Salah satu media online memberitakan, Seorang jemaah Masjid Istiqlal, Jakarta, mendapatkan hadiah naik haji gratis dari Menteri Urusan Islam, Dakwah, dan Penyuluhan Arab Saudi. Tidak hanya itu, dia juga dapat melaksanakan haji tahun ini juga. Hal ini tentunya membuat iri sebagian orang yang terkendala biaya dan waktu tunggu, dalam mewujudkan keinginannya dalam melaksanakan Rukun Islam yang ke-5 tersebut. Tentu banyak berharap akan memperoleh rizki serupa.
Terlepas dari kenyataan bahwa tentunya orang yang memperoleh hadiah tersebut akan menerimanya dengan senang hati, lalu bagaimana sebenarnya hukum menerima hadiah haji secara gratis? Apakah lantas wajib, sebab kemudian membuat si penerima tergolong mampu untuk berhaji? Dan membuat diri mampu berhaji dengan segala cara termasuk kewajiban. Atau sekedar sunah, sehingga apabila ada keperluan lain yang wajib kita diharuskan menolak hadiah tersebut? Simak penjelasan para ulama berikut ini:
Hukum menerima bantuan haji
Allah berfirman:
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا
(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam. (QS. Ali Imran [3] :97).
Baca Juga: Kewajiban Berhaji itu Hanya Sekali Seumur Hidup
Saat menguraikan tafsir atas ayat tersebut Imam al-Qurthubi menerangkan, beberapa ulama menyatakan bahwa keberadaan biaya dan transportasi menjadi syarat seseorang wajib melaksanakan haji. Ini adalah bentuk pengejawantahan redaksi “mampu” yang disinggung dalam ayat tersebut.
Apabila ada orang yang hanya memiliki biaya saja dan tidak menemukan transportasi semisal, atau tidak memiliki biaya tapi dia bisa mendapatkannya dengan bekerja di tengah perjalanan menuju Makkah, maka dia tidak berkewajiban haji
Lalu bagaimana bila ada orang yang bersedia memberikan hartanya untuk ibadah haji seseorang? Apakah si penerima yang tidak memiliki biaya untuk berhaji wajib menerimanya dan menjadi tergolong mampu sebab pemberian itu? Imam al-Qurthubi menerangkan, apabila ada orang lain yang bersedia memberikan uang agar dibuat berhaji, maka tidak wajib menerima pemberian tersebut (Al-Jami li Ahkamil Qur’an/4/148-149).
Syaikh Wahbah Zuhaili di dalam tafsirnya menjelaskan, seseorang tidak bisa dianggap “mampu” hanya sebab ada orang lain yang memberikannya harta. Dan ulama menyatakan dia tidak wajib menerima pemberian tersebut. Sebab adanya peluang pemberian tersebut akan diungkit-ungkit kembali yang amat memberatkan (Tafsir Munir/4/14).
Lalu bagaimana bila pemberian itu diterima? Apakah apabila si penerima kemudian tergolong orang yang “mampu” berhaji, dia termasuk wajib berhaji? Imam al-Mawardi menerangkan, apabila dia menerimanya dan kemudian masuk dalam kategori orang yang mampu berhaji, maka dia berkewajiban melaksanakan haji.
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Pro Kontra Dasar Kewajiban Haji
Sebagian ulama mazhab syafiiyah membedakan antara apakah sang pemberi bukanlah anak dari penerima, atau orang tua dari penerima. Apabila keduanya, maka menurut sebagian ulama syafiiyah hukumnya wajib menerima. Hanya saja, pendapat yang lebih kuat tetap menyatakan tidak wajib menerima (al-Hawi al-Kabir/4/26).
Penutup
Berbagai penjelasan di atas menunjukkan kepada kita, bahwa menerima hadiah uang yang dapat digunakan untuk berhaji atau berhaji secara gratis, hukumnya tidak wajib. Meski dengan menerima hal itu membuat si penerima menjadi tergolong mampu untuk berhaji. Kalau menerima hukumnya tidak wajib, maka lantas bagaimana hukumnya meminta sesuatu kepada orang lain untuk keperluan haji? Menurut mayoritas ulama hukumnya malah makruh (Fatawa Syubkah/58/217).
Salah satu hikmah yang dapat kita ambil dalam persoalan meminta maupun menerima bantuan menunaikan haji di atas, adalah pentingnya usaha pribadi dalam menghasilkan biaya maupun transportasi dalam berhaji. Dan tidak menunggu bantuan orang lain. Menerima bantuan orang lain memang boleh, tapi mungkin pahala yang diperoleh tidak sebesar dari usaha sendiri. Wallahu a’lam.