Dalam sistem etika Islam praktik gender equality (kesetaraan jender) sebenarnya telah ada pada masa generasi awal. Sahabat perempuan pada zaman itu sebagaimana kaum laki-laki diperkenankan melakukan aktivitasnya secara leluasa. Boleh dikatakan bahwa masa Nabi Muhammad merupakan masa kehidupan yang ideal bagi perempuan. Alquran telah memotret dinamika sahabat perempuan ketika Nabi dan Khulafa’ ar-Rasyidin masih hidup. Di antaranya empat ayat awal Q.S. al-Mujadilah yang diturunkan sebab seorang wanita yang mendebat Nabi; juga ayat-ayat lain dalam Alquran yang membicarakan khusus tentang perempuan.
Sahabat Perempuan Berhak Memperjuangkan Hak-haknya
Jika menelisik berbagai teks, akan dipahami bahwa sahabat perempuan di masa Nabi saw. tidak hanya menghabiskan hidupnya dengan mengurung diri di rumah saja. Mereka juga mendapat kesempatan untuk berinteraksi di ruang terbuka, baik untuk ibadah berjamaah hingga berdakwah. Begitu juga untuk melakukan aktivitas intelektual; mendapat kesempatan belajar, berdiskusi, dan mendengarkan kuliah dari Nabi Muhammad.
Selain itu mereka juga terlibat dalam aktivitas sosial ekonomi. Perempuan generasi awal berhak mandiri secara finansial dan mengupayakan segala hal yang terkait erat dengan perekonomian. Mereka juga terlibat di medan pertempuran, memiliki kebebasan memilih, juga mendapat kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya.
Seperti sahabat Khaulah binti Tsa’labah, seorang wanita di balik turunnya Q.S. al-Mujadilah (perempuan yang mendebat). Kisah Khaulah ini banyak ditulis dalam kitab-kitab tafsir, contohnya dalam kitab al-Munir li Ma’alim at-Tanzil. Beliau adalah perempuan istimewa yang pengaduannya didengar Allah sampai turunnya wahyu. Wanita istimewa ini merupakan istri dari Aus bin Shamit. Suatu ketika, terjadi perdebatan sengit antara Khaulah dengan suaminya, hingga pada puncaknya sang suami jengkel dan lalu men-zihar-nya.
Baca juga: Mengapa Alquran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya
Pada saat keadaan membaik, suaminya menyesal dan meminta rujuk. Khaulah juga menginginkannya, tetapi di sisi lain ia menyadari konsekuensi zihar dari suaminya yang tidak memungkinkan rujuk. Sampailah ia menghadap Rasulullah dan mengadukan keluh kesahnya. Rasul mengharamkan Khaulah untuk rujuk. Merasa tidak terima, Khaulah terus mendebat dan berargumen, bahwa dirinya sudah tidak muda lagi dan anak-anaknya masih kecil. Meskipun begitu pada akhirnya jawaban Rasulullah tetap sama.
Jawaban Rasul tidak lantas membuatnya putus asa. Ia lalu mengadukan konflik rumah tangganya kepada Allah. “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu. Turunkanlah solusi bagi masalahku ini melalui lisan Nabi-Mu!” Tidak berselang lama, Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah dalam surah al-Mujadilah ayat 1-4 yang menjelaskan bahwa permasalahan Khaulah bukan tentang talak, melainkan zihar yang mengharuskan kifarat bagi yang melakukan.
Itulah Khaulah, seorang wanita yang menuntut haknya, kemudian Allah-lah yang langsung memberikan haknya. Berkat Khaulah, turun hukum khusus tentang sumpah zihar. Seolah, wanita itu mengajarkan kepada para perempuan lain, “Jika kalian ingin mendapatkan hak kalian, maka suarakanlah. Boleh jadi malah kalian akan mendapatkan melebihi yang seharusnya.”
Baca juga: Emansipasi Tiga Sahabat Perempuan dan Asbab Nuzul Turunnya Ayat-Ayat Kesetaraan
Kisah lain datang dari istri Nabi yang dikenal kecerdasannya selain Aisyah, yaitu sahabat yang bernama Ummu Salamah datang kepada Rasulullah untuk menuntut haknya. “Wahai Rasul, kenapa kami para perempuan tidak disebutkan dalam Alquran sebagaimana laki-laki?” tanya dia. Rasulullah pun terdiam. Akhirnya turunlah ayat panjang yang menyebutkan para perempuan sekalipun disebutkan untuk laki-laki (Q.S. al-Ahzab: 35).
Pergerakan perempuan muslimah generasi awal juga merekam saat seorang wanita mengutarakan pendapatnya di depan Khalifah Umar bin Al-Khattab. Mengutip Tafsir Ibnu Katsir, peristiwa itu terjadi dalam persoalan mahar nikah. Umar mengumpulkan warganya dan mengumumkan bahwa mahar perempuan tidak boleh lebih dari 40 uqiyah atau 400 dirham. Seandainya lebih dari itu, maka akan masuk kas negara. Seorang perempuan kemudian berdiri melontarkan protes kepada Umar, “Tidak bisa begitu, wahai Amir Al-Mukminin!” Umar bertanya, “Memangnya kenapa?” Ia menjawab, “Allah membolehkan perempuan menerima mahar dengan jumlah banyak (qinthar min adz-dzahab). Lalu ia membaca surah an-Nisa: 20.” Kemudian Khalifah Umar mengoreksi pernyataannya di awal.
Baca juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi
Kejadian ini cukup menakjubkan. Bagaimana mungkin ada seorang perempuan dengan penuh percaya diri memprotes seorang pemimpin di depan banyak orang? Waktu itu, Umar menjabat sebagai khalifah yang berkuasa di negara terkuat dalam catatan sejarah. Sahabat perempuan tadi tentu meyakini apa yang ia lakukan direstui agama. Andai saja bukan karena keteguhan iman, mungkin ia tak akan seberani itu.
Dengan demikian, dipahami bahwa Islam sejatinya mendengar pendapat perempuan. Setiap perempuan boleh mengutarakan pikiran-pikiran mereka. Perempuan boleh membantah atau menguatkan pendapat orang lain. Dalam Islam, perempuan punya otoritas dan kapasitas mengungkapkan ide dan pendapatnya tanpa pembungkaman.
Teladan Perempuan dari Salafuna as-Shalihat
Dinamika sahabat perempuan menggambarkan betapa Islam mengakui potensi mereka. Perempuan muslimah juga diberi ruang lebih untuk mengaktualisasikan diri mereka serta ikut andil berbaur dan beraktivitas di tengah masyarakat. Menandakan bahwa kaum Perempuan tidak inferior dalam kehidupan. Perbincangan tentang hidup dan kehidupan tidak sepenuhnya wilayah laki-laki. Rasulullah telah bersabda, bahwa perempuan setara dengan laki-laki (Innama an-nisa syaqaiq ar-rijal). Sehingga merendahkan perempuan, tentu saja tak sesuai dengan ajaran Baginda Nabi.
Baca juga: Mengenal Kariman Hamzah, Jurnalis dan Mufassir Perempuan Asal Mesir
Dinamika sahabat perempuan generasi awal juga mengajarkan kaum perempuan untuk terlibat dalam laku kesalehan sosial. Baik mereka yang memilih aktivitas di rumah maupun bekerja di ruang-ruang terbuka, keduanya bisa memiliki potensi yang sama. Di rumah bukan berarti menuntut perempuan untuk membatasi diri dan menghindari interaksi. Terlebih di zaman ini, ada banyak sekali media untuk menjadikan perempuan tetap aktif dan produktif.
Baik di rumah maupun di luar rumah, hendaknya para perempuan meniatkan diri untuk beribadah dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan kualitas diri sehingga bisa menjadi manfaat dan maslahat untuk sesama sebagaimana yang dilakukan sahabat perempuan di masa generasi awal Islam. []