BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanEmpat Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Alquran

Empat Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Alquran

Berbicara mengenai kemerdekaan tidak hanya terbatas pada terbebasnya suatu negara dari kolonialisme. Ada banyak aspek dari kemerdekaan yang perlu terus diperjuangkan, bahkan ketika negara tersebut telah lama memproklamirkan kemerdekaannya. Dalam rangka menyambut kemerdekaan NKRI yang ke 76 ini, penulis mengajak pembaca melusuri setidaknya empat spirit kemerdekaan yang dibawa oleh Islam yang terukir dalam ayat-ayat al-Qur’an.

Merdeka dari teologi batil   

Islam datang dalam keadaaan bangsa Arab sedang berada dalam masa jahiliyyah yang sangat memprihatinkan. Dari segi keyakinan, mereka mengalami krisis dan penyimpangan teologis. Dari semula memeluk dan mengamalkan ajaran Nabi Ibrahim as, beralih kepada kesyirikan dengan menyembah berhala-berhala yang mereka buat sendiri. Dalam kitab Nur al-Yaqin disebutkan ada 360 berhala yang ditemukan di sekitar Ka’bah ketika akan dihancurkan saat Pembebasan Mekah.

Memerdekakan bangsa Arab, bahkan seluruh manusia dari teologi yang batil ialah tujuan utama Islam. al-Qur’an menyatakan dengan tegas hal ini dalam banyak ayat, misalnya dalam QS. Al-Baqarah: 257. Diksi “Dia (Allah) mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya” dalam ayat tersebut ditafsirkan para ulama dengan pembebasan manusia dari gelapnya kekafiran menuju terangnya iman. Al-Baghawi menambahkan bahwa apabila dalam al-Qur’an ada kata al-zulumat (kegelapan) disandingkan dengan kata al-nur (cayaha) -selain di surah al-An’am-, maka ia pasti bermakna kekafiran dan keimanan.

Penolakan Islam terhadap penyembahan tuhan berwujud patung atau benda-benda langit seperti dalam cerita Nabi Ibrahim (Al-An’am: 76-79) mengajarkan kita untuk tidak terpaku pada materi-materi yang tampak. Orang sekarang menyebutnya materialisme. Seseorang hendaknya tidak menuhankan sesuatu yang hanya bisa dijangkau oleh panca indera, yang terasa nyata manfaatnya, namun ternyata ia hanyalah ilusi semata. Sesuatu yang ‘besar’ seringkali tidak tampak di mata.

Merdeka dari penindasan terhadap kaum mustad’afin  

Spirit kemerdekaan lainnya adalah merdeka dari segala penindasan terhadap kelompok yang lemah secara sosial. Islam melarang umatnya saling menindas satu sama lain dengan alasan apapun. Melalui al-Qur’an, kita disuguhi kisah-kisah terdahulu, bagaimana nasib buruk menimpa penguasa yang zalim dan bagaimana pada akhirnya orang-orang yang terzalimi seperti kaum Nabi Musa diselamatkan oleh Allah.

Selain kepada penjajahan atau rezim yang zalim, al-Qur’an juga mengecam penguburan anak (At-Takwir: 8-9),  menganjurkan memerdekakan budak (Al-Balad: 13), memberi makan orang miskin dan menyantuni anak yatim (Al-Balad: 14-16), serta memperlakukan perempuan dengan baik (An-Nisa: 19).

Baca juga: Tafsir Surah Hud Ayat 27: Konflik Sosial di Balik Pendustaan Dakwah Nabi Nuh

Merdeka dari fanatisme kesukuan

Bangsa Arab pada masa jahiliyyah melihat seseorang bergantung pada nasabnya. Orang yang memiliki jalur nasab yang bagus akan sangat dimuliakan. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki nasab bagus akan dipandang remeh. Ini kemudian menjadi cikal bakal munculnya fanatisme kesukuan yang berlebihan. Mereka menjadi terpecah-belah dan terkotak-kotak berdasarkan suku masing-masing. Tidak jarang fanatisme ini menjurus pada konflik antarsuku.

Islam melalui sosok Nabi Muhammad mencoba memperbaiki kondisi ini. Dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah misalnya, bisa kita lihat bagaimana cerdiknya Nabi menyelesaikan konflik sosial dalam peletakan hajar aswad. Bagaimana Nabi mempersaudarakan Muhajirin dan Ansar setibanya di Madinah dan mendamaikan dua suku besar yang sering berseteru di Madinah, Aus dan Khazraj. Nabi mengajarkan bahwa kaum muslimin adalah satu kesatuan. Ia bersabda:

تَرَى الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan merasa panas (akibat turut merasakan sakitnya).” (HR. al-Bukhari no. 5552).

Sejalan dengan sabda Nabi di atas, Allah menyatakan bahwa sesama orang mukmin adalah saudara (al-Hujurat: 10). Ibn Asyur dalam tafsirnya menjelaskan, hal tersebut sudah sangat jelas. Bahwa ketika seseorang masuk Islam, maka ia sudah terjalin hubungan persaudaraan dengan sesama muslim lainnya.

Merdeka dari kebodohan

Islam juga membawa spirit kemerdekaan dari kebodohan. Ini tercermin jelas ketika wahyu pertama merupakan perintah membaca. Dengan membaca, seseorang akan mendapat pengetahuan baru. Ia akan lebih bijak dalam menjalani kehidupan.

Aktivitas membaca tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis pada lembaran kertas, akan tetapi mencakup segala hal yang bisa dipahami. Tadabbur alam sebagaimana pencarian ‘tuhan’ oleh Nabi Ibrahim termasuk aktivitas membaca, tepatnya membaca ayat-ayat Allah al-kauniyyah (yang berupa alam semesta). Yang pada akhirnya kita tahu Nabi Ibrahim berhasil menemukan Tuhannya dengan mendayagunakan logika akalnya.

Jika kita amati, banyak ayat al-Qur’an yang diakhiri dengan perintah mendayagunakan akal pikiran. Semisal afala ta’qilun ‘apakah kamu tidak berakal?’ (Al-Baqarah: 44, 65, 76, Al-An’am: 32); afala tatafakkarun ‘tidaklah kamu memikirkannya?’ (Al-An’am: 50); dan afala tatazakkarun ‘apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran?’ (Al-An’am: 80).

Baca juga: Kisah Nabi Ibrahim Mencari Tuhan Melalui Matahari dalam Al-Quran

Penutup

Demikianlah sedikitnya empat spirit kemerdekaan yang dibawa Islam. Semoga spirit kemerdekaan dalam al-Qur’an di atas bisa menginspirasi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara khusus, pada setiap momen kemerdekaan negara kita tercinta, Indonesia ini, kita perlu mempertanyakan kembali apakah kita sudah benar-benar merdeka? Sebuah pertanyataan sederhana sebagai bentuk evaluasi diri demi masa depan yang lebih cerah, semoga.

Baca juga: Belajar Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan dari Kisah Negeri Saba’

Lukman Hakim
Lukman Hakim
Pegiat literasi di CRIS Foundation; mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...