Dalam banyak hal, Nabi Muhammad telah mengajari kita bagaimana bergaul dengan nonmuslim. Tak hanya mengakui keberadaan mereka, tapi juga bagaimana menghormati dan menghargai mereka. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad bukanlah semata ijtihad beliau sendiri, namun juga sesuai dengan pesan Al-Quran dalam bergaul dengan orang yang berbeda agama dan akidah. Berikut adalah surah tentang adab dan Nabi Muhammad ketika bergaul dengan non muslim.
Baca juga: Membaca Ayat Antopokosmik: Menjaga Alam Kewajiban Kita Bersama
Mengutamakan Adab
Dalam surah Saba’ [34]: 24-26 Allah mengajari bagaimana mestinya kita bersosial dengan liyan,
۞ قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قُلِ اللّٰهُ ۙوَاِنَّآ اَوْ اِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ۩ قُلْ لَّا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّآ اَجْرَمْنَا وَلَا نُسْـَٔلُ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ ۩ قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّۗ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيْمُ ۩
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Siapakah yang menganugerahkan rezeki kepadamu dari langit dan bumi?” Katakanlah, “Allah.” Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) benar-benar berada di dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.”(24)
“Katakanlah, “Kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kami kerjakan dan kami tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kamu kerjakan.”(25)
“Katakanlah, “Tuhan kita (pada hari Kiamat) akan mengumpulkan kita, kemudian memutuskan (perkara) di antara kita dengan hak. Dialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.”(26)
Melalui ayat tersebut, Rasulullah Saw dengan yakin mengabarkan bahwa beliau berada dalam kebenaran dan petunjuk. Namun Allah tetap memerintah beliau untuk bergaul dengan orang-orang musyrik sembari mengatakan kepada mereka; sesungguhnya kami atau kamu benar-benar berada di dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.
Baca juga: Aspek Kedua Membentuk Pribadi Manusia Unggul: Beramal dan Berkarya
Kemudian Allah mengajari Nabi Muhammad agar berkomunikasi kepada mereka dengan adab yang agung. Simaklah sepenggal arti ayat 25; katakanlah (Muhammad), sesungguhnya kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kami kerjakan dan kami tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kamu kerjakan.
Raghib al-Sirjani, dalam Fann al-Ta’amul al-Nabawiy ma’a Ghair al-Muslimin (2010), menjelaskan ayat tersebut. Bahwa ketika Nabi membicarakan diri sendiri, diksi yang dipakai adalah jurm yang berarti kesalahan dan kelalaian. Kemudian ketika membicarakan pihak lain, diksi yang dipakai adalah kata ‘amal yang bisa berarti kebaikan atau keburukan. Sehingga dapat dipahami begini; sesungguhnya kalian, wahai nonmuslim, tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan dan kekeliruan yang kami kerjakan, dan kami tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kebaikan dan keburukan yang kamu kerjakan.
Kemudian pada ayat selanjutnya, Nabi menyerahkan semua urusan kepada Allah dengan berkata, “…Tuhan kita (pada hari Kiamat) akan mengumpulkan kita, kemudian memutuskan (perkara) di antara kita dengan hak. Dialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.”
Itulah ajaran Al-Quran yang sangat agung dalam hidup berdampingan dengan liyan. Tiada ajaran fanatik buta. Semuanya dibalut dalam bingkai adab.
Uslub yang Indah
Dalam ayat lain, Al-Quran juga mengetengahkan bagaimana berkomunikasi dengan ahlul kitab dalam al-Ankabut [29]: 46,
۞ وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ وَقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَاُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَاِلٰهُنَا وَاِلٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَّنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
“Janganlah kamu mendebat Ahlulkitab melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali terhadap orang-orang yang berbuat zalim di antara mereka. Katakanlah, “Kami beriman pada (kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu. Hanya kepada-Nya kami berserah diri.”
Betapa indahnya pesan ayat tersebut. Tak hanya meminta kita untuk berkomunikasi, bergaul, dan hidup berdampingan dengan uslub (gaya) yang baik. Bahkan kita diminta untuk mencari cara yang lebih baik, lebih utama dan lebih indah, billati hiya ahsan. Adakah ucapan filsuf di dunia ini yang menyamai konsep srawung Al-Quran di atas?
Kemudian simaklah petikan arti ayat berikut dengan sepenuh sadar, “kami beriman pada (kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu. Hanya kepada-Nya kami berserah diri.” Alih-alih mengancam dan memusuhi orang liyan (non-muslim), sungguh Allah menekankan pentingnya saling menolong, welas-asih kepada mereka. Sesungguhnya tuhan kita satu, dan Dia telah menurunkan kepada kami (muslim) dan kepada kalian (ahlulkitab) kitab suci yang kami imani semuanya. Lalu buat apa bercerai-berai dan berselisih?
Selain ayat di atas, simaklah dua ayat masing-masing Ali ‘Imran [3]: 64 dan al-Baqarah [2]: 109 berikut,
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Ahlulkitab, marilah (kita) menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, (yakni) kita tidak menyembah selain Allah, kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim.”
وَدَّ كَثِيْرٌ مِّنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِكُمْ كُفَّارًاۚ حَسَدًا مِّنْ عِنْدِ اَنْفُسِهِمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۚ فَاعْفُوْا وَاصْفَحُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Banyak di antara Ahlulkitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman menjadi kafir kembali karena rasa dengki dalam diri mereka setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka, maafkanlah (biarkanlah) dan berlapang dadalah (berpalinglah dari mereka) sehingga Allah memberikan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Baca juga: Al-Quran Dituduh Terpengaruh Yahudi dan Kristen, Ini Tanggapan Fazlur Rahman
Meneladan Nabi
Masih ada banyak lagi ayat yang menerangkan etika bersosial dengan liyan. Dalam buku yang sama, Raghib al-Sirjani (2010) menyajikan kisah yang dapat kita baca, tentang bagaimana etika Nabi ketika berdialog dengan nonmuslim. Kita simak kisah itu secara singkat.
Datanglah Utbah bin Rabiah kepada Nabi Muhammad dengan niat membujuk beliau Saw untuk menyudahi dakwah Islamnya. Singkat cerita, setelah Utbah mengeluhkan perilaku Nabi yang dibenci pembesar Makkah, Utbah berkata, “dengarkanlah aku menjelaskan beberapa hal, barangkali engkau menerimanya.”
Nabi menjawab, “Katakanlah, wahai Abu al-Walid. Aku akan mendengarkannya.”
“Wahai putra saudaraku, jika engkau dengan ini semua hanya untuk memperoleh harta, kami penuhi hartamu hingga engkau menjadi terkaya di antara kami. Jika kemuliaan, akan kami jadikan engkau pemimpin kami. Jika ingin menjadi raja, akan kami tabalkan engkau sebagai raja kami. Apapun yang engkau inginkan, akan kami penuhi semuanya tanpa terkecuali, asal engkau hentikan dakwahmu itu,” ucap Utbah.
“Adakah yang mau disampaikan lagi?” tanya Nabi.
“Cukup,” jawab Utbah.
“Sekarang dengarkanlah aku..” sejurus kemudian Nabi membaca surah Fushilat [41]: 1-5. Kisah ini berakhir dengan Utbah yang terperangah takjub mendengar al-Quran, mengakuinya kalamullah, bukan syair, sihir atau tenung, serta mengingatkan kaum Quraisy untuk membiarkan Muhammad dengan agamanya.
Betapa indah etika sosial Nabi Muhammad! Alih-alih memotong pembicaraan dan menutup pintu dialog, beliau Saw memanggil Utbah dengan kunyah (julukan) yang disukainya, lalu mempersilakannya untuk menyampaikan keperluannya hingga rampung, memastikan lawan bicaranya benar-benar selesai, barulah Nabi Muhammad Saw berbicara. Wallahu a’lam[].