Alquran, kitab suci umat Islam, telah menjadi objek studi dan interpretasi yang luas sepanjang sejarah. Banyak ulama dan cendekiawan telah mencoba memahami dan menafsirkan pesan yang terkandung di dalamnya. Salah satu tokoh yang mengusulkan pendekatan baru dalam memahami Alquran adalah Huseyin Atay.
Biografi Singkat Huseyin Atay
Huseyin Atay lahir pada tahun 1930 di Guneyce, Turki, memiliki awal kehidupan yang terkait erat dengan Alquran. Saat masih remaja, dia memulai pendidikan Alquran dan menghafalnya. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas, Atay melanjutkan kuliah di Fakultas Syariah di Baghdad, dan berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya pada tahun 1954. Pada tahun 1956, dia memulai karir mengajar di Fakultas Teologi di Universitas Ankara, Turki. Dia kemudian melanjutkan pendidikan doktoral, yang berhasil diselesaikannya pada tahun 1960. (https://www.huseyinatay.com/Biyografi.html)
Latar belakang pendekatan Atay dalam memahami Alquran
Fokus utama Atay dalam studinya adalah studi Islam secara umum, termasuk kajian tentang Alquran. Dia adalah seorang akademisi dan penulis Muslim kontemporer, memiliki pendekatan yang unik dalam memahami Alquran. Dia berangkat dari keyakinan: 1) bahwa Alquran adalah teks yang shalih (valid) sepanjang zaman, 2) tidak setuju dengan konsep naskh-mansukh, yaitu penghapusan dan penggantian ayat-ayat Alquran. (Osman Tastan, Huseyin Atay’s Approach to Understanding the Qur’an, 248)
Baginya, seluruh teks Alquran memiliki keabsahan dan relevansi untuk semua zaman. Pendekatan Atay dalam memahami Alquran didasarkan pada pemahaman bahwa ayat-ayat yang tampaknya bertentangan atau kontroversial tetap menjadi bagian integral dari kehidupan umat Muslim. Dia berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut harus dipahami dalam konteks sosial dan historis yang relevan. Namun, Atay tidak sepenuhnya mengadopsi pendekatan kontekstual.
Alasannya adalah dia khawatir bahwa pendekatan semacam itu dapat mengurangi otoritas Alquran untuk zaman sekarang. Baginya, Alquran harus dipahami dengan cara yang lebih langsung, tanpa terlalu banyak memperhatikan konteks sejarah. Hal ini memungkinkan teks Alquran dapat dipahami pada waktu dan tempat yang berbeda, serta untuk menemukan solusi yang berbeda terhadap masalah yang berbeda.
Pendekatan Atay juga menekankan pentingnya penggunaan akal dalam memahami Alquran. Dia menentang pandangan bahwa hadis, yaitu perkataan dan tindakan Nabi Muhammad, harus dijadikan sumber utama dalam masalah kepercayaan. Baginya, akal memiliki peran yang penting dalam menilai keaslian dan kebenaran suatu hadis. Atay menekankan bahwa akal dalam pengertian praktisnya harus digunakan sebagai pengawas untuk mencegah penyalahgunaan atribusi terhadap Nabi.
Baca juga: Al-Qur’an sebagai Fenomena Ujaran Perspektif Muhammad Arkoun
Atay juga beranganggapan bahwa Alquran, akal, dan situasi atau konteks sebagai tiga sumber yang saling terkait dalam menentukan legitimasi pendapat agama. Baginya, akal memiliki status yang setara dengan Alquran dalam memberikan legitimasi. Atay juga mengkritik taklid, yaitu mengikuti secara buta tanpa pemikiran kritis dan formalisme dalam pemikiran agama. Baginya, formalisme yang berlebihan dapat menghalangi pemahaman yang autentik terhadap Alquran.
Dalam pendekatan Atay, Alquran dipandang sebagai sumber yang kaya untuk memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim. Dia menekankan pentingnya membaca teks Alquran secara langsung dan membebaskan pikiran dari ketergantungan pada tradisi formalistik. Atay juga menyoroti pentingnya mencapai pemahaman yang autentik terhadap Alquran dengan membebaskan diri dari pengaruh budaya dan sejarah yang dapat menghalangi pemahaman yang tepat.
Namun, pendekatan Atay juga menuai kritik dari berbagai tokoh. Mereka berpendapat bahwa pendekatannya terlalu mengabaikan konteks sejarah dan tradisi yang mempengaruhi pemahaman Alquran. Mereka berpendapat bahwa pemahaman yang tepat terhadap Alquran memerlukan pemahaman konteks sosial dan sejarah pada waktu wahyu tersebut. (Salih Atçeken, Hüseyin Atay’in Dine Yaklaşimi, 12)
Contoh penerapan terhadap ayat Alquran
Salah satu contoh yang dibahas Atay adalah terkait dengan ritual wudu sebagai prasyarat diperbolehkan menyentuh Alquran. Pandangan ini berbeda dengan pemahaman umum yang telah mendominasi umat Muslim. Atay menolak pandangan umum tersebut dengan mengacu pada beberapa referensi, termasuk Ibn Hazm, yang menyangkal adanya perintah untuk menyentuh Alquran dalam keadaan suci. Dalam konteks ini, Atay merujuk pada ungkapan dalam Surah Al-Waqi’ah [56]: 79,
لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۗ
Tidak ada yang menyentuhnya, kecuali para hamba (Allah) yang disucikan.
Dalam pandangan Atay, ayat ini tidak dimaksudkan sebagai larangan untuk menyentuh mushaf Alquran. Ayat ini menurut Atay tidak berkaitan dengan mushaf. Hal ini disebabkan pada saat ayat ini turun, Alquran belum menjadi satu kesatuan mushaf yang utuh. Secara singkat, Atay berpendapat bahwa ayat ini tidak mengacu pada teks Alquran yang ada saat ini, melainkan merujuk pada Alquran yang terdapat di dalam lawh al-mahfudz, suatu tempat yang melebihi dimensi fisik manusia. Pendapat ini membawa pandangan bahwa Alquran dapat disentuh oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun, meskipun dalam bentuk teks yang ada. (Osman Tastan, Huseyin Atay’s Approach to Understanding the Qur’an, 251)
Baca juga: Inilah Delapan Metode Tafsir Tematik ala Hassan Hanafi
Dengan demikian, Atay memberikan perspektif yang berbeda terkait pemahaman tentang kondisi berwudu dalam menyentuh Alquran. Pendekatan rasionalitas dan pemikiran bebas menjadi landasan dalam menafsirkan dan mengimplementasikan ajaran Alquran. Atay menekankan bahwa Alquran harus dipahami secara holistik, dengan mengedepankan akal sebagai alat penting dalam memahami makna yang terkandung dalam teks tersebut.
Pendekatan Huseyin Atay dalam memahami Alquran menawarkan perspektif yang menarik dan kontroversial. Dia menekankan pentingnya mengembangkan pemahaman langsung terhadap teks Alquran menggunakan akal sebagai pengawas dan membebaskan pikiran dari tradisi formalistik. Namun, pendekatannya yang kurang memperhatikan konteks sejarah dan tradisi juga menimbulkan kritik. Penting bagi umat Muslim untuk terus melakukan studi dan diskusi yang mendalam untuk memperkaya pemahaman mereka terhadap Alquran.