Tidak semua kajian dalam wilayah diskursus Al-Qur’an menjangkau setiap pengkaji Al-Qur’an. Beberapa di antaranya bahkan hanya familier di telinga kalangan tertentu saja. Faktor penyebabnya sangat beragam, mulai dari tingkat kesulitan hingga nuansa eksklusif yang melingkupi tiap sisi kajian.
Dalam pengantarnya terhadap Keragaman Qira’ah Mushaf Kuno Ternate, Mustopa menyebut bahwa qira’ah, ilmu yang membahas variasi mazhab bacaan Al-Qur’an, merupakan salah satu dari beberapa kajian eksklusif Al-Qur’an. Menurutnya, tingkat kesulitan menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab.
Penulis sendiri menganggap nuansa eksklusif qira’ah lebih disebabkan marwah yang dimilikinya. Hafal Al-Qur’an secara utuh yang disyaratkan oleh beberapa ulama sebagai pondasi awal agaknya juga memunculkan nilai prestise tertentu yang mengesankan rasa ‘wah’ dalam kajian qira’ah, hingga praktis hanya menjangkau kalangan tertentu. Meskipun dalam dhawuh-nya, Gus Baha’ menyebut ilmu sharaf sebagai salah satu akar perbedaan qira’ah. Sehingga cakap dalam ilmu qira’ah sejatinya tak jauh berbeda dengan cakap dalam ilmu sharaf.
Baca juga: Mabadi’ Asyrah: Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat yang Perlu Diketahui
Eksklusivitas Kajian Rasm
Seperti halnya ilmu qira’ah, problem eksklusif juga terjadi pada ilmu rasm atau tata cara penulisan ayat Al-Qur’an. Bahkan tingkat eksklusivitas rasm dapat dikatakan jauh lebih tinggi mengingat jangkauan kajiannya yang lebih sempit dengan minimnya minat pengkaji. Tingkat kesulitan disinyalir sebagai alasan utama. Namun lebih dari itu, kesan prestise yang dimiliki qira’ah agaknya tidak dimiliki ilmu rasm, hingga setiap kalangan ingin menguasainya.
Sejarah menyebutkan bahwa dua ilmu ini pada dasarnya selalu berjalan berdampingan. Klausul qira’ah sahih misalnya, mengharuskan adanya kesesuaian dengan rasm al-mushaf. Atau keberadaan beberapa imam qira’ah yang memiliki basic yang cukup kuat dalam bidang rasm seperti Ibn ‘Amir al-Syamiy, Hamzah al-Kufiy, dan ‘Ali al-Kisa’iy.
Namun demikian, sejarah juga menyebutkan bahwa penggunaan kaidah-kaidah rasm dalam penulisan Al-Qur’an telah lama mengalami masa fatrah (kekosongan). Dari abad pertama hijriah (sekitar abad ke-7 dan ke-8 masehi), dibuktikan dengan penemuan 6 mushaf kuno ‘Uthman. Dari masa itu, hingga masa mushaf cetak di Kazan tahun 1848 M. oleh Muhammad Syakir Murtadha yang menggunakan rasm, tidak banyak informasi yang menjelaskan aplikasi rasm dalam mushaf Al-Qur’an (baca selengkapnya di Sejarah yang Hilang dalam Penulisan Rasm Mushaf Al-Qur’an).
Memang diakui bahwa perjalanan teoritis ilmu rasm pada masa-masa fatrah (kekosongan) tersebut tetap berjalan. Banyak karya-karya yang lahir mewakili setiap abad, sebagaimana telah diulas lengkap oleh Zainal Arifin Madzkur. Akan tetapi hal itu justru semakin meneguhkan eksklusivitas kajian rasm yang hanya menjangkau elit tertentu, yang dalam hal ini adalah alim dan pakar Al-Qur’an.
Baca juga: Tiga Imam Qira’ah yang Concern Pada Kajian Rasm
Sebuah Rahmat atau Laknat?
Pertanyaan yang kemudian dilontarkan adalah, “apakah eksklusivitas kajian rasm dianggap sebagai rahmat atau malah menjadi ‘laknat’?”
Ilmu rasm sendiri memiliki fokus pada garis anatomi huruf. Dalam mushaf-mushaf yang saat ini beredar, masih banyak kita jumpai model penulisan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kaidah penulisan rasm. Namun demikian, perbedaan penulisan ini tidak memiliki implikasi yang cukup berarti dalam pembacaan. Karenanya tidak begitu banyak kalangan yang mempersoalkannya.
Dari sisi ini, mungkin eksklusivitas kajian rasm menyimpan hikmah tersendiri dengan menciptakan ketenangan di kalangan internal umat Islam. Kita tentu tidak ingin bukan, cerita perseteruan di Azerbaijan pada era khalifah ‘Uthman terulang kembali?
Namun di sisi lain, dengan menjadi eksklusif-nya kajian rasm, ruang-ruang diskusi publik menjadi tertutup. Jangankan memunculkan peminat, sekadar mengetahui apa itu rasm saja tidak. Akibatnya, rasm menjadi sesuatu yang tidak tersentuh sama sekali. Hal ini lah yang kadang menjadi polemik tersendiri ketika terjadi kehebohan terkait penulisan Al-Qur’an yang ‘aneh’ atau tidak biasa.
Peristiwa ‘Al-Fur’an’ pada 2018 silam sejatinya tidak perlu menjadi heboh karena hanya perbedaan sistem naqth saja. Namun karena kurangnya edukasi, jagad maya menjadi ramai tak terkendali. Hal ini tak lain karena minimnya ruang diskusi publik untuk rasm, yang seandainya terbuka cukup luas akan melahirkan respon-respon positif dari masyarakat Islam.
Kesimpulan
Apa pun itu, rahmat atau mungkin sebaliknya, polemik yang terjadi terkait eksklusivitas kajian rasm merupakan sesuatu yang tidak dapat dibendung. Umat Islam memiliki latar yang beragam. Mustahil memaksakan satu kajian untuk menjadi populer seketika. Namun bukan tidak mungkin membangun tradisi edukasi: mendasari segala sesuatu dengan ilmu, bukan omong kosong yang mengikuti hawa nafsu. Wallahu a‘lam bi al-shawab.
Baca juga: Mengapa Kita Membaca Al-Quran dengan Qiraat Ashim Riwayat Hafs?