BerandaTafsir TematikEmpat Mental Block Yang Harus Dijauhi Oleh Pelajar

Empat Mental Block Yang Harus Dijauhi Oleh Pelajar

Mental Block adalah hambatan psikologis (psychological obstacle) atau pola pikir yang mencegah seseorang untuk menyelesaikan tugas penting dan menghalangi kesuksesan. Kondisi ini hampir dipastikan pernah dialami oleh seseorang, tak terkecuali seorang pelajar. Di samping itu, mental block juga menghambat seseorang untuk mengembangkan kreativitas, inovasi dan produktivitas. Karena itu, mental block ini harus dihindari oleh pelajar agar tidak menghambat proses belajarnya sehingga tetap bersemangat dalam belajar.

Artikel ini akan mengulas empat mental block yang harus dijauhi oleh pelajar dengan melandaskannya pada ayat-ayat Al-Quran dan pendapat para ulama.

Tidak Percaya Diri

Ketidakpercayaan diri atau merasa insecure menjadi penghalang seseorang dalam mengembangkan potensinya. Kondisi ini juga disebut self doubt (keraguan terhadap diri sendiri). Mereka tidak percaya terhadap diri sendiri sehingga endingnya tumbuh pemikiran bahwa mereka tidak layak untuk mendapatkan suatu prestasi atau berkompetisi dengan orang lain.

Kondisi semacam ini yang dilarang dalam agama, karena belum apa-apa sudah ciut nyalinya. Dalam firman-Nya, Allah Swt menghimbau, janganlah kalian merasa lemah (insecure) dan berlebihan dalam bersedih hati, karena sesungguhnya kamulah yang paling tinggi derajatnya.

وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

“Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin.”

Meskipun ayat tersebut berbicara terkait perang Uhud, namun substansinya relevan untuk pelajar agar tidak berkecil hati terhadap kemampuan yang dimiliki. Pelajar tidak boleh “mengidap” penyakit sindrom inferiority complex atau bermental rendah diri. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menuturkan, penting bagi pelajar untuk menguatkan mentalnya dalam menempuh ilmu dan bergaul dengan dunia luar, serta piawai memainkan peran penting dalam memberi solusi atas persoalan global. Karena sesungguhnya, apa yang ia perjuangkan itu derajatnya paling tinggi di sisi Allah di dunia dan di akhirat, di dunia karena apa yang ia perjuangkan adalah kebenaran dan di akhirat karena ia mendapat surga.

Stagnasi Pemikiran

Mental block yang kedua adalah stagnasi pemikiran (fixed mindset), pola pikir yang tidak bertumbuh dan hanya terpaku pada satu perspektif atau metode dalam menyelesaikan suatu persoalan. Mindset semacam ini tidak boleh dilestarikan oleh pelajar. Pelajar harus memiliki growth mindset (pola pikir yang bertumbuh) dan mampu menggunakan nalar kritisnya untuk mengembangkan keilmuan yang ditekuni.

Baca Juga: Dua Kunci Memunculkan Keberkahan Ilmu untuk Pelajar

Selain itu, pelajar harus memiliki mindset yang bertumbuh/ tidak stagnan (growth mindset) agar adaptif, inovatif dan kreatif dalam menghadapi tuntutan zaman. Allah swt berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). (Q.S. al-Hasyr [59]: 18)

Ayat di atas mengajarkan kepada kita untuk mempersiapkan segala sesuatunya lebih matang. Artinya, Allah swt mengajarkan kepada kita untuk me-manage, mem-planning sesuatu dengan presisi, akurat dan berbasis data yang valid. Tidak boleh asal-asalan dalam mengerjakan sesuatu, terlebih menuntut ilmu bagi seorang pelajar.

Syekh Abu Nashar al-Shaffar al-Ansari, sebagaimana dikutip Syekh al-Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim, bersenandung dalam syairnya,

يَانَفْسِ يَانَفْسِ لاَ تُرْخِى عَنِ الْعَمَلِ، فِى الْبِرِّ وَالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ فِي مَهَلِ

Wahai nafsuku, jangan engkau malas dan lemah dari berbuat kebaikan, berlaku adil dan jujur. Apalagi berbuat baik, hendaklah dengan cara pelan-pelan (sedang) atau kontinyu.

Latah (Tidak Punya Pendirian)

Kecenderungan pelajar hari ini adalah mereka suka latah atau ikut-ikutan sesuatu yang sedang ngetrend sehingga melalaikan apa yang menjadi fokusnya. Konsekuensinya, mereka tidak menguasai bidang yang digeluti alias setengah-setengah karena tergoda sesuatu yang trending. Sebagai misal, seorang pelajar memiliki kemampuan hanya bisa menekuni satu bidang keahlian. Suatu ketika, ia melihat temannya yang terbiasa mengerjakan sesuatu secara bersamaan (multi tasking), dan karena latah, ia akhirnya mencoba memaksakan diri untuk multi tasking yang sebenarnya dirinya tidak sanggup.

Kondisi semacam itu yang tidak baik dan menyalahi fitrahnya.  Allah swt berfirman,

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (Q.S. An Najm [53]: 32)

Makna suci di sini, menurut Quraish Shihab, adalah larangan memuji amal dan menyatakan dirinya suci. Adalah bila ia diungkap dengan rasa bangga dan keyakinan diterimanya amalnya. Tetapi bila tujuannya adalah mensyukuri nikmat Allah sambil menyadari bahwa hal tersebut diperoleh karena anugerah-Nya, maka itu tidak terlarang. Larangan tersebut ditujukan kepada setiap orang, baik dalam kedudukannya sebagai pribadi maupun kolektif, dan dengan demikian tidaklah wajar satu suku atau bangsa memuji diri mereka.

Menurut hemat kami, ayat di atas dapat dikontekstualisasikan dengan makna mendowngrade-kan atau meng-upgrade dirinya berlebihan. Artinya, seseorang tidak boleh menurunkan kualitas dirinya (downgrade) yang sebetulnya ia mampu atau melebih-lebihkan kemampuannya yang sebetulnya tidak mampu (upgrade). Dalam hal ini, Nabi saw bersabda,

لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ

“Janganlah kalian merasa diri kalian suci, Allah lebih tahu akan orang-orang yang berbuat baik diantara kalian” (HR. Muslim Nomor 4953 dalam Kitab Syarh Sunan Abi Dawud lil ‘Ibad).

Putus Asa

“Dunia tak selebar daun kelor”, begitulah bunyi peribahasa dalam bahasa Jawa bahwa dunia ini tak sesempit apa yang kita bayangkan. Jadi, seseorang tidak boleh men-desperate dirinya sendiri atas suatu problem yang menjangkitinya. Justru, persoalan yang datang bertubi-tubi berdatangan adalah cara Tuhan untuk mendewasakan hamba-Nya. Maka, persoalan itu tidak harus dijauhi, namun disikapi dengan baik. Banyak pelajar yang baru saja dilanda satu persoalan seperti telat kiriman logistik dari orang tuanya, sudah down.

Padahal Allah sudah menyatakan, “Aku pasti menguji kamu, untuk melihat siapa di antara kamu yang paling baik amalnya” (Q.S. al-Mulk [67]: 2). Kalaulah baru satu ujian yang didapat, sudah down, misalnya, lantas bagaimana ia mampu menjadi pribadi yang tangguh? Itulah pertanyaan yang harus direnungkan kita bersama, khususnya pelajar.

Oleh karenanya, Allah berpesan, “janganlah kalian berputus asa dari rahmat-Ku” sebagaimana firman-Nya di bawah ini,

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Az-Zumar [39]: 53)

Baca Juga: Tiga Niat dalam Menuntut Ilmu

‘Janganlah berputus asa dari rahmat Allah itu’ bermakna sesulit apapun persoalan yang membelit kalian, wahai manusia, janganlah melepaskan diri dari rahmat-Ku. Putus asa juga bermakna melepaskan diri. Padahal Allah swt sudah jelas menyatakan dalam lanjutan redaksi tersebut, ‘Sesungguhnya Allah mengampuni dosa kalian semuanya”. Artinya, Allah pasti memberikan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi hamba-Nya. Karena itu, bersabar sembari berikhtiyar adalah kunci.

Gus Baha, ulama kenamaan Indonesia, memiliki penafsiran yang unik terkait ayat di atas. Bagaimana tidak, katanya, Allah saja masih memanggil hambanya dengan redaksi ya’ibadi (wahai hambaku) kepada pendosa atau orang yang dzalim sekalipun. Artinya, Allah masih menginginkan hamba-hamba-Nya tadi yang masih berada di jalan kesesatan untuk segera kembali dan bertaubat. Lalu, Allah berfirman dengan kalam yang teramat santun, la taqnatu min rahmatillah, janganlah engkau berputus asa dari rahmat-Ku, kata Allah.

Pertanyaannya kemudian, apakah Allah hanya cukup mengatakan jangan berputus asa? Tentu tidak. Bahkan, Allah menggaransi bahwa seluruh dosa dan maksiat yang telah ia perbuat, diampuni semuanya. Makna pengampunan di sini adalah Allah swt memberi petunjuk atas apa yang ia perbuat. Kisah betapa rihlah intelektualnya Ibn Hajar al-Asqalani sekaligus keputusasaan al-Asqalani dalam menuntut ilmu, dapat dibaca dalam konteks ini.

Pasca Ibn Hajar mendapat hidayah melalui tetesan air hujan di atas batu sehingga berlubang, ia kembali menemukan kesejatian dirinya dan Allah bersama dirinya. Dari situ, Ibn Hajar bangkit dengan penuh semangat juang untuk kembali berusaha menuntut ilmu meski usianya sudah tak muda lagi. Inilah ibrah yang dapat kita ambil sebagai pelajar agar tidak mudah berputus asa atas cobaan dan ujian yang kita alami dalam menuntut ilmu. Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...