalah kecaman bagi orang-orang yang melampiaskan seksualitasnya bersama lawan jenis, baik dalam konteks LGBT ataupun dengan bantuan robot.

Seksualitas idealnya mampu menimbulkan ketenangan atau yang disebut sebagai sakinah. Dalam hubungan seksual tidak hanya ada penyatuan jasmani tetapi juga rohani. Adapun seks menggunakan teknologi dilakukan tanpa pasangan biologis atau dengan kata lain dilakukan antara seseorang dengan teknologi yang dengan kemampuannya bisa memberikan rangsangan hingga menjadi objek seksual itu sendiri.

Memang dalam teknologi realitas virtual (sebagai contoh), simulasi tubuh yang dikonstruksi menggunakan teknik rekayasa animasi, imaji, dan rendering tubuh dapat dimodifikasi agar sesuai dengan gambaran ideal tubuh yang melampaui bentuk alamiah guna memperoleh kepuasan seksual yang berbeda. Imaji tubuh sempurna atau diidealkan membangun seksualitas yang disempurnakan atau diidealkan. Namun demikian, di sini tidak ada penyatuan rohani antar pasangan seks karena objek seks merupakan benda mati yang tidak memiliki “hati” dalam arti dimensi bersemayamnya perasaan.

Begitu pula, jika seks antara manusia dan manusia dapat menciptakan mawadah. Dalam digiseksual dimensi mawadah hilang atau tidak akan terwujud jika seks dilakukan dengan teknologi. Seks digital tidak menyatukan atau mengintegrasikan hal tersebut. Namun sebaliknya, ia memisahkan dan mendisintegrasikan karena hubungan seksual ini berlangsung dalam keberjarakan. Hubungan ini tidak bisa dimaknai sebagai ikatan bersama dalam bingkai cinta atau mawadah serta tidak pula terdapat keintiman karena ketiadaan tubuh fisik akibat telah digantikan bit-bit informasi. Sehingga dalam digiseksual tidak ada penyatuan jiwa yang mengantarkan pada mawadah.

Sebaliknya, digiseksual yang dilakukan seseorang yang telah berkeluarga boleh jadi justru akan menciptakan ketidakselarasan dan kerenggangan hubungan dengan pasangan asli. Islam mengakui naluri (fitrah) manusia, walau sering kali manusia sendiri salah paham tentang fitrah mereka. Digiseksual tidak lain adalah produk rekasaya teknologi. Lantas, sesuatu yg dimulai dari rekayasa, bisakah ia mampu memberikan ketenangan? Atau sebatas kepuasan sesaat? Wallahu a’lam []

Baca juga: Pernikahan Perspektif Alquran: Bersatu dari Perbedaan

Fawaidur Ramdhani
Fawaidur Ramdhani
Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya dan Dosen Ma’had Ali UIN Sunan Ampel Surabaya. Minat pada kajian tafsir Al-Quran Nusantara, manuskrip keagamaan kuno Nusantara, dan kajian keislaman Nusantara
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU