Fatimah Mernissi menjadi tokoh feminis muslim kenamaan asal Maroko, yang terkenal berkat pemikiran reformisnya terhadap tafsir Al-Quran dan Hadis yang bersinggungan dengan relasi gender. Menurut Husein Muhammad dalam Membela Kaum Perempuan, Mernissi bahkan disebut sebagai salah satu perempuan Timur Tengah pertama yang berhasil melepaskan diri dari kesenjangan dan pengkhianatan kultural, baik yang ia dapatkan dari lingkungan keluarga atau masyarakat sekitarnya.
Ketertarikan Mernissi pada bidang feminisme, terutama yang bersinggungan dengan perspektif agama, tidak terlepas dari pengalamannya sebagai perempuan. Beberapa fragmen kisah perjalanan hidupnyalah yang kemudian menginspirasi Mernissi untuk menaruh keseriusan pada tafsir feminis. Bahkan, ada satu kisah yang cukup memilukan.
Baca juga: Dr. Laleh Bakhtiar, Muslimah Amerika Perintis Psikologi Al-Quran Telah Berpulang
Sketsa biografi
Fatimah Mernissi lahir pada 27 September 1940 di Fez, Maroko. Menyitir Eko Setiawan dalam Studi Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kesetaraan Gender, ia termasuk generasi pertama perempuan Maroko yang mendapat akses pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi.
Masa kecilnya ia habiskan bersama keluaga perempuan. Waktu itu memang Maroko sedang ada di bawah kuasa Prancis, dan sistem sosial yang berlaku di masyarakat sangat menyudutkan perempuan. Seperti soal tempat tinggal. Perempuan dikucilkan di harem. Harem –berdasarkan pengertian dalam Encyclopedy of Islam and The Muslim World yang ditulis oleh Etin Anwar- ialah tempat domestik yang khusus diperuntukkan perempuan, yang ada dalam tradisi keluarga muslim.
Sementara itu, jejak akademik Mernissi ia mulai semenjak kecil dari lingkup keluarga. Ia belajar tentang kemerdekaan perempuan dari keluarga perempuannya di harem, baik dari ibu, nenek, maupun sepupu perempuannya. Sewaktu kecil ia juga disekolahkan ke madrasah Al-Quran milik pemerintah. Namun, tidak seperti pelajaran yang ia dapat dari keluarga, di sekolah ini ia justru sering menjadi sasaran kekerasan. Bahkan, guru ngajinya sendiri tak jarang menghukum murid yang tidak hafal dan dapat membaca Al-Quran sebagaimana yang diajarkan oleh gurunya itu.
Baca juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender
Sistem pengajaran sewaktu kecil ini begitu ekstrem. Gurunya pun selalu mengatakan bahwa Al-Quran harus dibaca persis seperti tatkala ia diturunkan. Selanjutnya, mengutip Beyond the Veil karya Fatimah Mernissi, pendidikan formal di tingkat SD ia tempuh di sekolah milik orang nasionalis, sementara di tingkat SMP ia belajar di sekolah perempuan yang didirikan Prancis. Sampai di sini, Maroko berada dalam jajahan Prancis, sehingga berbagai sektor dikuasai olehnya. Di sisi lain, pergerakan dibatasi, karena kultur budaya patriarki yang masih sangat kentara dalam tradisi keluarga Muslim Maroko.
Barulah pada tahun 1956, saat Maroko merdeka, Mernissi mendapat akses belajar yang luas dan bahkan ia melanglang buana hingga ke Prancis dan Negeri Paman Sam. Memasuki jejang S1, Mernissi kuliah di Universitas Muhammad dengan mengambil jurusan Sosiologi dan Politik. Lalu, ia melanjutkan studi S2-nya di Sorbonne University, Paris, dengan mengambil konsentrasi Ilmu Politik. Pada tahun 1973, ia berhasil mendapat gelar P. hD. di Brandeis University, Boston. Selanjutnya, Mernissi mengabdikan diri sebagai pengajar di almamater S1-nya di bidang Sosiologi. Tak hanya itu, ia juga jadi dosen tamu di berbagai universitas ternama seperti Harvard dan Barkley.
Inspirasi bergelut di dunia tafsir feminis
Selain sebagai sosiolog, Mernissi juga dikenal sebagai tokoh feminis Muslim internasional. Setidaknya, semenjak ia menerbitkan disertasinya menjadi buku yang berjudul Beyond The Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society. Pendekatan sosio-politik begitu kentara saat ia melakukan risetnya itu.
Ia kemudian melakukan riset lebih komprehensif tentang tafsir feminis, yang kemudian terbit menjadi buku bertajuk Women and Islam: an Historical and Theological Enquiry. Dalam bukunya itu, Mernissi mengkritik penafsiran Al-Quran dan pemahaman atas hadis yang bernuansa misoginis.
Ketertarikan Mernissi pada tafsir feminis tidak lepas dari pengalaman personalnya dan kondisi sosial Maroko waktu itu. Mengutip Khalila Mukaromah dalam Hermeneutika Hadis Fatima Mernissi, sejak kecil Mernissi telah merasa ada ketidakadilan bagi perempuan. Mulai dari aturan tinggal di harem bagi perempuan, yang itu berarti perempuan tidak boleh berbaur dengan lawan jenis, hingga pembatasan akses pendidikan –sebelum Maroko merdeka, perempuan tidak bebas memilih sekolah, dan bahkan badan pengajarnya pun menomorduakan murid perempuan-.
Baca juga: Mengenal Faqihuddin Abdul Kodir, Perintis Metode Qira’ah Mubādalah
Di sisi lain, kesadaraan akan pentingnya memperjuangkan hak perempuan telah ia dapat sejak kecil. Sejak mendapat pendidikan dari keluarga perempuannya. Ibu Mernissi sering bercerita tentang Qasim Amin dan gagasan feminisnya, sekalipun ia tidak bisa membaca. Tak hanya itu, sepupu Mernissi yang bernama Chama seringkali membawakannya teater tentang kisah perempuan di panggung sejarah dunia.
Selain dua sosok dekatnya itu, ada satu sosok lain yang berperan penting bagi Mernissi dalam membentuk ketertarikannya pada kajian kesetaraan gender dalam Islam. Adalah Taslima, nenek Mernissi yang menjunjung kesetaraan laki-laki dan perempuan. Neneknya inilah yang menceritakan pada Mernissi tentang bagaimana Nabi dengan sikap egaliternya mengatur Madinah menjadi negeri berperadaban. Mernissi mengibaratkan neneknya ini sebagai sosok nan puitis dan kritis. Tidak seperti perempuan Maroko pada umumnya, yang bertekuk-lutut pada laki-laki, nenek Mernissi meyakini kesamarataan derajad laki-laki dan perempuan, sebagaimana yang Nabi ajarkan di Madinah. Berkat neneknya, Mernissi terobsesi dengan Islam di Madinah dan kemudian ia terinspirasi untuk menekuni kajian kesetaraan gender dalam Islam.
Disudutkan saat di pasar
Tidak hanya dari keluarga, inspirasi Mernissi bergelut pada kajian tafsir feminis juga ia dapat dari lingkungan sosial. Satu contoh, sebagaimana yang ia sampaikan pada pendahuluan bukunya, Women and Islam, saat ia bertanya pada seorang penjual sayur di pasar,
“bisakah perempuan menjadi pemimpin Muslimin?”
Seakan disambar petir, penjual sayur pun memberi respons yang menyayat hati,
“na’udzubillah (aku berlindung kepada Allah)”
Saking kagetnya, penjual sayur itu sampai menjatuhkan setengah lusin telur yang hendak dibeli oleh Mernissi.
“semoga Allah melindungi kita dari malapetaka itu!”, imbuh pedagang sayur tersebut.
Kisah memilukan tidak berhenti di situ. Seorang pembeli, yang juga seorang guru, juga menyudutkan Mernissi dengan hadis yang menyatakan bahwa ‘barangsiapa yang menyerahkan urusannya kepada perempuan maka tidak akan menemukan kemakmuran!’
Baca juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender
Mernissi dengan bijaksana tidak langsung merespons jawaban sinis dari dua orang itu. Karena, mereka membawa dalil teologis. Tetapi, sekalipun tidak langsung memberikan respons, Mernissi dalam diamnya, ia juga menyimpan geram. Ia kemudian terdorong untuk menelusuri hadis dan tafsir Al-Quran yang dipahami dengan nuansa misoginis. Ia berupaya mencari pemahaman yang lebih baik dengan mencari apa yang ia bahasakan dengan extraordinary power, yang tampaknya semakna dengan nilai universal hadis dan ayat Al-Quran itu. Berkat kejadian yang memilukan sekaligus menyakitkan hati itu, Mernissi berhasil membuat riset tentang kesetaraan gender dalam Al-Quran dan Hadis, yang berjudul Women and Islam tersebut di atas. Wallahu a’lam[]