Dalam buku Mahmud Abbas Al-Aqqad berjudul al-Falsafah al-Qur’aniyyah, ada satu bab yang paling menarik, yaitu bab al-Qur’an wa al-Ilm (Alquran dan Sains). Dalam bab ini, Aqqad mengkritik model relasi Alquran dan sains yang menggunakan teori-teori ilmiah sains untuk menafsirkan ayat Alquran, atau yang dikenal dengan tafsir ilmi. Dari bacaan ini, saya tertarik untuk melacak pemikiran Aqqad terkait tafsir ilmi secara lebih utuh melalui karya-karyanya yang lain.
Mahmud Abbas Al-Aqqad adalah pemikir dan sastrawan Mesir yang lahir pada 1889 M. Tokoh ini unik karena pendidikan formalnya hanya tamat pendidikan dasar (ibtidaiyah), tetapi dikenal sebagai pemikir yang sangat produktif. Ia menulis lebih dari seratus judul buku. Perpustakaannya berisi sekitar 30.000 buku. Aqqad besar dengan membaca berbagai spektrum literatur secara otodidak. Bahkan Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Tayyeb pernah memuji Aqqad karena produktivitasnya dan kecemerlangan gagasannya.
Secara umum, Aqqad adalah tokoh intelektual yang menolak tafsir ilmi. Kritik-kritik Aqqad, jika diperas intinya, sebetulnya bermuara pada identifikasinya terkait hakikat dan tujuan diturunkannya Alquran. Hakikat atau karakteristik tersebut kemudian dihadapkan dengan sains yang tentu saja juga memiliki karakteristik tersendiri. Apakah relasi karakteristik antara keduanya sama, kompatibel, beda, atau berlawanan. Menurut Aqqad, dengan mengetahui hakikat masing-masing, relasi antara Alquran dan sains akan bisa diketahui dengan jelas.
Kritik Abbas Al-Aqqad terhadap Tafsir Ilmi
Setidaknya terdapat dua poin utama dalam kritik Aqqad terhadap tafsir ilmi. Pertama, Aqqad membangun argumentasi kritiknya dengan mengidentifikasi karakteristik sains. Sains dicirikan dengan kesimpulan dan penemuan-penemuannya yang selalu menerima perubahan. Penemuan sekarang yang dianggap sudah mapan bisa saja dikoreksi oleh penemuan lain di masa depan. Singkatnya, kesimpulan sains akan terus menerima perubahan dan tidak mengenal kesimpulan final. Lalu bagaimana dengan Alquran?
Aqqad menyimpulkan bahwa Alquran merupakan kitab hidayah atau akidah. Sebagai kitab hidayah, Alquran tidak perlu dituntut untuk selalu sesuai dengan penemuan sains yang senantiasa berubah, sebagaimana terjadi dalam kasus tafsir ilmi. Oleh karena itu, Aqqad menolak segala bentuk penafsiran yang mencoba mengaitkan penemuan sains modern dengan ayat-ayat Alquran secara serampangan.
Baca juga: Tafsir Ilmi: Sejarah Kemunculan, Metodologi, dan Kritik terhadapnya
Asumsi yang mendasari penafsiran semacam itu adalah bahwa penemuan sains merupakan kesimpulan absolut, sehingga layak diadopsi sebagai penafsiran dan bukti kebenaran ayat-ayat Alquran. Padahal, justru dengan upaya penafsiran semacam itu, ada potensi Alquran “terdiskreditkan” secara tidak langsung. Ketika penemuan sains tersebut di masa depan terbukti salah atau terevisi oleh penemuan mutakhir, maka mau tidak mau penafsiran ayat dalam Alquran juga salah. Konsekuensi selanjutnya, ayat Alquran itu sendiri berpotensi dianggap salah, karena ayat Alquran biasanya dipahami melalui tafsirnya (al-Falsafah al-Qur’aniyyah; 13-15). Inilah kesimpulan argumentasi inti kritik-kritik Aqqad terhadap tafsir ilmi yang tersebar dalam karya-karyanya.
Argumentasi kedua, Aqqad menyorot pemaknaan Q.S. Al-An’am: 38, yang dijadikan dasar argumen oleh kelompok yang setuju tafsir ilmi.
مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ
“Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhannya mereka dikumpulkan.”
Baca juga: Maurice Bucaille dan Tafsir Ilmi tentang Siklus Air
Terkait pemaknaan ayat tersebut, Aqqad menjelaskan bahwa mayoritas mufasir menafsirkan kata “al-kitab” dengan lauhulmahfuz. Memang, sebagian mufasir, termasuk Ar-Razi, menafsirkan kata tersebut dengan Alquran. Namun, Aqqad menegaskan bahwa kedua pemaknaan tersebut sepakat bahwa aspek komprehensif “al-kitab” terhadap segala hal dalam ayat tersebut dimaksudkan sebagai petunjuk bagi manusia atas segala hal yang mereka butuhkan, baik di dunia maupun di akhirat. Pemaknaan ini bukan berarti “al-kitab” mencakup segala hal secara mendetail, melainkan secara umum (ijmal) (al-Tafkir Faridlah Islamiyah, 59).
Pada intinya, identifikasi Aqqad mengenai hakikat Alquran sebagai kitab hidayah menghantarkannya pada kesimpulan bahwa Alquran tidak perlu dituntut untuk memiliki dan mengikuti penjelasan secara mendetail seperti dalam sains. Hal ini dikarenakan hakikat dan karakteristik keduanya berbeda.
Baca juga: Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (1): Ulama yang Pro
Dalam kritiknya atas persoalan ini, Aqqad menyimpulkan sebuah pemaknaan bahwa sebagai kitab hidayah, Alquran mendorong umatnya untuk senantiasa berpikir atau pro terhadap aktivitas berpikir. Di sisi lain, Alquran juga tidak mengandung suatu kesimpulan yang dapat menghalangi aktivitas berpikir atau menghalangi upaya pencarian seorang muslim atas berbagai macam ilmu pengetahuan. Relasi inilah yang menurut Aqqad tepat antara Alquran dan sains. Dalam elaborasinya yang lebih jauh, penemuan sains bisa digunakan sebagai alat bantu untuk memahami makna ayat dalam Alquran. Bukan “memaksa” Alquran agar selalu sesuai dengan penemuan sains setiap kali terdapat penemuan baru.
Menariknya, dari kesimpulan relasi antara Alquran dan sains di atas, Aqqad menegaskan bahwa relasi tersebut merupakan salah satu manifestasi sisi keagungan Islam. Klaim bahwa Alquran sudah mempunyai penjelasan terhadap segala hal secara terperinci justru akan “menidurkan” umat muslim dalam menggapai kemajuan ilmu pengetahuan. Kata Aqqad, keagungan Islam akan terlihat justru dengan sikap Islam yang memberikan pintu pengetahuan seluas-luasnya kepada umat Islam. Bukan malah menjadikan umat muslim “lengah” dalam menggali pengetahuan, karena mereka meyakini bahwa Islam sudah mempunyai segala penjelasan yang terdapat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan.
Baca juga: Tafsir Ayat-ayat Tumbuhan Kemenag RI: dari Ragam Tanaman hingga Etika Lingkungan
Inilah kesimpulan Abbas Al-Aqqad yang tidak ditemui dalam argumentasi tokoh intelektual yang menolak keabsahan tafsir ilmi. Beberapa tokoh seperti Husain adz-Dzahabi, Mahmud Syaltut, dan Syauqi Dlaif tidak menyebutkan kritik semacam ini. Bagi saya, kritik Aqqad ini menarik sekaligus problematis. Menarik karena ia menyadari adanya implikasi negatif dari klaim atas Alquran seperti di atas, yang mungkin tidak disadari oleh umat muslim atau bahkan para pakar sekalipun sejauh yang saya ketahui. Problematis karena implikasi yang dijelaskan Aqqad seakan-akan merupakan satu-satunya konsekuensi logis dari klaim di atas. Padahal, implikasi tersebut hanyalah salah satu kemungkinan saja, yang artinya terdapat ruang lebar untuk adanya kemungkinan-kemungkinan implikasi lain.
Sebelum menutup tulisan ini, ada satu pertanyaan dalam benak saya bagi kelompok yang menolak tafsir ilmi, termasuk Aqqad. Jika mereka menolak tafsir ilmi, terlebih juga ketika mereka mengkritik dalam kasus-kasus spesifik penafsiran ayat tertentu, lalu penafsiran seperti apa yang mereka tawarkan atau kehendaki, sekurang-kurangnya yang tidak keliru. Apakah penafsiran ayat-ayat tersebut dikembalikan pada penafsiran mainstream yang ada dalam khazanah tafsir klasik, atau mereka mempunyai tawaran penafsiran tersendiri? Masa depan wacana tafsir ilmi ini menarik ditunggu di tengah banyaknya upaya reinterpretasi penafsiran klasik di satu sisi dan perkembangan temuan-temuan baru sains yang semakin cepat di sisi lain.